Bagian 1

9.4K 358 23
                                    


***
"Apa yang kamu harapkan dari pernikahan tanpa cinta?"

Tadinya Mela pikir Krisan tidak akan segamblang itu membuka obrolan. Baru saja mereka bertemu, pertanyaan Krisan segera menghunusnya. Semula ia pikir bisa bersikap lembut dan memasang raut sabar, berkamuflase dibalik wajah kaum lemah yang sama sekali bukan gayanya. Kalaupun harus dalam kondisi lemah, ia harus memastikan tidak ada yang melihatnya.

Tatapan keduanya bertemu, sama-sama tajam. Terlebih Krisan. Matanya nyalang seperti sedang bertemu musuh bebuyutan.

Mela sendiri sengaja diam. Membiarkan mantan pacar calon suaminya menumpahkan isi kepala. Ia sedang membaca. Menyiapkan kata demi kata untuk menumpas seseorang yang bisa saja merendahkan harga dirinya.

"Kak Rash hanya mencintaiku, dan kamu tahu itu. Apa yang kamu cari dari seseorang yang sama sekali tidak mencintaimu? Mengharap dia mencintaimu seiring berjalannya waktu? Lucu."

Krisan menatap Mela yang masih diam. Pikirnya inilah kesempatan untuk melanjutkan. Selagi Mela terus saja bungkam maka inilah waktu yang tepat untuk terus menyerang sekaligus menindas.

"Lebih baik kamu batalkan pernikahan kalian. Karena akulah yang pantas bersanding dengannya di pelaminan. Aku mencintainya dan dia mencintaiku."

Benar dugaan Mela, Krisan akan meminta kursinya. Terus berupaya menumbangkan mentalnya dengan kalimat yang menjatuhkan, memojokkan. Berharap dirinya ketakutan dan berhenti melangkah. Dalam batin Mela tertawa. Rupanya gadis itu tidak tahu siapa dirinya. Krisan tidak pernah tahu bahwa Mela bisa semanis madu, tapi juga bisa sebahaya candu.

"Kamu bisa cari lelaki lain yang mencintaimu. Kamu cantik. Punya banyak uang. Kenapa mau menikah dengan Kak Rash yang sudah jelas-jelas jadi milikku?"

Mela mengerutkan kedua alisnya. Ada reaksi tak biasa. Mungkin ada kalimat yang mengusik keluar dari bibir tajam Krisan. Namun Mela masih mengunci bibirnya. Lama-lama, menyaksikan Krisan bergejolak ternyata mengasyikkan.

"Kenapa hanya diam?" Krisan mulai kesal. Merasa tak digubris. Sementara ia butuh respon untuk memastikan upayanya telah membuahkan hasil, berhasil merobohkan pendirian Mela.

Mendengarnya membuat Mela menarik nafas, mengeluarkan dalam sekali hembusan yang panjang tapi terdengar memuaskan. Ia bersiap diri untuk sebuah pertunjukan. Membenahi hijabnya. Bergaya merapikan pakaian lalu merebahkan punggung ke kursi. Lalu mengakhiri dengan santai menyilangkan kaki.

"Kamu ingin aku bicara apa?"

Krisan menarung alisnya. Respons Mela di luar dugaannya. Ia pasang wajah serius dan sedikit tak terima. Lalu mencondongkan dadanya ke depan, menyatukan kedua telapak tangannya di atas meja.

"Apa kamu bodoh? Sampai harus kuulang dua kali?"

"Ya aku bodoh." Sahut Mela setelah meminum seteguk lemon tea dari gelasnya. "Tapi aku cukup pintar memilih suami."

Krisan mengetatkan rahang. Ia semakin penasaran dengan tabiat Mela yang masih tertutup tirai menerawang. Samar.

"Kamu bilang aku ini cantik, kaya, kenapa tidak cari lelaki lain untuk dijadikan suami? Begitu kan pertanyaanmu?" Mela tersenyum lalu menjeda kalimatnya. Sengaja mempermainkan Krisan yang kentara penasaran. "Kamu sendiri apa tidak secantik aku hingga tidak percaya diri untuk mencari yang lain, sampai harus memohon padaku untuk meninggalkan calon suamiku?"
"Kamu!" Bentak Krisan muntap.
"Aku? Kenapa? Hahaha..." Tawa Mela terlepas kendali hingga menarik perhatian beberapa pengunjung restoran. "Ups! maaf tawaku memang sering kelepasan dalam situasi konyol seperti ini. Emm... Tadinya kupikir bisa saja berubah pikiran dan membatalkan pernikahan dengan Rash usai pertemuan kita, tapi sekarang aku jadi tidak menyesal menghadiri undanganmu di restoran ini. Aku semain dibuat penasaran dengan lelaki bernama Rash, semenarik apa dia hingga gadis kaya raya bernama Krisan tak mampu lagi mencari lelaki lain selain dirinya. Terima kasih untuk informasinya. Aku rasa tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi."
Mela berdiri, mengangkat kaki untuk pergi tapi mengurungkan langkahnya sejenak.
"Ah ya, aku lupa, mungkin di pertemuan selanjutnya status kita sudah berubah menjadi sepupu. Jadi tolong siapkan panggilan yang baik untukku ya." Senyum Mela ironi menginjak-injak. "Satu lagi, tagihan minumannya biar aku yang bayar. Anggap saja ini caraku merayakan perkenalan kita. Tak masalah bagiku kehilangan uang, asal jangan kehilangan Mas Rashif Putra Rasya. Sampai ketemu kembali calon Adik iparku Krisan."
Brakk! "Keparat!" Krisan meledak. Ia gemparkan restoran itu dengan menggebrak meja dan meneriaki Mela yang melenggang keluar setelah membayar tagihan. "Tunggu! Kamu pikir siapa bisa memperlakukanku begini huh?!"
Ledakan emosi Krisan sia-sia. Mela sudah menghilang dari pandangannya. Ia salah sangka. Mela tidak semudah bayangannya. Gadis itu bukan pesaing remeh. Mela tangguh dan Krisan menemuinya dengan perbekalan kurang. Tentu saja ia terhempas dari arena laga.
"Sial!" Gerutu Krisan menggegat giginya seraya meremas tepian meja. Ia menunduk malu saat menyadari sedang jadi pusat perhatian. Lalu segera keluar membawa kedongkolan.
***
Klek!
Pintu kamar mandi mengatup. Rash menoleh sebentar menyaksikan istrinya telah selesai bersih diri. Lalu spontan ia menoleh lagi. Ada pemandangan baru di kamarnya. Ada yang berbeda dengan Mela. Kini rambutnya menguar indah. Harus Rash akui, aurat yang selama ini dijaga ternyata menambah satu tingkat pesona istrinya. Tak panjang memang, sebahu tapi dalam pandangan Rash lebih pantas. Itu pendapat yang ia utarakan dalam diam.
Hari ini mereka sudah resmi disebut pasutri. Sejak Rash lantang menyahuti ijab yang diucapkan ayah Mela tadi pagi, maka ia resmi menyandang status sebagai suami.
Mela mendekat ke ranjang. Tempat dimana Rash sedang sibuk curi-curi pandang, antara ponselnya atau sosok Mela.
"Kalau Mas keberatan aku tidur di ranjang, aku bisa tidur di sofa."
"Ehh..." Bola mata Rash salah tingkah. Bagaimanapun, ia sukar mengatasi kegugupan karena ada sosok baru di kehidupannya. "Apa kamu keberatan tidur seranjang denganku?"
Mela tersenyum meskipun batinnya terkejut. Tidak menyangka cara Rash menanggapinya. Ia kira Rash akan mengalah, tidur di sofa dan merelakan ranjangnya. Ternyata lelaki pendiam seperti Rash lebih banyak kejutan.
Mela menggeleng pelan. "Tidak sama sekali."
"Aku tidak tahu kebiasaan tidurmu. Lampu menyala atau padam, lakukan saja mana yang membuatmu nyaman."
Mela yang kini sudah menempatkan posisi di ranjang tersenyum mendengarnya. Isi kepala Rash semakin santer membuatnya penasaran.
Kedua insan itu bersanding dalam hening. Sewajarnya sepasang suami istri yang belun mengenal cinta.
"Seminggu lalu Krisan menemuiku."
Deg! Mendengar nama Krisan disebut, Rash menoleh seketika.
Dalam batin Mela bertepuk tangan. Rupanya benar, kail untuk memancing perhatian Rash adalah dengan menyebut nama gadis yang dicintainya, Krisan. Mela tahu, dan sementara ini tidak ada masalah dengan hal itu. Sama halnya dengan proses mencintai seseorang, melupakannya juga butuh waktu. Anggap saja Rash sedang berdiri di garis itu. Krisan hanyalah bagian masa lalu yang bisa saja segera enyah.
"Dia memintaku meninggalkanmu Mas."
"Ohh.." Rash mengusap tengkuknya tampak kikuk.
Mela menunduk, menarik selimut untuk menutup tubuhnya. Ia tahu malam pertama mereka tak akan berarti apa-apa. Ia pun tak berharap lebih dari sekedar tidur di ranjang berhias bunga. Cukup berbincang kecil di kamar yang mewangi di sepanjang sisi seperti ini saja sudah istimewa. Lebih dari ekspektasinya.
"Seperti yang sudah Mas ketahui sebelumnya. Aku menikah denganmu karena orang tua. Karena Mama yang meminta. Apa yang menurut Mamaku baik insyaAllah baik untukku. Ridho orang tua adalah ridho Allah juga. Itu yang aku tahu... Sejujurnya aku tidak punya cinta untuk Mas Rash, aku yakin Mas Rash juga sama. Jadi seperti yang sudah kita sepakati bersama, kita jalani saja semua apa adanya. Mengalir seperti air."
Rash mengangguk-angguk pelan. "Hm. Kita jalani saja. Biarkan Tuhan bekerja."
Bibir Mela melebar menyambut tatapan Rash padanya. Terhitung hanya sebulan ia mengenal suaminya. Bahkan baru malam ini ia bisa mengamati wajah Rash dari dekat. Lelaki tampan yang lapisan terluar kalbunya saja tak dapat ia sentuh. Apalagi raba. Bagi Mela, Rash tak ubahnya sebuah khayalan yang suatu saat bisa jadi kenyataan.
"Selamat malam Mas..."
"Selamat malam, Belva..."
Hanya satu hal yang Mela tahu tentang Rash, lelaki itu mencintai Krisan. Entah sedang berjuang melupakan atau tidak, sejauh ini Mela belum tahu. Memang cukup riskan menjalani pernikahan dengan lelaki yang bertaut hati dengan wanita lain, tapi...
Mela yakin tidak ada yang kebetulan. Mela yakin akan pilihannya meskipun sekarang bunga-bunga di kamar bernuansa merah itu tampak layu, bercahaya remang tak ada frekuensi rindu. Namun, bisa jadi bunga-bunga itu bermekaran di satu titik waktu. Di periode musim tertentu.
***


HERTZ (Part Eksplisit 21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang