05. missing

81 38 85
                                    

"Ini mau sampai kapan?"

Hening, gak ada yang jawab.

"Maureen!"

Dia akhirnya menoleh ke arahku. Kemudian menunjuk dirinya sambil memasang muka kebingungan.

"Iyalah, kamu. Siapa lagi? Orang cuma kita berdua kok disini," jawabku.

Maureen membuang alatnya, "Anak tadi?"

Aku membuang napas malas, lalu mulai berkacak pinggang, "Dia kan nyerah. Mending masuk buku kasus aja katanya." jawabku, Maureen ngangguk-ngangguk.

"Yaudah," jawab Maureen habis itu lanjut kerja lagi.

Aku mendudukkan diri dengan agak kasar di lantai rooftop. Ah iya, hari ini aku terlambat, jadi hukumannya disuruh menyiram bunga yang ada di rooftop sekolah. Yang buat sial, sumber air adanya di lantai bawah. Jadi aku dan Maureen terpaksa bolak-balik ke lantai bawah hanya untuk mengisi air.

Ngomong-ngomong soal Maureen, dia yang mengajakku ke rooftop saat tau hanya aku yang dia kenal di barisan siswa terlambat pagi tadi. Sebenarnya dengan satu adik kelas juga sih, tapi anak itu lebih memilih masuk buku kasus saja supaya bisa masuk kelas lebih cepat. Sedangkan aku dan Maureen disini, mati-matian menahan nama masing-masing agar tidak masuk buku gelap itu.

Dan aku merasa aneh. Padahal ini baru pertama kali aku dan Maureen banyak berbicara. Tapi rasanya aku tidak canggung. Apalagi dengan sikap Maureen yang oke-oke saja dengan itu.

"Kalau gini ceritanya mah bisa sampai pulang, Rin. Mana bisa kita siram bunga sebanyak ini???" celotehku.

"Semangat!" jawab Maureen. Uh, singkat sekali.

Aku yang mulai bosan pun iseng melihat ke bawah. Disana ada beberapa kelas yang sedang kelas olahraga.

"Kabur aja yuk, Rin?" usulku pada Maureen. Udah siap-siap dengan tas di bahu.

Maureen akhirnya benar-benar meladeniku, "Jeanne, yang terlambat kayak kita harus masuk kelas pake kartu bebas hambatan dari guru BK. Kalau kita gak punya itu, sama aja enggak," balasnya.

Aku mengesot turun lagi. Seperti benar-benar tidak ada cara untuk keluar lagi selain menyiram hutan mini sekolah ini.

"Kamu mau ikut? Aku isi air dulu," ujar Maureen, aku menggeleng dan tetap di tempat karena tidak mau ikut.

Selagi Maureen mengambil air, aku menunggunya dengan bermain ponsel. Posisiku membelakangi pintu.

Ngit

Aku menoleh ke belakang dengan cepat. Pintu rooftop berdenyit tetapi tidak ada orang disana. Alhasil aku mendekat, mengecek semuanya apakah masih berada di tempatnya.

Tapi pendengaranku tidak salah, pintu rooftop memang bergeser sedikit dari tempatnya.

"Mau—reen?" gumamku setengah takut.

Tidak ada tanda-tanda Maureen, membuatku bertanya adakah orang lain selain aku disini. Tapi belum sampai aku bertanya apapun, sosok itu sudah duluan muncul.

Dia menyeretku ke tepi rooftop—di secuil tempat di rooftop yang tidak ada pagar pembatasnya. Semakin dekat dan dekat. Sepertinya dia ingin mendorongku ke bawah.

"Chenle!" aku memekik ketakutan. Kapan saja aku bisa jatuh, dan dia hanya memegangi satu lenganku.

"Lo mau mati kayak gini hah? Gue bisa lakuin itu sekarang juga kalau gue mau," ujarnya.

Aku menutup mata setelah dengan yakin berpegangan pada lengan dan baju Chenle. Apa maksudnya?

"Maksud lo apa? Gue gak—"

"Halah gak usah sok gak tau. Jangan pikir karena Mama undang lo kemarin, lo bisa seenaknya aja di rumah gue!" lanjutnya, kali ini suaranya makin tinggi. Selain itu, dia makin memposisikan aku ke tepi rooftop.

"Chenle! Gue—takut—ket—inggIAAAAAAA,"

"Lepas!" sekarang dia menyingkirkan lenganku di tubuhnya. Aku memeluknya, tentu saja. Kalau tidak, aku pasti sudah jatuh tadi.

"Mau lo apa sih?" tanyaku dengan napas yang tersengal-sengal.

Dia tersenyum tipis, lalu mendekat padaku lagi sampai tidak ada jalanku untuk kabur. Lengannya yang panjang sekarang membuatku terkurung.

"Daegal lo kemanain hah?" tanya nya dengan tidak sabar.

Aku mendongak, "K-kok lo tanya ke gue? Harusnya—"

"DAEGAL ILANG KARENA LO!" ujar dia akhirnya. Dengan suaranya yang menakutkan itu, mustahil bagiku untuk tidak menunduk seperti sekarang.

"G-gue beneran gak tau—"

"Bullshit! Gue gak mau tau. Lo harus cari Daegal sampe ketemu!" lanjutnya sambil memukul tembok yang berada tepat di samping wajahku. Aku yakin itu pasti sakit, tetapi sakit itu tidak Chenle tunjukkan lewat mukanya karena sekarang objek kemarahan terbesarnya adalah aku.

"NGERTI?" tanya dia sekali lagi. Sedangkan aku mengangguk takut-takut.

Sebelum pergi, dia menendang salah satu pot bunga sekolah yang terbuat dari tanah liat sampai pecah. Sorot matanya yang tajam dan menakutkan masih menghantuiku sampai akhirnya dia benar-benar hilang dari area rooftop.

Sedangkan aku, aku masih menetralkan jantung. Kalau aku ingat lagi, Daegal bersamaku saat malam Kak Taeyong menyusulku ke vila. Aku memang tidak berhati-hati membuka pintu malam itu karena aku pikir Daegal memang sudah tidur. Aku juga melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.

Lantas, dimana Daegal?

Memikirkannya saja sudah membuatku pusing tujuh keliling. Berurusan dengan Chenle bukanlah suatu hal yang mudah.

Aku meremas rambutku saat tidak tahu darimana harus mencari si putih itu. Namun di tengah-tengah kebingunganku, Maureen akhirnya datang.

"Jea! Kamu gak apa-apa kan?"

Aku menoleh ke arah Maureen, "Lo juga kan? Gue baik-baik aja, tadi cuma anak iseng—"

"Maafin kelakuan Mashiho dan gengnya ya? Mereka kadang emang kasar," ujar Maureen, kali ini dia sambil membersihkan sisa pot yang pecah.

"Mashiho? Tadi ada Mashiho?"

Maureen mengangguk, "Aku tadi dia tahan di bawah, makanya gak bisa bantu kamu. Felix, anak itu yang jaga pintu rooftop walaupun mentalnya yang paling cemen. Dan Chenle, kamu pasti diganggu dia kan?"

Aku terkesiap saat mendengar celotehan Maureen, "Kayaknya lo tau banyak tentang mereka?"

Maureen melihat ke arahku, "Aku emang tau banyak tentang siapapun. Termasuk kamu, Jeanne Lee. Walaupun Chenle tunanganmu, dia gak bisa seenak gitu aja sama kamu,"

Mataku membulat sempurna. Buru-buru aku mendekatinya, "MAUREEN??? KOK LO?"

Sedangkan dia hanya tertawa kecil, "Udah aku bilang, kan?"

Aku mengikuti Maureen beranjak untuk membuang potongan-potongan pot ke tong sampah, "MAUREEN? WE NEED TO BE FRIENDS!"

"That's already happened. Kamu lupa?"

"Ah maaf-maaf. Maksud gue, lo pasti bukan orang biasa. Lo—"

Maureen meringis mendengar suaraku yang begitu nyaring, "Udah lah, nanti aja ceritanya. Sekarang ini nih, tinggal dikit lagi," ujarnya.

"Okay. Tapi—seenggaknya spill dikit lah Rin. Lo ada hubungan apa diantara mereka bertiga?"

"Felix itu temen gue dari SMP,"

"Berarti bukan sama Felix. Sama Chenle?"

Maureen menatapku aneh sekarang, "Itumah kamu, Jeanne."

"Terus?? Siapa dong, Mashiho??? Lo siapanya?"

Dia tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaanku. Tapi akhirnya dia memberitahu sambil berbisik, "Istri."

"HAH?"



tbc







Our Private Life | ChenleWhere stories live. Discover now