BAB 2A -- Cinta Pertama Berakhir Pahit

121 5 17
                                    

BULAN Oktober selalu membuat suasana hati seorang gadis muda itu bahagia tetapi tidak jelas.
Ya, paling tidak untuk enam tahun terakhir ini. Hatinya dipenuhi oleh cinta untuk seorang laki-laki yang menjadi kekasih hatinya.
Seseorang yang ia anggap sebagai pangeran berkuda putih seperti dalam dunia imajinasinya.

Lima belas tahun sudah sejak kematian ayahnya, Rosary Mawar Adriana dengan susah payah berusaha untuk menata hidupnya. Hidup berdua dengan bundanya justru mencetak pribadi gadis dua puluh lima tahun itu tumbuh dewasa menjadi wanita kuat, tegar, dan mandiri.

Segala hal ia hadapi dengan semangat hingga di usia dua puluh tahun ia berhasil lulus dari universitas sebagai salah satu wisudawan dengan predikat cum laude.

Hari Minggu pagi yang terasa teduh memberikan keyakinan pada Rosary bahwa ini adalah hari yang memang baik untuknya keluar rumah. Sebelum panas matahari di langit Semarang membuat malas, ia memutuskan untuk segera beranjak dari rumah. Ia tidak ingin mengecewakan Wisnu dengan datang terlambat.

Semalam, kekasihnya itu menelepon ingin bertemu di tempat biasa.
Rosary memiliki tempat kesukaannya sendiri. Tempat di mana ia selalu melepaskan beban setiap ada masalah dan kesulitan yang sedang dihadapi. Tempat itu juga menjadi tempat yang membuatnya tersenyum selama enam tahun terakhir ini.

Sebuah jalan di dekat kampus almamaternya Undip, Semarang yang berhiaskan pepohonan angsana di kanan dan kiri sepanjang jalan itulah yang menjadi tempat kesukaannya.
Setiap bulan September dan Oktober, bunga-bunga dari pepohonan angsana itu menggugurkan daunnya.

Bunga-bunga angsana berwarna kuning yang menawan berguguran menghiasi jalanan di bawahnya bagai suasana musim gugur di negara empat musim dengan guguran daun maple.

Sebenarnya, di dalam lubuk hatinya Rosary merasa heran dengan kekasihnya yang tiba-tiba ingin menemuinya. Apalagi meminta gadis itu untuk datang sendiri tanpa menjemputnya.
Biasanya, dengan sangat romantis, Wisnu selalu menjemputnya setiap mengajak berkencan.
Pikiran yang tidak baik itu sebisa mungkin ia tepis dan menggantinya dengan prasangka baik.

Perpaduan dress panjang berwarna putih tanpa lengan dan cardigan merah muda dikenakannya dengan cantik dan anggun. Sebuah tas kecil ia selempangkan di bahu kirinya.
Dan, sepatu flatshoes putih berpita kini menghiasi kedua kaki kecilnya. Rambut panjang sepinggangnya yang lurus ia biarkan terurai dengan sebuah bando putih menghiasinya.

Rosary benar-benar tumbuh sebagai sosok gadis yang feminin dan anggun.
Waktu pada jam dinding kamarnya menunjukkan pukul delapan pagi.
Setelah selesai bercermin, gadis cantik itu bergegas keluar kamar dan meminum segelas air putih di meja ruang makan.

Pandangan mata pelanginya tertuju pada sebuah kertas kecil yang berada di meja itu. Ia yakin sekali, pasti sebuah memo dari bundanya yang sudah berangkat lebih dulu ke butik tadi pagi.

Sayang, bunda berangkat duluan. Ada klien yang ngajak ketemuan mau pesan gaun pengantin. Mungkin sore bunda baru pulang. Kamu beli makan di luar aja ya.

Love you ....

Bunda

Rosary tersenyum tipis membaca memo dari bundanya. Gadis itu sangat bangga, dengan usaha butik yang dimiliki bundanya itu, mereka berdua bisa bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Dengan meminjam modal kesana dan kemari pada awalnya, bundanya mencoba untuk membuka usaha itu beberapa bulan setelah kematian ayahnya. Kesedihan itu memang membekas, tetapi hidup harus tetap berjalan, bukan?

Jantung Musim GugurNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ