-BERADU STRATEGI-

31 6 0
                                    

Roro Jonggrang duduk di jendela kamarnya sambil memandang bulan dengan bulatan sempurnanya sehingga cahaya matahari yang dipantulkannya ke bumi begitu terang-benderang seperti saat ini. Senyumnya tak lepas sejak ia kembali dari aktifitas melarikan diri keluar istana tadi. Pertemuan dengan pemuda tampan dan gagah bak ksatria karena telah menolongnya yang hampir jatuh tertabrak orang di pasar membuatnya tak dapat melepaskan bayang-bayang sosok tersebut. Siapakah gerangan pemuda gagah berani itu? Dilihat dari penampilannya, pemuda itu bukanlah sosok sembarangan. Namun dari keluarga mana ia berasal? Sungguh hal yang luar biasa bahwa pemuda itu dapat menarik perhatiannya.

"Ada apa putriku Jonggrang tiba-tiba melamun sendirian di kamar?" Tanya Prabu Baka.

"Ah, tidak ada apa-apa Ayahanda, hanya terpana memandang bulan purnama malam ini yang tampak lebih besar dari sebelumnya," Jonggrang menuruni jendelanya dan memberi salam kepada ayahnya. "Ada apakah gerangan Ayahanda kemari malam-malam? Apakah ada hal penting yang hendak dibicarakan?" Ia mempersilahkan ayahnya duduk berhadapan dengannya.

"Sepertinya Ayahanda akan kembali ke medan perang dalam waktu dekat ini untuk melawan Prabu Damar Maya dan pasukannya yang kembali membuat ulah di perbatasan Barat kerajaan kita setelah sekian lama telah berhasil kita pukul mundur," Prabu Baka menghela napas panjang dan mengambil salah satu buah yang terhidang di meja untuk kemudian memakannya.

"Apa?!" Roro Jonggrang terkejut dan nyaris bangkit dari duduknya. Kesepuluh jarinya dikepalkan erat. Setiap kali ia mendengar nama Kerajaan Pengging entah mengapa darahnya selalu mendidih. "Apakah mereka tidak tahu malu setelah berkali-kali dikalahkan oleh Ayahanda? Mengapa raja yang satu ini tak henti-hentinya terus mengganggu kerajaan kita? Apakah mereka tidak puas dengan wilayah luas yang mereka miliki sekarang?"

"Tenangkanlah dirimu putriku," Prabu Baka menepuk-nepuk punggung tangan kanan Rara Jonggrang. "Ayahanda tahu bahwa Ayahanda bukan raja yang baik dan sangat berterima kasih atas usahamu meredam gejolak di kalangan rakyat," Prabu Baka adalah sosok manusia raksasa yang terkenal dengan kekejamannya terhadap lawan-lawannya yang ingin menguasai tanah miliknya. Namun dibalik nama itu, ia adalah raja yang sangat mencintai putrinya dan berharap putrinya bisa menjaga kerajaan mereka untuk tetap eksis dan makmur tanpa berada di bawah bayang-banyak kerajaan lain ke depannya.

Roro Jonggrang terkejut bahwa ayahnya selama ini mengetahui tindakannya yang sering pergi diam-diam keluar istana. Ia pun merasa bersalah atas tindakan seenaknya yang sangat berbeda dengan putri-putri kerajaan lainnya yang penuh kelembutan dan gemulai keanggunan. Dilahirkan dan dibesarkan dalam kalangan kerajaan yang didominasi oleh pria membuatnya jauh dari tatanan itu. Ia tak kalah ksatria dibalik wajah cantik penuh wibawanya.

"Duduklah kembali putriku," Ucap Prabu Baka. "Kau tak perlu khawatir bahwa Ayahanda akan memarahimu atas tidakan sesukamu itu. Ayahanda hanya berpesan, apapun yang terjadi pada saat peperangan nanti, Ayahanda hanya ingin kau tetap tegar berdiri melindungi kerajaan ini."

Entah mengapa Roro Jonggrang merasakan firasat tidak baik dari ucapan ayahnya. "Apa maksud Ayahanda? Jonggrang sangat mengenal kekuatan Ayahanda dan para punggawa yang tak pernah terkalahkan oleh siapapun sehingga disegani oleh kerajaan lainnya kecuali Kerajaan Pengging yang haus akan perluasan wilayahnya dan terus memerangi Ayahanda."

"Apakah Jonggrang harus mendampingi Ayahanda untuk ikut berperang dan memastikan bahwa kerajaan kita tidak terkalahkan?" Tatapan khawatir ditunjukkan Roro Jonggrang kepada Prabu Baka mengingat bahwa ayahnya itu sudah semakin tua.

"Tidak perlu putriku, kau cukup menjaga stabilitas kerajaan selama Ayahanda tinggal untuk berperang seperti biasanya..." Prabu Baka menepuk-nepuk punggung tangan kanan Rara Jonggrang yang mengepal kencang untuk meredakan gejolak amarahnya. Dirinya tahu seberapa hebat kemampuan putrinya itu dalam beradu strategi di medan perang karena ia sendirilah yang mengajarinya. Bahkan dalam peperangan-peperangan sebelumnya, Rara Jonggranglah yang membantunya. Namun ia tak mau anak semata wayangnya itu lupa akan kodratnya sebagai wanita sehingga tidak melibatkannya dalam peperangan kali ini. Harapannya hanyalah putrinya itu dapat segera menikah dan hidup tenang dan Bahagia tanpa melibatkan senjata di tangannya.

***

"Saya...," Danas menjawab dengan ragu.

"Kamu bagaimana?" Tanya Ganendra penasaran untuk memastikan apakah pancingannya berhasil mengenai umpan atau tidak. Ia adalah Master Mind Games, strategi di dalam segala bidang kehidupan sangatlah ia kuasai dan selalu menjadi pemenangnya, bahkan dalam urusan menaklukkan wanita yang adalah makhluk merepotkan baginya. Terutama jika harus menghadapi air mata mereka yang selalu menjadi senjata andalan untuk membuat pria tak enak dibuatnya. Itulah mengapa ia memilih tidak terikat oleh salah satu dari mereka.

Kepalan tangan Danas menguat untuk menghimpun keberaniannya dalam menjawab pertanyaan Ganendra yang jujur saja cukup sulit untuk dilakukan olehnya. Jangan sampai jawabannya menjadi buah simalakama bagi dirinya karena ia sungguh tak dapat menebak apa yang dipikirkan oleh orang di depannya ini. Seumur hidupnya baru kali ini ia berhadapan dengan orang yang tak dapat diprediksi dan itu sungguhlah membuatnya sakit kepala karena hatinya terus berteriak untuk menghindar dari lelaki ini meskipun ia sendiri tak tahu apa alasannya.

"Saya mencari wangsit dulu." Danas mengangkat kepalanya dan menatap mantap kearah Ganendra sehingga membuat topangan tangan Ganendra di dagunya terlepas karena tidak menyangka jawaban itulah yang keluar dari Danas.

"Saya tidak tahu apa hubungan antara sahabat saya yang selalu berpikir sumbu pendek itu dengan Bapak. Namun karena Pak Ganendra telah melibatkan sahabat saya yang memiliki kelemahan itu dan membuat saya harus berurusan dengan anda, maka..."

"Ganendra," Potong Ganendra dengan nada tegas dan sedikit dingin seolah berusaha mendominasi. "Mulai sekarang panggil aku dengan nama itu jika berada di luar pertemuan yang bersifat non formal seperti ini dan aku tidak terima penolakan."

"Eh?!" Bola mata Danas membesar karena kejutan tak terduga lainnya. Ini apa lagi sih?! Teriak batin Danas. Aku menjawab seperti itu agar tidak mendapat respon seperti ini! Memangnya sedang main catur apa hingga harus berstrategi? Dasar abnormal!

Sekarang kamu mau menjawab apa Danastri Candramaya? Ganendra kembali tersenyum dan kini memainkan kelima jarinya di atas meja karena merasa telah unggul dalam permainan yang sedang dilakukannya.

Danas semakin mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat berusaha membulatkan tekad agar bisa mengakhiri pembicaraan yang nyaris membuatnya kehilangan kendali untuk tidak memaki. Jika sampai hal itu terjadi, maka hanya akan membuatnya kalah dalam beradu strategi.

"Mohon maaf, namun saya tetap tidak bisa, dunia anda terlalu berbeda dengan dunia saya," Ini adalah pertaruhan terakhir Danas. Ia membungkuk dalam di depan Ganendra dengan segenap harga dirinya memohon dengan amat sangat. "Kalaupun sahabat saya akan memarahi dan menganggap saya sudah tidak waras karena menolak tawarannya, biarlah itu menjadi urusan saya dengannya. Kalaupun Pak Ganendra menggunakan pengaruh Bapak di tempat kerja saya, kemungkinan besar saya akan dimutasi atau diturunkan jabatannya. Saya lebih baik memilih jalur tersebut, permisi."

Kali ini Ganendra benar-benar tak dapat berkata apa-apa menanggapi kepergian Danas yang hanya memberikan punggung dingin untuk kedua kali padanya.

"Bukankah aku sudah bilang bahwa untuk merebut hati gadis itu tidak bisa menggunakan cara pemaksaan seperti diriku dulu pada Rara Jonggrang? Aku terjatuh karena kearogananku merasa mampu menaklukannya," Bandung Bondowoso menghela napas. "Semakin kau memaksa, semakin larilah dirinya. Kau bilang bahwa dirimu berbeda denganku, ternyata sama saja..."

Amarah Ganendra muncul setelah mendengar ucapan Bandung Bondowoso. Ia tak terima bahwa ada yang menolak dirinya.

***

Kontrak JiwaWhere stories live. Discover now