Ah,Lili tak sabar ingin segera pergi dari tempat terkutuk ini dan menumpahkan segala air mata yang dia tahan sedari tadi.

Tetapi baru dua langkah, suara Ozan sudah menghentikannya.

"Siapa yang menyuruhmu pergi?"

Lili berbalik badan dengan cepat.

"Kamu itu istriku. Bagaimana bisa kamu pergi dari rumah ini. Apa yang akan orang pikirkan saat melihat istriku kembali ke panti asuhan?" kata Ozan yang terlihat tenang, namun matanya itu kini menunjukkan tatapan tak senang.

"Duduklah. Sepertinya kamu belum paham maksudku." Pria itu menunjuk sofa yang tadi Lili duduki itu dengan matanya.

Lili mendengkus tak percaya. Tentu saja Lili paham. Lelaki biadab ini ingin dia tinggal di sini dan menutupi hubungan kotornya dengan perempuan itu.

"Kamu tidak berpikir aku akan menurutimu, kan?" Sentak Lili dengan sengit.

"Harus!" Lelaki itu menyahut cepat.

"Jika tidak...jangan salahkan aku jika besok pagi bangunan kumuh tempat tinggalmu itu rata dengan tanah," ancam Ozan tak main-main. Sebuah map yang semula di atas meja di depannya,kini diraih untuk diperlihatkan pada Lili.

Mata Lili terbelalak saat membaca sekilas isi map yang ternyata adalah sertifikat tanah panti asuhan.

" JANGAN BERANI-BERANI KAU SENTUH PANTI KAMI, BAJINGAN!" sentak Lili marah. Lili tak bisa lagi menahan nada bicaranya melihat apa yang ada di tangan Ozan. Bagaimana...bagaimana Ozan bisa memiliki sertifikat tanah itu?

Dirinya dibohongi dengan kejam Lili masih sanggup menahannya. Namun, tidak dengan panti tempat tinggalnya. Bunda Rahma, adik-adiknya, dan panti itu adalah hidupnya. Tempat dia dibesarkan. Tempat dia mendapat kasih sayang. Keluarganya. Lili tidak akan diam saja ketika ada yang mengusik keluarganya.

Ozan terkekeh menang.
Senang bukan main telah mendapatkan kelemahan gadis yang tengah menatapnya dengan muka merah padam.

"Tenanglah. Aku belum menyentuhnya sama sekali," ejek Ozan dengan kekehan pelan.

"Tindakanku tergantung dengan sikapmu Lili. Jika kau bersikap baik, maka aku akan melakukan hal yang sama," rayu Ozan dengan santainya, seolah sedang membicarakan hal sepele. Tak peduli jika hal ini segalanya bagi Lili.

"Selama kau bersikap baik, maka panti itu aman. Setiap bulan aku juga akan mengirimkan dana bantuan. Tetapi jika sebaliknya, besok pagi aku pastikan panti itu sudah tidak ada."

"Kau tidak akan bisa, bajingan!" sahut Lili dalam tarikan napas kasar.
"Aku tidak akan membiarkannya!"

Sementara Ozan kini menghela napas pelan. Memutar pandangan sesaat, sebelum akhirnya kembali menatap Lili.

"Pintunya ada di sana. Keluar, dan besok pagi kau lihat, aku bisa atau tidak." Pria itu bangkit dari duduknya.

"Aku tidak suka diragukan. Kamu bisa buktikan sendiri," ujar pria itu yang membuat Lili bungkam. Menatap nanar pria yang menjulang di hadapannya.

Ozan menyising lengan kemejanya sesaat sebelum berkacak pinggang menatap Lili.

"Pilihan ada di tanganmu. Keluar...atau naik ke kamarmu," tantangnya tak berperasaan sebelum beranjak dari sana.



***

"Halo, Kak.."

......

"Kak? Halo? Tidak ada suaranya.Aku matiin-"

"Jangan," ucap Lili akhirnya. Ia berdeham sebentar sebelum melanjutkan.
"Bunda mana, Va? Belum tidur,'kan?"

"Belum. Ada di sebelah Iva. Bunda tahu aku nerima telpon dari Kakak. Bunda mau dengar juga katanya." Sontak membuat Lili tertawa pelan.

"Iya,iya. Kakak juga mau bicara sama bunda," jawab Lili yang tak lama kemudian berkaca-kaca begitu suara bunda Rahma terdengar.

Di saat seperti ini, kenangan dan kasih sayang Bunda Rahma berterbangan di kepala.

Bunda Rahma begitu baik, menyayangi mereka layaknya anak dia sendiri. Wanita paruh baya berhati mulia itu sudah mendirikan panti asuhan  sejak lebih dari dua puluh lima tahun yang lalu bersama suaminya. Suaminya meninggal lima belas tahun yang lalu,dan bunda Rahma tidak memiliki anak karena memang tidak bisa memilikinya.  Mungkin itu sebabnya dia mendirikan panti asuhan. Sebab di panti itu semua anak-anak tidak pernah mendapat perlakuan kasar,maupun tak adil. Sebaliknya malah mendapat kasih sayang yang tulus layaknya dari seorang ibu.

Itu seolah...bunda Rahma hanya memiliki panti dan anak-anak itu setelah kematian suaminya. Sedangkan anak-anak di sana tentu hanya memiliki bunda Rahma sekaligus panti untuk tempat berlindung.

Lili tak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka jika panti itu tidak ada.


Itulah sebabnya,dibanding mempertahankan harga diri dan menuruti keinginan hatinya sendiri dengan keluar dari pintu rumah ini, Lili memilih jadi pecundang dengan menaiki tangga menuju kamarnya.








Bersambung.

awal post 13-04-2021
Repost 12 Jan,2024
______________________________

CINTA DARI LILIWhere stories live. Discover now