Bagian 3

4.7K 342 20
                                    

Jangan lupa subscribe n comment

***

Rash membuka laptopnya, memeriksa
beberapa surel yang masuk. Menggeser kursor terus ke bawah. Ia terhenti sejenak karena sesuatu yang mengganggu penglihatannya. Sosok Mela yang masih berdiri tak jauh darinya.

"Sudah memilih?", sergah Rash pada Mela yang tampak melamun.

"Ehh?"

Mela yang sedang terkesiap pun sibuk membenarkan sikap. Namun ada yang membuat Rash mengunci tatapan pada wanita itu. Beberapa detik lalu ia menyaksikan Mela gugup mendengar pertanyaannya tapi kini wanita itu mendekat seraya menatapnya mantap, hingga tercium aroma parfum yang membuat bulu kuduk Rash berdiri. Bukan karena aura mistis tapi harum yang mengarahkan telapak tangannya untuk mengusap tengkuk sendiri. Aroma yang membangkitkan.

"Nanti saja."

Rash membenahi duduknya agar bisa berhadapan dengan Mela. Sikap yang mengisyaratkan tanya besar untuk sebuah penjelasan.

"Nanti saat kita sama-sama menginginkan bulan madu, baru kita berangkat.", jelas Mela lugas.

Rash tersenyum kecil. Menunduk sejenak menyiapkan jawaban. Ia tak menduga Mela akan membuat keputusan senetral itu. Di pikirannya Mela tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk berlibur bersamanya.

"Kamu yakin?"

Mela mengangguk. Membalas senyum Rash penuh keyakinan.

"Bagaimana jika aku tidak akan pernah menginginkannya?"

Senyum manis di bibir Mela berhasil menyamarkan debar dadanya kala mendengar pertanyaan Rash. Ia sadar sedang berpura-pura memiliki perangai kalem, tapi kalem bukanlah lemah. Ia tegar sekalipun badai pertanyaan Rash menghantam, dan nantinya harus semakin kuat jika menghadapi persoalan yang lebih dahsyat.

Mela menatap kedua bilik Rash dengan tenang meskipun hatinya sedang terguncang. Dulu, memang tidak ada kesepakatan yang membicarakan seputar perasaan, jatuh cinta, simpati atau semacamnya, tapi tetap saja pertanyaan Rash seakan memutus rajut harapan.

"Di dalam sebuah pernikahan, entah dengan atau tanpa cinta, bulan madu tidak pernah menjadi tolak ukur akan apapun. Tidak memengaruhi tujuan dari pernikahan itu sendiri. Kelak menginginkannya atau tidak, selama pengantinnya bahagia, maka esensi dari pernikahan itu sendiri sudah tergapai. Lagi pula, pertanyaan seperti itu lebih baik disimpan untuk suatu hari nanti, saat kita sudah mengarungi samudera pernikahan ini . Manusia tidak boleh congkak, Allah itu penguasa hati manusia."

Rash kembali tersenyum simpul, menunduk, menyembunyikan kekaguman. Membuat Mela bernafas lega meskipun tak tahu persis isi pikiran suaminya. Ia pikir Rash akan menyangkal atau semacamnya. Namun sepertinya, jawaban panjang lebar yang baru saja ia utarakan dengan tenang justru terdengar diplomatis di mata lelaki tampan itu.

"Baiklah." Rash mendongak. Membagi senyum kecil yang mengesankan. Senyum yang memukau banyak kaum hawa, tidak luput juga Mela. "Aku akan mengajukan tawaran bulan madu itu di lain hari."

"Aku menunggunya, mungkin jawabanku berbeda." Sahut Mela mantap. Mengerlingkan mata sebagai pertanda sebuah tantangan yang berbaur dengan canda.

Satu hal baru yang disadari Rash akan sosok Mela. Wanita itu bijak, smart, pribadi yang cukup menarik, yang bisa membawa obrolan berbobot menjadi ringan. Cukup menyenangkan.

Memang sejak awal ia tahu Mela cukup nyaman diajak bertukar pikiran, terutama saat membuat kesepakatan tentang pernikahan di awal. Kalau Rash boleh membandingkan, ia merasa Mela ada mirip-miripnya dengan sosok Krisan. Sepupunya yang terjerat dalam balutan cinta terlarang.

Mela sendiri merasa penolakan atas ajakan bulan madu Rash adalah pilihan yang tepat. Meskipun jawaban itu tercetus dalam waktu yang singkat, Mela pikir itu bukan keputusan yang cacat. Ia sudah berpikir cukup matang dalam hitungan detik. Untuk apa menghabiskan waktu di resort-resort mahal, entah di luar atau dalam negeri, jika itu hanya untuk dinikmati sendiri. Hotel remang-remang pun jauh lebih mewah jika itu dinikmati berdua, bersama orang tercinta.

Bukan tempatnya, tapi bersama siapa, di sanalah esensi kemewahan sebuah pernikahan baginya. Daripada menebak-nebak situasi yang belum tentu membahagiakan, lebih baik ia luangkan waktu untuk kembali ke rutinitas, membantu orang tuanya mengelola bisnis kuliner yang cabangnya menggurita.

"Lalu apa yang akan kamu kerjakan di hari pertama pernikahan kita ini?" Pertanyaan Rash berlanjut, mengalihkan pembicaraan.

"Tidak ada, mungkin aku hanya perlu istirahat sebelum besok kembali membantu Mama. Kecuali..."

"Kecuali apa?" Rash penasaran.

"Kecuali kalau Mas Rash butuh kopi, aku akan segera membuatkan. Setidaknya itu bisa menandakan bahwa ini hari pertama kita setelah dinyatakan sah sebagai suami istri.", jawab Mela dengan bibir melebar, melempar gurauan.

Rash pun tertawa kecil menanggapi. Keduanya terlibat dalam percakapan yang lebih tampak sebagai kawan daripada pasangan. Yah, kiranya itulah hari pertama pernikahan yang disesuaikan.

Saat hangat menyelimuti bincang keduanya, Rash mendengar dering teleponnya. Ia memutar kepala, lalu menemukan benda kotak pipih itu dari kejauhan. Ia melangkah, meninggalkan Mela setelah mengontak mata untuk mendapat izin mengangkat teleponnya. Santun. Sangat menghargai wanita.

Rash menemukan nama yang sedang coba ia usir dari hatinya, tapi susah. Ia tak bisa mengabaikan, lalu memilih menerima telepon dan keluar kamar, menuju balkon kamarnya. Sengaja, demi menjaga hati Mela.

Cinta atau tidak, Mela tetap wanita yang kini berstatus istrinya. Sebisa mungkin Rash ingin memakan buah tanpa terkena getah, apalagi getah itu sampai mengenai orang lain. Lebih baik ia tanggung sendiri segala kemungkinan, daripada menyakiti seorang wanita, pantang baginya. Entah sampai kapan, dan bagaimana akhirnya.

***

Subscribe dan komentar ya. Makasih.

Cerita lengkap ada di KBMapp

HERTZ (Part Eksplisit 21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang