PROLOG

151 7 25
                                    

Suasana kembali canggung. Rosary hanya menunduk dalam posisi duduknya. Sedangkan Andrean memandang gadis itu dengan tatapan tajam tetapi hangat. Entahlah, susah untuk digambarkan, yang jelas pemuda tampan itu seakan-akan ingin menangkap sesuatu dari garis wajah Rosary.

“Ro?”

“Ya ....” Rosary mulai kembali menatap Andrean.

“Maaf kalau tadi ada perkataanku yang terkesan bikin kamu tersinggung. Maaf ... aku nggak bermaksud kayak gitu.”

“Udah, nggak apa-apa, yang tadi lupakan aja. Justru, aku yang minta maaf karena bertanya hal yang nggak menjadi urusanku.”

“Nggak apa-apa. Aku hanya ngerasa ini belum saatnya untuk kamu tahu.”

“Maksud kamu?”

“Suatu hari, Ro, jika takdir masih mengizinkan untuk melanjutkan pertemuan kita, kamu pasti akan tahu yang sebenarnya.”

Rosary masih tidak mengerti, tetapi ia hanya menggangguk dan tidak ingin bertanya lagi. Gadis cantik itu tidak ingin Andrean marah atau kesal padanya, jadi ia memilih untuk berhenti bertanya.

Lagipula, dengan kondisi Andrean yang sedang sakit seperti ini sungguh tidak baik untuk membicarakan masalah yang berat. Berat? Ya, begitulah menurut Rosary. Menurutnya, apa yang disembunyikan oleh Andrean adalah sesuatu yang berat dan serius.

“Hmm ... Ro, bolehkah aku minta kontak kamu? Apapun itu, bisa whatsapp, nomor ponsel atau bahkan alamat rumah kamu.”

Rosary cukup terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh pemuda itu. Sebenarnya gadis itu juga ingin sekali dapat berkomunikasi dengan Andrean, tetapi gadis itu ingat akan satu hal. Takdir.

“Hmm ... baik, aku akan memberikannya tapi nggak untuk sekarang, Andrean.”

“Kenapa?” Andrean mengernyit heran.

“Takdir, Andrean.”

“Takdir? Maksud kamu apa, Ro?”

“Seperti yang kamu bilang tadi, jika takdir masih mengizinkan untuk melanjutkan pertemuan kita. Hingga saat ini, kita udah bertemu sebanyak tiga kali tanpa sengaja, jadi jika setelah ini kita masih bertemu kembali tanpa sengaja, maka artinya itu takdir kita, Andrean.”

“Lalu?”

“Aku janji, jika nanti memang kita dipertemukan untuk yang keempat kalinya, aku akan memberikannya, kita akan bertukar nomor kontak. Kamu pegang kata-kata aku ini.”

“Begitukah?”

“Hmm ... dan aku berjanji.”

“Baik, aku setuju. Aku pegang janji kamu, Ro.”

“Ya, dan akan aku tepati. Oh, iya aku minta izin untuk pulang duluan, ya? Nanti sore ada sahabat aku yang dateng kerumah soalnya.”

“Secepat ini kamu mau pulang?”

“Secepat ini? Ayolah, Andrean, aku udah dua jam lebih nemenin kamu di sini, Tuan muda. Lagian udah ada Arkana, kan?”

“Ternyata saat bersama kamu, dua jam terasa seperti dua menit bagiku, Ro.”

“Andrean, kamu bicara apa, sih? Ada-ada aja. Udah ya, aku pulang dulu? Boleh, kan?”

“Hhh ... iya, pulanglah.”

Andrean menatap Rosary dengan tatapan memohon tetapi tentu saja ia tidak bisa untuk menahan gadis itu. Rosary yang sudah berdiri dari duduknya membalas tatapan Andrean dengan sendu.

“Andrean, jangan menatap aku kayak gitu. Aku jadi nggak tega buat ninggalin kamu.”

“Kalau gitu, tetaplah tinggal, Ro!”
Tanpa sadar, Rosary menggenggam tangan Andrean dan memberikan sebuah senyuman tulus pada pemuda itu. Hal itu membuat jantung Andrean berdebar kencang. Bahkan, seakan-akan ia merasa penyakit jantungnya bertambah parah.

“Nggak bisa sekarang, Andrean. Berdoalah, agar kita dipertemukan lagi oleh takdir Tuhan. Semoga kamu cepet sembuh, ya.”

Sedetik kemudian, gadis itu melepas genggaman tangannya dari tangan Andrean. Rosary beranjak untuk melangkah hingga menjauh dan menghilang di balik pintu ruang IGD.

Sedangkan pemuda yang ia tinggalkan kini sedang terdiam di ranjangnya dengan perasaan yang aneh.

Ada suatu getaran yang berbeda dalam dirinya. Ada debaran yang tidak biasa pada jantungnya saat Rosary menggenggam tangannya yang hingga kini masih memporakporandakan dadanya.

Entahlah, yang jelas rasa sakit pada jantungnya yang sedang kambuh terasa sedikit lebih baik setelah gadis itu menggenggam tangannya.

Andrean memegang dada kirinya, dan memejamkan kedua matanya berharap debaran itu berhenti. Berhenti? Tidak, justru ia bahagia dengan debaran itu.

***

Aku merasakan debaran yang lain
Sesuatu yang membuatku tak ingin gugur lebih cepat
Adakah jantung kita dapat seiring berdetak?
Menyelamatkanku dari siksaan detik-detik akhir yang membebaniku ....

Hai readers, please untuk vote dan commentnya ya 😊
Terima kasih 😊

Jantung Musim GugurWhere stories live. Discover now