"Orang-orang kebanyakan berenang atau surfing," jelas Luna. "Berhubung gue nggak bisa surfing walaupun udah coba berkali-kali, gue cuma berenang atau berjemur. Kalau bosen main ke pantai, bisa sepedaan juga di sana. Banyak orang yang bawa sepedanya masing-masing, tapi kalau mau nyewa juga ada."

"Sering liburan selama kuliah di Jerman?" Aku bertanya seraya merangkul Luna sekilas karena dia nyaris saja bertabrakan dengan orang yang berjalan berlawanan arah. "Gue sebenernya ada rencana buat berlibur ke Eropa, termasuk Jerman. Apalagi kalau lihat vlog trip orang-orang yang ke Jerman kok kelihatannya tempatnya bagus-bagus."

"Emang bagus banget tahu, Sa!" Luna menyahut dengan semangat. "Munchen, Frankfurt, Hamburg, Berlin, Koln, gue udah pernah ke sana dan highly recommended. Tempat wisatanya tuh—eh, kenapa lihatin gue segitunya?"

Aku menggeleng pelan lalu melepas pandanganku darinya. Luna sepertinya tidak pernah sadar kalau dia itu memiliki kemampuan untuk menahan lawan bicaranya tidak terfokus ke arah lain jika dia sudah berbicara. "Nggak apa-apa," dustaku. "Sampai di mana tadi ceritanya?"

"Oke. Enough about me." Luna memutuskan. "What about you?"

"Nggak ada yang bisa diomongin banyak tentang gue." Aku terkekeh. "Lagian gue nggak keberatan kalau harus denger cerita-cerita liburan lo yang jauh lebih menarik."

"Sejak liburan terakhir kita ke Malang, emangnya lo nggak pernah berlibur lagi?"

Aku menaikkan sebelah alis, tidak menyangka Luna mau menyinggung liburan terakhir kami yang berakhir dengan sangat berantakan. "Pernah. Beberapa kali, tapi nggak sampai ke luar negeri. Palingan ke Bali atau Lombok. Not memorable."

"Workaholic," simpul Luna, menatapku prihatin.

"Hei! Don't look at me like that!" protesku. "Hidup gue aslinya nggak semenyedihkan itu, kok. Tapi, destinasi wisata gue kan, termasuk tempat yang mainstream makanya gue nggak punya cerita spesial selain harus selalu stand by HP dan laptop—takutnya bos nelepon walaupun gue udah ambil cuti."

Luna melirikku malas. "Itu yang namanya bukan workaholic?"

Aku mengulum bibir. "Berhubung lo duluan yang mengungkit, talking about Malang, don't you think we should talk about that?"

Jantungku sudah bertalu ketika Luna menghentikan langkah. Otakku langsung berhenti bekerja ketika Luna mengarahkan tatapanya lurus ke arahku. Namun, dengan mempertimbangkan bahwa ini hanyalah satu-satunya kesempatan yang kupunya untuk memperbaiki kesalahpahaman yang ada di antara kami, aku buru-buru melanjutkan. "Gue tahu mungkin semua penjelasan gue terkesan terlambat. It's been seven years dan mungkin lo nggak butuh lagi penjelasan itu. Tapi, kalau gue minta kesempatan buat menjelaskan, apa lo mau kasih kesempatan itu?"

Aku menatapnya penuh harap karena hanya menerima kebisuannya. "Please?"

Setelah detik-detik yang terkesan begitu lama berlalu, Luna akhirnya mengangguk pasrah. Dengan raut wajah yang penuh waspada, dia berkata, "Nanti. Kita cari tempat yang proper buat ngobrol. Nggak di sini."


*


Setelah satu setengah jam berjalan di sekitar perkebunan teh dan bermain ATV, aku mengajak Luna untuk beristirahat di saung yang menghadap perkebunan. Dari tempat ini, kami bisa melihat hamparan daun-daun teh hijau dan merasakan angin pagi yang bersemilir ringan. Pikiranku kosong sejak dia setuju untuk membicarakan hal yang seharusnya kami bicarakan sejak lama. Berbeda dengan Luna yang masih bisa menikmati perjalanan dan mengobrol asyik dengan pemandu sepanjang menjelajah perkebunan, aku justru sibuk dengan pikiranku sendiri. Berusaha menyusun kalimat demi kalimat yang tepat untuk memberikan penjelasan kepada Luna.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now