Bagian 7

4.8K 231 27
                                    

***

Rash bersantai di sofa kamarnya, sambil menonton televisi dari kanal luar negeri. Pemandangan yang cukup jarang. Biasanya lelaki itu lebih banyak menghabiskan waktu di depan laptop saat berada di rumah. Menganaktirikan segala bentuk hiburan seakan tidak perlu.

"Suka nonton discovery channel ya Mas?", basa-basi Mela menunjukkan kehadirannya. Disuguhkannya segelas es teh di atas meja lalu menemani Rash duduk di ujung sofa yang lain.

"Dari kecil selalu suka.", jawab Rash santai. "Tapi kalau kamu ingin menonton kanal lain, silahkan, pindah saja."

"Tidak Mas.", jawab Mela tak kalah santai, seraya tersenyum membalas sinar mata Rash yang lurus padanya. "Aku tidak terlalu suka nonton TV. Setiap kali menonton ujung-ujungnya cuma mengurut channel."

Rash tersenyum setelah meneguk es tehnya.

"Ternyata kita sama. Menonton TV niatnya mengusir kejenuhan tapi malah semakin jenuh. Lucu." Rash kembali meneguk es teh yang masih di tangannya. "Terima kasih tehnya. Aromanya segar."

Mela terkesiap. Tanpa sadar, ternyata sedari tadi ia terus mengamati aktivitas Rash.

"Ehh.. Iya, apa Mas?", gugup Mela menjawabnya. Seperti sedang salah tingkah karena Rash terus meminum teh buatannya. "Emm iya, itu aku, emm mencampurnya dengan daun mint. Hasil kebun Mamaku di rumah. Seperti yang aku bilang, tadi siang aku sambang ke rumah."

"Pantas, jadi lebih segar. Daun mintnya fresh.", puji Rash.

Mela tersenyum. Lalu keduanya memilih untuk memusatkan perhatian pada layar kaca, sama-sama terdiam untuk beberapa saat. Suasana kamar pun menghening. Yang terdengar hanya bising dari layar televisi, yang menyayupkan denting jarum jam.

Fokus Mela terpecah antara layar kaca dan wajah suaminya. Seakan sedang menunggu sesuatu yang sudah dinanti-nanti hingga tergurat garis cemas di raut wajahnya.

Rash meminum tehnya saat merasa dahaga kembali menyerang kerongkongan. Terlebih rasa teh itu sedap, segar.

Rupanya, semakin lama Rash merasa dahaganya semakin parah. Ini bukan sekedar kehausan. Duduknya mulai tak tenang. Ada sesuatu yang aneh dengan tubuhnya. Ada gejolak tak biasa.

Rash menghabiskan tehnya tapi gelenyar aneh itu justru kian menguat. Berulangkali ia mengusap tengkuknya agak kasar. Gelisah. Beralih ke pahanya sembari terus menerus meniup udara lewat mulut.

Sedari tadi ia berusaha tak menengok Mela. Tubuh wanita itu seakan mengeluarkan zat kawin khusus yang bisa membuatnya kalang kabut mengatasi diri sendiri. Takut tak sanggup menahan sesuatu dan melanggar kesepakatan mereka.

"Mas Rash tidak apa-apa?"

Rash menata nafasnya. Sebisa mungkin bersikap biasa sementara banyak titik di bagian sensitifnya berdenyut kala Mela bersuara. Susah payah Rash menahan diri dengan mengabaikan istrinya. Tidak mengacuhkan sama sekali.

"Sepertinya Mas sedang kurang enak badan. Coba..."

"Stop!" Bentak Rash seraya menepis sentuhan Mela di lengannya. Lalu menghalau dengan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Menciutkan nyali Mela hingga sampai ke kecil hatinya. Rash merasa tidak akan sanggup melawan denyut-denyut sensual tubuhnya jika Mela sampai menyentuhnya. Ia takut Mela tidak siap menerimanya. Sekalipun jika Rash meminta haknya, bukanlah merupakan sebuah dosa, melainkan berbuah pahala. "Ma..maafkan aku Belva. Aku.."

"Aku yang minta maaf Mas." Mela berdiri. Ia menyesali perbuatannya, menyesali sesuatu yang ia sembunyikan. Penyesalan yang tertuang di wajah kecewanya. "Mungkin aku terlalu lancang. Maaf Mas."

Rash hanya bisa memejamkan mata erat-erat tanpa beranjak dari sofa saat Mela berbalik meninggalkannya. Wanita itu menjauh, membawa segunduk kecewa dan segunung penyesalan. Harusnya tidak demikian yang ia lakukan. Ia sadar telah melakukan kesalahan fatal.

"Maafkan aku Belva, aku tidak bermaksud tapi a..aku... Aku..."

Mela hanya berhenti tanpa berbalik. Tidak menghiraukan alasan Rash yang terdengar alot. Namun dari suaranya, Mela tahu lelaki itu sedang berdiri hendak menyusulnya. Entah mengapa, karena itu ia jadi takut sendiri. Tubuhnya bergidik ngeri seakan berusaha lari dari suatu tindak kejahatan. Seakan-akan ia adalah sasaran yang diincar.

"Aku yang salah Mas. Lain kali aku tidak akan seberani itu menyentuhmu."

Mela menjauh tak butuh jawaban Rash. Ia masuk walk in closet hendak berganti pakaian. Sudah malam, lebih baik tidur untuk melupakan kesalahan dan kekecewaan di hari ini.

Klekk!

Tiba-tiba Mela terkaget saat pintu ruangan itu terbuka. Kasar dan tiba-tiba. Ia tercengang, lalu refleks menutup dadanya yang sedikit terbuka. Matanya terbelalak saat menyaksikan Rash berdiri di ambang pintu dengan wajah merah dan keringat mengucur deras di kedua pelipisnya. Dada lelaki itu naik turun dengan cepat seperti sedang diserang kehausan yang gawat.

"Ma..mas Rash??"

Brukk!!

Secepat kilat Rash menubruk Mela bak harimau kelaparan. Bersiap menerkam hingga punggung wanita itu membentur cermin besar di belakangnya.

Mata Rash menyala. Berduet dengan mata Mela yang membulat tak percaya. Tiba-tiba Rash menghimpitnya, menatapnya tajam bak banteng yang garang tapi tetap mengiba butuh belas kasihan.

Nafas Rash terus menderu dan menggangu wajah Mela yang hanya terpisah beberapa centimeter saja. Tangannya yang semula bersandar cermin kini turun ke pinggang Mela.

"Mas..."

Sebutan itu memancing, mendekatkan wajah Rash pada Mela yang semakin mengempis tak berdaya.

"Belva...", balas Rash berat saat Mela menoleh guna menghindari wajahnya. Nafasnya semakin kacau dan tidak beraturan. Tanda nyata dari sebuah kegelisahan tak berkesudahan.

"I..iya Mas.", gagap Mela menyahuti.

"Kataka... Apakah aku akan berdosa, jika aku menginginkanmu sekarang, sekalipun aku harus memaksa jika kamu menolakku?"

Jantung Mela seakan mau lepas kala mendengarnya. Normalkah indra pendengarannya itu? Suara Rash yang biasa tenang dan dewasa mendadak penuh fibra. Banyak getar-getar mengkhawatirkan.

"Kumohon jawablah Belva. Aku mungkin tidak sanggup lagi menghalau tubuhku sendiri jika kamu hanya diam." Susah payah Rash mengatur kalimatnya. Juga menahan diri agar tidak lepas kendali.

Dalam posisi terdesak dan tubuh terhimpit, perlahan Mela memberanikan diri membalas tatapan ganas Rash yang sedang dikuasai syahwat. Bibir tipisnya mengatup rapat. Semakin tercekat. Enzim di rongga mulutnya seakan gagal menghasilkan liur. Terasa pekat gagal melumasi.

Leher Mela kaku tapi tetap berusaha memberi jawaban. Ia harus yakin. Sepenuhnya yakin. Jawabannya lah yang menentukan nasibnya malam ini, juga nasib pernikahannya di masa depan.

Mela menggeleng, yang berarti membuka akses untuk Rash selebar-lebarnya. Ia yakin. Tidak pernah ada dosa bagi suami yang menginginkan istrinya. Sebaliknya, pahala bagi keduanya yang sama-sama rela.

***

Cerita lengkap ada di KBMapp y say

*** 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 31, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HERTZ (Part Eksplisit 21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang