10. Step 1

34 9 4
                                    

Fiza menghentikan mobilnya ketika sudah sampai di rumah lamanya. Rasa kantuk langsung menyerangnya sekarang, tetapi dia sekuat tenaga menahannya.

Dia langsung turun dari mobil dan menatap rumah lamanya yang terang akibat lampu yang tak pernah ia matikan. Ia kemudian
menghampiri rumah yang sudah lama tak dikunjungi itu. Fiza membuka kunci pintu lalu masuk.

Ia memperhatikan rumahnya yang penuh debu di mana-mana. Tak mempedulikan bahwa sekarang tengah malam, lelaki itu dengan gesit mengambil sapu untuk membersihkan rumahnya.

Setelah dikiranya bersih, lelaki yang berkeringat itu langsung terbaring di sofa. Hawa panas menjalar dalam tubuhnya yang membuat dia membuka jaketnya.

Ketika merasa dirinya sudah merasa lebih baik dia bangkit dan menuju kamar mendiang adiknya. Dibukanya pintu itu dan langsung masuk.

Kamar ini tak berubah sama sekali. Foto-foto yang dipasang bingkai masih berada di meja belajar mendiang Vian. Dia mendekat untuk melihat foto tersebut dan duduk.

Dipegangnya foto keluarga yang terbingkai. Hatinya sakit, karena sekarang tinggal dirinya dan Zeta yang masih ada di dunia.

Rasa kesepian menyelimuti laki-laki itu. Cairan bening menggenang di pelupuk matanya. Dalam sekejap, dia langsung meneguhkan tekad. Dia langsung meletakkan benda persegi panjang itu di tempatnya semula lalu bangkit.

Dia berjalan ke laci yang berada di samping tempat tidur. Ketika membuka laci paling atas, dia langsung menemukan benda yang ia cari. Ponsel mendiang adiknya.

Fiza menyalakan ponsel itu. Dia bernapas lega saat melihat ponsel Vian masih berfungsi. Lelaki itu kemudian mengambil charger dan sebuah buku bersampul hitam.

Karena Fiza enggan pulang ke rumahnya yang berada di Jakarta, lelaki itu memilih menginap di sini. Lebih tepatnya, ia akan tidur di kamar mendiang adiknya.

***


"Selamat Pagi semuanya," sapa Fiza saat melihat para seniornya telah berada di kantor.

Para seniornya yang tengah bergosip langsung menatap ke arahnya. Fiza membalas tatapan itu dengan senyuman.

"Ada apa gerangan, nyampe si Arfiza terlihat bahagia?" tanya Mbak Mila keheranan.

Fiza tak berniat menjawab, yang dilakukan cowok itu adalah tersenyum-senyum seperti orang gila.

"Tumben si bontot yang workaholic ini telat," kata Mas Faris. Mendengar ucapan Mas Faris, seniornya langsung menatap Fiza curiga.

"Kenapa sih matanya pada kayak gitu?" kata Fiza sambil duduk di kubikelnya.

"Lo nginep di rumah cewek, ya, Za?" tuding Mas Gavin yang langsung membuat Fiza tertawa terpingkal-pingkal.

Fiza sekuat tenaga menghentikan tawanya lalu menatap Mas Gavin horor. "Cewek apanya? Punya cewek saja kagak."

"Terus lo kenapa telat? Lo kan orang yang selalu datang paling pagi terus pulang paling malam," jelas Mbak Tika.

Fiza bersandar di kursi sambil menyilangkan kedua tangannya. "Gue nginep di rumah lama, terus bangunnya kesiangan. Untung saja enggak terlalu macet pas di jalan," jelasnya yang langsung diangguki senior-seniornya.

"Rumah lama lo yang di Bandung kan?" tanya Mas Gavin.

Fiza mengangguk. "Hooh, kenapa? Mau ikut ke Bandung?"

Mas Gavin langsung menggeleng. "Enggak, cuma sepupu istri gue juga lagi di Bandung. Kali saja kalau nanti lo pulang ke Bandung lagi mau ketemu sama dia."

Mendengar itu Fiza membuang napas kesal. "Ya ampun, lo kayaknya ngebet banget pengen gue punya cewek, Mas."

Seniornya yang bertubuh gempal itu terkekeh sampai membuat perut besarnya bergerak-gerak. "Bukan gitu, Za. Lo itu ganteng tahu, sayang banget kalau enggak sama sepupunya istri gue yang cantik banget," ungkapnya.

"Iya deh, Mas, terserah lo."

Setelah mengatakan itu Fiza langsung fokus bekerja. Begitu pun para seniornya.

Menjelang siang, pekerjaan Fiza telah usai. Dia merasa bosan kemudian melirik-lirik ke arah para seniornya yang masih fokus pada monitor.

"Para senior yang budiman, tolong bagi kerjaan dong, gue bosan."

Mendengar Fiza berkata seperti itu para seniornya langsung menoleh. Fiza menarik turunkan alisnya karena mendadak menjadi pusat perhatian.

"Lo kalau kerjaan sudah beres harusnya selancar di internet, lihat cewek-cewek cakep kek, atau apalah gitu. Ini kok malah minta kerjaan," kata Mas Faris.

"Astaga otak lo Mas. Sudah kayak Mas Gavin saja yang hobi banget bahas cewek," balasnya. "Ini kan jam kerja, Mas. Jadi waktunya kerja, bukan waktunya lihat-lihat cewek atau ngemil sampe lupa kerjaan."

Mas Gavin yang tengah makan camilan langsung menatap Fiza. "Lo benci banget kayaknya kalau gue bahas cewek lagi, ya, Za?"

"Emang," katanya santai lalu menampilkan deretan giginya.

"Kalau gitu, kerjain sisa kerjaan gue tuh. Gue mau ngemil," kata Mas Gavin yang membuat Fiza cemberut.

"Enggak adil, nih, tapi enggak apa-apa, sih. Daripada gue mati gara-gara bosen," ujar Fiza yang meminta Mas Gavin langsung mengirim pekerjaannya lewat email.

Fiza langsung mengerjakan pekerjaan Mas Gavin dengan senang hati. Sebenarnya, hari ini dia ingin segera malam. Ada rencana yang akan dia jalankan, yang memikirkannya saja membuat dia lebih semangat mengerjakan tugas seniornya.

Fiza melirik jam. Waktu menunjukkan tengah malam, dan dia masih terdampar di kantor bersama para seniornya.

Lelaki itu tersenyum-senyum kecil sambil bekerja. Dia yakin, ada orang yang tengah terganggu malam ini.

"Lo kenapa, Za? Gara-gara gila kerja jadi gila beneran, ya?" tanya Mbak Mila sambil menguap.

Fiza tersentak lalu menatap seniornya itu. Dia tersenyum manis pada Mbak Mila.

"Tuh, lihat, si Fiza gila beneran." Mbak Mila heboh sendiri mendapati Fiza kembali senyum-senyum.

"Perasaan ini bukan malam Jumat deh, kenapa tuh anak?" sahut Mas Faris keheranan.

"Astaga, malah nyangka gue gila. Gue lagi kerja kali, cuma sambil double agent," katanya yang tak dihiraukan oleh empat orang yang masih bekerja itu.

"Selamat bersenang-senang, Raiga," katanya dalam hati.

Selamat juga buat yang baca yang menjalankan ibadah puasa hari pertama. Semoga puasa hari pertamanya lancar. Makasih udah ngabuburit sambil baca Altamura ❤️

Altamura ✔Where stories live. Discover now