"Jadi,... ada hal aneh yang terjadi sebelum zombie-zombie itu musnah? Hal aneh yang tak bisa diceritakan?" tanya Fauzia, mencoba menganalisis.

"Lebih tepatnya, hal mengerikan. Aku sendiri pun tak tahu hal apa itu" kataku sedikit memelan. Misteri ini belum selesai.

"Lalu apa yang kakek Ex ceritakan pada kalian?" tanya Jesica.

"Perang. Perang dengan zombie. Mereka sedang berada di dalam markas sebelum akhirnya sekumpulan zombie dalam jumlah sangat banyak menghampiri. Seperti diserbu. Seperti setiap zombie di bumi ini datang menghampiri. Mereka berperang, yang tak kuat memilih untuk bunuh diri. Dan itu semua terjadi saat malam pertama salju turun" jelasku. TUNGGU. KENAPA AKU BARU SADAR?

"Berarti pada akhirnya, kita harus berperang juga. Hanya saja kini, kita tahu perkiraan waktunya. Dan sebelum itu, kita harus bersiap-siap" kata Hani.

"Regis, apa kau menyiapkan banyak alat dan mesin? Berperang dengan zombie dalam jumlah banyak tak mudah, terutama bila mengandalkan tenaga sendiri" tanyaku padanya.

"Kurasa, iya. Aku dan yang lain membuat banyak alat-alat. Lagipula bahkan sebelum kalian datang pun, aku sudah memiliki banyak persiapan" kata Regis. Arogannya mulai lagi.

"Syukurlah" gumam Ex pelan dari belakangku.

"Dan Ri, aku sudah memperbaiki senjatamu. Ada beberapa hal yang harus kucoba padamu untuk menambah kekuatan" kata Regis disusul oleh anggukan Ri.

"Berarti untuk saat ini, kita hanya akan memfokuskan kekuatan diri dan alat-alat mesin. Apapun yang sekiranya membantu pada saat melawan zombie. Persiapan sebaik mungkin, sebelum saatnya tiba,... sebelum salju turun" ucapku menutup rapat.

"Istirahat untuk semuanya. Banyak hal yang harus dilakukan besok" kata Mark sambil menepuk-nepuk tangannya.

Kami bubar, pergi ke ruangan masing-masing, kecuali aku dan Ex. Ia akan mengompres benjolku lagi, setidaknya sampai benar-benar mengempis. Benjol ini membuatku terlihat konyol. Aku hanya duduk di sini, menunggu Ex kembali dengan membawa kain kompres dan es batu.

Tak sampai 5 menit, ia kembali, duduk di sebelahku, dan mulai mengompres lagi. Secara logika, sebenarnya aku bisa melakukannya sendiri. Hanya saja, itu terlihat sedikit menyedihkan.

"Mam, aku ingin bertanya" tanya Ex tiba-tiba.

"Hm?" tanyaku.

"Mam mimpi apa hari ini?" tanya Ex tiba-tiba. Ah iya, aku bilang sebelumnya bahwa mimpiku tak terlalu bagus.

"Aku tak yakin. Seperti sebuah film, lalu aku di dalamnya, menangis dan tertawa. Lalu kumpulan gambar pemandangan. Pohon, batu besar, gua yang menganga lebar, lalu semuanya berubah menjadi traumacore. Lalu,... entahlah aku tak yakin" jawabku padanya.

"Hmmm... Mam, aku ingin bertanya lagi" kata Ex setelah ia menggumam tipis.

"Ya?" tanyaku singkat.

"Apa yang terjadi bila kita tak mencari tau bagaimana mengakhiri kekacauan zombie ini?" tanya Ex. Pertanyaannya sedikit aneh.

"Kita yang berakhir. Kita semua yang mati. Selesai" jawabku realistis.

"Semua?" tanya Ex memastikan.

"Iya, semua. Aku yakin di suatu tempat masih banyak orang-orang yang sanggup bertahan hidup. Mungkin ada tempat yang aman entah di mana. Namun pada akhirnya, mereka pun akan mati" kataku mencoba menjelaskan.

"Mereka juga?" tanya Ex memastikan lagi.

"Iya. Mereka juga" jawabku singkat dengan sedikit penekanan.

Hening. Ex selesai mengompresku dan kembali ke ruangan masing-masing, tempat kami istirahat. Aku membaringkan tubuhku, menatap langit-langit sebelum tertidur. Hasil rapat ini abu-abu. Banyak hal yang tak bisa kucerna dalam otakku. Apakah semua perjalanan ini hanya untuk berperang melawan zombie? Aku terlalu malas untuk memikirkannya. Pikiran-pikiran itu menghantuiku lagi, membuatku susah tidur. Tapi,... entahlah, aku lelah.

.

Aku di sana lagi. Ruangan hampa dengan layar besar beberapa meter di depanku. Udaranya lebih dingin dibandingkan kemarin. Layar besar itu masih hitam. Aku hanya duduk, menunggu dengan sabar tentang apalagi yang harus kutonton. Satu jam, dua jam, layar itu tak memunculkan apapun. Hanya aku yang duduk di kegelapan, berhadapan dengan layar raksasa tanpa cahaya.

Aku mulai jenuh. Ini membosankan. Bila tak ada yang perlu ditunjukkan padaku, aku akan lebih senang tidur dengan nyenyak tanpa harus bermimpi seperti ini. Aku bangkit dari dudukku, berniat untuk meninggalkan layar besar ini. Entah kemana, yang pasti tak di sini. Mungkin bila aku berjalan lebih jauh, aku bisa menemukan cahaya agar aku terbangun dari mimpi ini. Namun belum sempat aku pergi, akhirnya layar besar itu menunjukkan sesuatu. Sebuah jalan setapak,... di hutan itu lagi. Hutan di mana aku memimpikannya kemarin. Aku kembali duduk, memperhatikan. Ada hal yang salah tentang ini. Ada sesuatu yang mencoba memberitahuku lewat mimpi.

Hampir satu menit layar besar itu menunjukkan gambar hutan, tiba-tiba sebuah tangan pucat muncul, keluar dari layar. Aku masih duduk, remeh, menganggap tangan itu tak akan sampai padaku mengingat kami berjarak beberapa meter. Tapi sepertinya aku salah. Tangan itu memanjang, dan memanjang, dan memanjang. Sampai padaku, menyentuh tanganku, dan menariknya. Menarikku agar aku ikut masuk ke dunianya, ke dalam layar besar yang hampa.

Aku tertarik paksa, masuk ke dalamnya. Masuk ke dalam jalan setapak di tengah hutan itu. Sesaat setelah aku masuk, tangan itu melepaskan pegangannya dengan tanganku, kemudian hilang. Kini tinggal aku, terjebak di tengah hutan antah berantah, mengutuk diriku sendiri mengapa aku tak membawa senjataku. Ini hanya ilusi. Ini hanya mimpi. Tak ada yang perlu kukhawatirkan, secara teknis. Tapi perasaan tak aman menyelimutiku dimana pun yang bukan rumah. Ini bukan tempatku, dan fakta bahwa aku terjebak di dalamnya membuatku tak tenang.

Aku menoleh ke belakang. Bisa kulihat lab milik Prof. Regis berada tak jauh dari sini. Lalu aku berbalik menghadap ke depan. Pohon bungkuk itu lagi. Batu-batu besar yang menghalangi jalan lagi. Gua itu lagi. Menganga, mengajakku masuk ke dalamnya. Aku? Tentu saja membeku, tak bergerak selangkah pun dari tempatku berdiri. Ini konyol. Aku tak paham kenapa lokasi-lokasi ini muncul lagi. Aku tak paham tentang semuanya. Aku hanya tak paham.

Langit menggelap, awan mendung itu datang entah dari mana. Datang tiba-tiba, berhenti tepat di tempatku berdiri. Seakan memiliki dendam, awan-awan itu berubah menjadi rintik-rintik air, semakin deras. Kini petir pun ikut bergemuruh, memarahiku yang masih diam di tempatku, enggan beranjak pergi. Semakin kencang, semakin berisik, semakin mengganggu.

Life in Death 2 : IllusionWhere stories live. Discover now