14. Training

32 10 5
                                    

"Lo ngapain kenalin diri?" tanya Raiga setelah mengatasi keterkejutannya.

Fiza menatapnya serius. "Buat jaga-jaga, kali saja lo ketemu gue terus terkejut. Nyangka Vian hidup lagi dan beranggapan mau balik bunuh lo," terang Fiza santai.

Raiga terkekeh. "Mustahil," katanya.

"Terus kenapa barusan lo terkejut?" celetuk Fiza yang membuat rahang Raiga mengeras.

"Gue cuma kaget karena ada orang yang berani-beraninya duduk di hadapan gue tanpa izin," sanggahnya.

Fiza mengangguk-angguk. Dalam hati dia tahu, bahwa lelaki di hadapannya tengah berbohong, karena dari tadi, Raiga tak menatap matanya. Dia justru melihat-lihat sekitar seolah menanggap Fiza tak ada.

"Gue ke sini cuma mau suruh lo buat tanggung jawab atas perbuatan lo enam tahun yang lalu ke adik gue," kata Fiza tanpa basa-basi.

Raiga mengernyit. "Siapa lo berani suruh-suruh gue?"

"Perlu gue jelasin? Enggak perlu kan? Lihat saja wajah gue, lo pasti tahu siapa gue," ledek Fiza yang langsung mendapat tatapan tajam dari Raiga.

"Sudah ada yang tanggung jawab buat perbuatan gue kok," terangnya santai.

"Gue mau lo yang tanggung jawab, bukan orang lain," timpal Fiza.

"Gue sudah bilang kalau sudah ada orang yang bertanggung jawab buat gantiin gue," ulang Raiga kesal.

Fiza mengembuskan napas kesal, dia langsung menilai bahwa lawan bicaranya itu bodoh karena mengulang perkataan yang sama tanpa penyesalan. "Lo enggak merasa bersalah?"

"Ya enggaklah!" serunya percaya diri.

Fiza menggeleng-gelengkan kepala. Dia merasa kasihan pada adiknya yang dibunuh oleh orang bodoh.

"Gue mau buat lo merasa bersalah dan bertanggung jawab atas perbuatan lo," tegas Fiza lalu bangkit.

"Seberapa pun usaha lo enggak akan pernah berhasil. Lo bukan tandingan gue. Gue lebih berkuasa daripada lo. Yang ada lo bakal habis di tangan gue," kata Raiga percaya diri.

"Let's see!" Setelah mengatakan itu Fiza benar-benar pergi dari hadapan Raiga.

Raiga melihat punggung Fiza yang menjauh. Dia tak merasa terganggu akan perkataan Fiza, karena dia tahu, Fiza tak seperti dirinya yang punya kuasa. Apalagi dia telah dipastikan akan menjadi penerus salah satu perusahaan besar di Indonesia.

"Lo enggak ada apa-apanya dibanding gue, Arfiza!" gumamnya.

***

Pagi ini adalah hari terakhirnya di kantor, karena besok Fiza akan dikirim ke Singapura untuk training.

"Za, lo besok training kan?" tanya Mas Faris pada dirinya yang tengah bersandar pada kubikel.

"Iya, kenapa, Mas?" Fiza mendongak dari ponsel yang tengah dimainkannya.

"Si Mila juga mau cuti besok tahu," terang Mas Faris yang membuat lelaki itu terkejut.

Seperti yang pernah dikatakan Mbak Mila, dia akan ambil cuti setelah businnes trip. Karena businnes trip itu sudah dilakukan, sebelum pemilihan kantor terbaik Mbak Mila tinggal mengambil cuti, dan ternyata Fiza baru tahu kalau Mbak Mila cuti bertepatan dengan dia yang tidak akan ada di kantor.

"Yang bener Mas?"

"Iya. Kan waktu itu dia bilang mau cuti pas habis businnes trip, tapi karena waktu itu enggak diizinin si bos gara-gara banyak kerjaan, dia baru bisa cuti sekarang," jelas Mas Faris.

"Tapi bos tahu kalau besok gue juga training?"

Mas Faris mengangkat bahu. "Enggak tahu tuh. Coba saja tanya si bos."

Fiza mengangguk. "Mbak Mila cuti berapa hari?"

"Lima hari, Za. Jadi lo jangan kangen." Sebuah suara terdengar. Ternyata orang yang dibicarakan baru saja tiba dan langsung masuk obrolan.

"Enggak bakalan kali. Gue juga kan mau ke LN. Dua minggu pula," terang Fiza sambil memasukkan ponsel di genggamannya ke saku.

"Oh iya, besok lo ke Singapura!" seru Mbak Mila yang sepertinya baru tersadar.

"Baru nyadar?" sindir Mas Faris. "Besok kita bakalan kekurangan karyawan loh."

"Pokoknya jangan ada yang ganggu gue dengan kerjaan pas cuti!" tegas Mbak Mila. "Gue mau fokus family time."

"Serah lo saja, Mil. Asal jangan lupa oleh-oleh karena gue bakalan handle pekerjaan yang harusnya o kerjain." Mas Faris hanya bisa pasrah karena dirinya akan ditinggal oleh dua orang yang kompeten secara bersamaan.

"Bagi-bagi kerjaan saja sama yang lain, Ris."

"Iyalah, masa cuma gue sendiri. Bisa-bisa gue langsung dibawa ke UGD kalau kerjain sendiri."

Fiza terkekeh pelan. "Hiperbolis banget lo, Mas. Bagi-bagi saja sama gue."

"Beneran?" Mata Mas Faris langsung berbinar mendengar itu.

Fiza mengangguk dengan yakin. Lagipula dia akan bosan jika hanya berdiam di hotel setelah pelatihan. "Kirim saja ke gue. Gue bisa atur waktunya kok," katanya meyakinkan.

"Lo mau kerja pas training, enggak niat jalan-jalan mumpung di Singapur?" tanya Mbak Mila.

"Sekarang enggak ada niatan, sih."

Mas Faris setuju untuk membagi pekerjaan dengan Fiza tanpa ragu-ragu. Dia berterima kasih pada juniornya itu lalu tak lama dari itu Mbak Tika dan Mas Gavin datang.

Karena ternyata bos mereka tiba setelah Mbak Tika dan Mas Gavin duduk di kubikelnya masing-masing, mereka tak sempat ikut mengobrol dan langsung bekerja.

***

Fiza berbaring setelah penyelesaikan pekerjaannya. Dia juga lelah sehabis training hari keenam.

Entah mengapa tiba-tiba perasaannya tidak enak. Ia lalu bangkit dan berjalan menuju jendela. Diraihnya ponsel yang tergeletak di samping tempat tidur.

Ada beberapa chat masuk yang belum sempat ia balas. Dia bergegas membalas pesan-pesan yang ternyata dari senior-seniornya.

Fiza terpaku ketika membaca chat dari Mbak Mila.

Ada kabar buruk, Za. Tapi gue enggak bisa jelasin lewat chat. Nanti saja pas lo pulang.

Tak lama dari itu muncul pesan dari Gia.

Gawat, Za!

Degup jantung Fiza mendadak cepat. Pikirannya membayangkan hal yang tidak-tidak. Sekelebat serpihan ingatan tentang masa lalunya muncul. Ingatan saat dirinya berada jauh dari keluarga dan mendapati kabar buruk yang mengguncangkan dunianya. 

Altamura ✔Where stories live. Discover now