02. talk

105 59 60
                                    

Hari Rabu, hari dimana murid yang mengikuti ekstrakulikuler akan disibukkan dengan kegiatan mereka masing-masing sepulang sekolah.

Sama halnya denganku. Tapi bedanya tahun ini, aku harus segera meninggalkan kegiatan ekskul untuk kelulusan yang sudah di depan mata. Sisa 4 bulan lagi sebelum semuanya berakhir—atau justru sebelum semuanya benar-benar dimulai?

Coba tebak, diantara semua ekskul yang ada di sekolahku seperti jurnalis, fotografer, melukis, fine art, modern dance, choir, karate, catur, futsal, tenis meja, volley ball, basket, drama, science club, design grafis, berkebun, drum band, junior chef, dan robotik. Mana yang aku ikuti?

Hehehe, none of those.

Ya—walaupun aku benci tapi kadang aku melakukannya. Maksudku, aku masuk ekskul ini lewat jalur eksklusif. Dan khususnya lagi, kelasku tidak bisa digabung dengan anak lain. Jadi setiap ekskul aku selalu sendiri—berdua dengan mentorku sih—tapi ya, gitu deh.

Sambil menunggu mentorku selesai membimbing kelas reguler, aku biasanya berkeliling di sekitar sekolah. Atau menyibukkan diri dengan hal-hal menarik di sekolah ini. Aku tidak pernah kehabisan objek untuk dicaritahu.

Misalnya seperti sekarang. Bekas kejadian beberapa minggu lalu masih terputar jelas diingatanku. Jadi aku kembali mengunjungi taman yang agak tersembunyi dari kantor utama sekolah.

Aku merutuki diriku sendiri. Tentu saja anak-anak nakal kemarin tidak ada. Sekarang jadwal untuk ekstrakulikuler berkebun. Aku memilih kembali ke gedung utama sekolah, ingin menghabiskan waktu di perpustakaan saja.

Tapi saat berjalan kembali, aku melihat dua orang yang biasanya bersamaku.

"Claire! Win—"

Belum saja habis menyapa, tatapan sinis Winter sudah memotong penggilanku. Mereka berdua berlalu begitu saja. Oh iya, mereka kan masih jaga jarak.

Aku pastikan karena suaraku yang menggelegar memanggil Winter dan Claire tadi, sekarang aku ditatap sinis oleh beberapa anak ekskul drama dan dance yang lewat. Iseng, aku balik memelototi mereka yang sedang terang-terangan mengataiku.

Anak dance dan drama di sekolahku memang bandarnya gosip. Karena mereka, segala cap buruk seperti pansos, nolep, jijaygirl, halugirl, edan, gaje, caper, sudah melekat pada diriku. Sialan emang.

Aku tertawa keras saat mereka menatapku dengan tatapan terkejut. Kayaknya gelar edan masih bisa aku terima.

Selang waktu lima menit berjalan kaki, aku sudah kembali ke gedung utama sekolah. Aku menunggu di depan lift seorang diri saat pintu lift tersebut terbuka.

 Aku menunggu di depan lift seorang diri saat pintu lift tersebut terbuka

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kaki ku terpaku di tempat. Tanpa membuka masker pun semua orang juga pasti tahu siapa sosok dibaliknya. Lagian, cuma dia yang gemar memakai jaket gucci di sekolah.

Sebelum dia mendongkak lalu melihatku, alangkah baiknya aku kabur. Seberusaha mungkin aku kabur tanpa membuat suara. Bukan hanya matanya, telinganya juga tidak kalah tajam asal kalian tahu.

"Hey! Gak jadi masuk?"

Aku dengar Chenle berteriak di belakang ku. Iya juga, pasti aneh kalau tiba-tiba tidak jadi. Aku harus alasan apa ya?

"Eng-enggak, sas—saya tiba-tiba sakit perut. Mau ke—toilet."

Duh, aku ngomong apa sih? Walaupun suara sudah aku kondisikan, tapi tetap saja. Aku tetap melantur.

Aku masih memunggunginya sampai akhirnya penyamaran ku terungkap.

"Oh? Jeanne Lee? Masuk. Gak usah kabur-kaburan kayak anak TK," ujarnya.

Aku masih enggan berbalik, bagaimana dia bisa tahu secepat itu???

"Toilet arahnya kesana, bodoh. Masuk." katanya. Menyebalkan.

Aku membalikkan badan dengan malu yang sudah aku tahan sebisa mungkin. Aneh atau kebetulan, setiap bersama dia harga diriku selalu diinjak-injak.

Chenle terpantau bermain ponsel lagi. Baguslah—aku bisa jadi agak rileks. Aku menekan tombol lantai 4, ingin mengambil tas di kelas kemudian menunggu di perpustakaan.

"Eks—"

Ting

"Duluan." potongku.

Secepat kilat aku berlari menuju kelas. Melewati dua kelas untuk sampai ke kelasku yang terletak di sudut lorong. Aku menelan salivaku takut. Benar-benar tidak ada orang selain aku di lantai ini.

Segala hal-hal menakutkan terlintas di pikiranku. Seperti ada yang memerhatikanku dari jauh atau mengikutiku berlari. Hal-hal mengerikan itu masuk ke dalam otakku sampai-sampai aku menahan napas dan berlari saat kembali menuju lift.

Entah kenapa rasanya seperti dikejar zombie, bahkan sekarang— "AAAA,"

Aku reflek membekap mulut saat melihat sesosok yang berdiri di tengah-tengah lift yang sedang terbuka.

Chenle melihatku dengan tatapan anehnya, "Cih, dasar penakut."

Rasanya lebih malu dibandingkan tadi. Karena dapat ku rasakan wajahku memanas sekarang. Bahkan jantungku masih berdetak abnormal. Sumpah—aku kira tadi itu pennywise, karakter hantu yang paling aku takuti.

"Mana ada hantu siang bolong begini," Chenle menyahut sambil tertawa remeh. Sedangkan aku, diam saja karena masih menenangkan detak jantung.

Ting

Lift berbunyi sekali lagi. Aku kira tempat pemberhentianku, ternyata bukan.

"M-makasih tadi udah—"

"Ga niat si gue nungguin lo. Jadi gak usah geer."

—tbc









Our Private Life | ChenleWhere stories live. Discover now