Bab 2

61 12 0
                                    

Lebih dari Seratus Ribu (2)

“Pak Indra kenal sama Mbak Ina?” tanya Yudha.

“Jadi, dia beneran Sakina? Sakina Khairunnisa?” Aku balik bertanya.

“Iya, Mbak Ina nama panjangnya memang Sakina Khairunnisa,” jawab Yudha. Dia menatapku dengan heran.

Sontak aku memeluk laki-laki itu. Kuabaikan ekspresi terkejut di wajahnya. Aku bahagia, akhirnya, aku akan punya kesempatan bertemu dengan Sakina lagi.

“Hmm!”

Lidia berdehem keras. Aku menoleh padanya, dia sedang mengunyah dodol sambil mengerutkan kening.

“Jadi, benar kakak pak Yudha, maksud saya, Mbak Ina pernah tinggal di Bekasi sepuluh tahun lalu?” tanya Lidia  pada Yudha yang sudah kubebaskan dari pelukan.

“Oh, iya benar. Setahu saya, Mbak Ina memang pernah tinggal di Bekasi, dulu, waktu ayahnya masih ada. Pulang ke Boyolali waktu ayahnya wafat, di makamkan di kampung. Setelah itu menetap, ndak pernah ke mana-mana lagi,” terang Yudha.

“Bisa dihubungi?” tanya Lidia lagi.

“Hah? Maksudnya?”

“Maksudnya, ada nomornya yang bisa dihubungi?” Aku memperjelas pertanyaan adikku.

“Oh! Ada.”

Yudha memasukkan tangan kanannya ke saku kemeja yang ia pakai. Dia mengeluarkan sebuah telepon genggam. Laki-laki itu melakukan swipe pada system android gawainya lalu mencari-cari nomor yang kutanyakan.

“Ini nomornya. Mau ditelepon sekarang?”

“Boleh, kalau bisa,” jawabku.

Dia men-dial sebuah nomor yang diberi nama ‘mba ina’ di aplikasi teleponnya. Dengan sabar, aku menunggu saluran telepon itu terhubung.

Satu menit, dua menit, tiga menit… telepon tidak juga diangkat.

“Kayaknya lagi sibuk,” kata Yudha sambil terus men-dial nomor Sakina.

“Kirim nomornya ke saya aja, biar nanti saya telepon sendiri,” kataku.

“Baik, Pak. Tapi, mohon bersabar nanti, mbak Ina memang seperti ini. Sering ndak pegang hape. Kadang, kalau saya sms juga dijawabnya suka berhari-hari. Kalau ada perlu, harus ditemui langsung.”

“Memangnya Mbak Ina sesibuk itu?” tanya Lidia.

Yudha terlihat menerawang, keningnya berkerut. Sepertinya, dia sedang mengingat-ingat kegiatan rutin sepupunya sehari-hari. “Setahu saya, selain membuat dodol susu di pagi hari, siangnya Mbak Ina juga ngajar TPA. Setelah itu, dia pulang. Merawat ibunya yang sakit. Sudah, itu aja sih,” kata laki-laki itu sambil mengangguk-anggukkan kepala.

“Ibunya sakit?” tanyaku.

“Ya. Biasalah Pak, sakitnya orang tua,” jelas Yudha.

***

Fraud adalah penyalahgunaan asset meliputi penggelapan, pencurian harta perusahaan yang biasa kita sebut dengan asset tetap oleh pihak internal dan atau eksternal perusahaan. Kecurangan ini memiliki sifat berwujud sehingga mudah pada perhitungan dan pengukuran dalam pengungkapannya. Kecurangan ini merupakan jenis kecurangan yang paling sering dilakukan. Seperti contoh terjadinya penggandaan harga pembelian aset atau yang biasa disebut kenaikan harga, pembelian aset yang tidak pernah terjadi, ataupun pencurian aset.
_________________________________________

Aku menghela nafas setelah membaca laporan pengacaraku. Ini bahkan belum semuanya, tapi kepalaku sudah pusing. Sudah lama aku mendengar ada penyelewengan di bagian keuangan, tapi bukan hal mudah membuktikannya. Ini harus diselidiki diam-diam dan mendalam. Jika memang benar ada penyelewengan, sungguh, mereka melakukannya begitu rapi.

Cintaku dalam Amplop Seratus RibuWhere stories live. Discover now