Bab 6

46 13 0
                                    

Lebih dari Seratus Ribu (6)

Brak!

"Indra! Kamu beneran mau laporin Randy ke polisi?!"

Aku terperanjat saat tiba-tiba Rianti membuka pintu ruanganku dan bertanya denga suara keras.

"Kamu lupa caranya ketuk pintu apa gimana?" tanyaku sinis.

"Jawab pertanyaanku, Indra!"

"Kamu tahu dari mana?"

"Aku denger dari Satya. Tapi, karyawan yang lain juga udah banyak yang tahu."

Aku menghela nafas. Benar dugaanku 'kan? Cepat atau lambat semuanya akan tahu kondisi perusahaan kami.

"Kamu gak mau jawab pertanyaanku?" tanya Rianti.

"Gak! Aku belum membuat keputusan. Banyak hal lain yang lebih penting untuk diurus sekarang."

"Jangan laporin dia ke polisi, Indra!" kata Rianti.

Aku terkekeh mendengar kata-katanya. Tentu saja, dia akan berkata seperti itu, Randy adalah kakak kandungnya.

"Ini bukan karena dia kakakku. Tapi... papaku pasti akan marah sama kamu."

Dia memang sudah marah, kataku dalam hati.

"Nanti aku akan bicara sama papa. Kamu tenang aja, apapun masalahnya, pasti ada jalan keluarnya. Asal jangan buat papaku marah. Aku janji, aku akan buat papa bantu kamu cari jalan keluar dari semua masalah ini."

Aku menatap Rianti dengan tatapan iba. Memang, apa yang bisa dilakukan anak manja itu? Dia mungkin hanya akan merengek di depan ayahnya tanpa mengerti apapun permasalahan yang kami hadapi.

Akan sulit bagi Rianti memahami bahwa kakaknya telah melakukan penggelapan dana dan memanipulasi laporan keuangan demi meraup keuntungan pribadinya.

Saat ini, aku bahkan tengah bersiap menghadapi kemarahan para penyuplai utama bahan pokok produk-produk yang kami jual. Entah berapa kerugian yang akan harus kami tutupi.

Lagipula, Reymond sudah terlajur marah padaku. Dia mengira aku menantangnya, padahal aku hanya sedang mencari jalan keluar terbaik dari permasalahan yang sudah dibuat oleh anaknya sendiri.

"Kamu tahu, kira-kira kakakmu ada di mana?" tanyaku. Rianti menggeleng.

Aku sudah tahu jawabannya, pasti tidak tahu. Mereka satu keluarga, tapi tidak dekat dengan satu sama lain. Rianti bahkkan lebih sering bergaul dengan ibuku dari pada dengan ayah kandungnya. Apalagi Randy, dia memperlakukan siapapun yang punya potensi menjadi pesaingnya sebagai musuh, termasuk adik perempuannya sendiri.

"Stop, Ri!"

Aku menghardiknya saat ia mencoba mengambil amplop berhargaku.

"Kenapa amplop jelek ini segitu dijaganya, sih?!" tanya Rianti.

Aku menghela nafas. Rasa kesal selalu datang setiap kali dia membahas amplopku dengan kata-kata yang merendahkan.

"Bukan urusan kamu!"

"Itu dari seseorang?" tanya Rianti lagi. Aku tidak berminat menjawab.

"Dari siapa? Pacar kamu?"

"Kamu boleh aja punya pacar, Indra. Tapi ingat ya, aku yang akan jadi istri kamu," katanya.

Aku tertawa sinis sambil memutar kedua bola mataku, wanita ini sungguh konyol.

"Mama kamu udah setuju loh."

"Mamaku sih, asal aku cepet-cepet nikah, sama siapa aja setuju. Apalagi sama kamu, yang suka nyogok barang mahal sama jalan-jalan."

"Kok, kamu gitu sih? Aku beliin mama kamu barang-barang mahal bukan buat nyogok kok. Cuma pengen beliin aja. Aku gak punya ibu yang bisa diajak jalan dan dibeliin barang-barang."

Cintaku dalam Amplop Seratus RibuWhere stories live. Discover now