8. Ibu

1.1K 228 26
                                    

Usai mengantar Ji-na pulang, Sunghoon tak langsung pulang kerumah. Ia memiliki sebuah tujuan. Mengunjungi sang ibu. Rindu.

Sebelum mengunjungi ibunya, ia membeli sebuket bunga tulip putih. Sang ibu begitu menyukai bunga yang memiliki lambang kesucian tersebut. Maka dari itu, hari ini ia akan membawakan untuknya.

Setelah menempuh perjalanan selama 20 menit akhirnya ia sampai. Senyum itu mengembang. Melangkahkan kaki dengan perasaan campur aduk. Antara rindu, senang, dan sedih.

Disinilah ia, dimakam sang ibu tercinta. Yang telah melahirkan dan juga merawatnya. Meski sang ibu tak bisa melihat sang anak yang telah tumbuh menjadi seorang pemuda berwajah tampan.

Ia berjongkok didekat makam sang ibu. Mengelus nisan itu sayang. Seolah mengelus pundak orang yang sangat ia sayangi dan rindukan.

"Ibu, lihat aku kemari membawakan bunga kesukaanmu." Ucapnya sambil terus tampilkan senyum. Menaruh sebuket bunga itu ke atas batu nisan.

"Aku sangat merindukanmu. Sebenarnya ingin sekali menyusul ibu di surga. Namun ketika mengingat pesan ibu untukku. Aku pun mengurungkan niat."

"Bu, tadi aku bertemu dengan anak kecil. Ia tersesat dan terpisah dari orang tuanya. Ia begitu menggemaskan. Umurnya belum genap 5 tahun."

"Hari ini, aku merasa lebih baik dari hari-hari sebelumnya."

"Bu, hatiku mulai merasakan getaran aneh. Apakah aku sedang jatuh cinta? Apakah itu rasanya jatuh cinta?"

"Tapi mana mungkin aku jatuh cinta dengan orang yang begitu kekanakan. Ia selalu menggangguku ketika berada di sekolah. Ah tidak, bukan hanya di sekolah saja."

"Namanya Lee Ji-na, bu. Aku sangat heran dengan sifatnya yang menyebalkan. Namun, mengapa aku selalu menyukai sifatnya itu."

"Bagaimana ia selalu memohon kepadaku untuk pulang bersama. Padahal ia berangkat sekolah bersama kakaknya."

"Tadi siang ia terpeleset. Ia meminta bantuanku dan aku pun menggendongnya. Saat menggendongnya, aku merasakan perasaan aneh. Ah sudahlah aku tak mau membahas dirinya."

"Apa ibu bahagia di sana? Tentu saja bahagia. Karena disana ibu tak lagi merasakan penderitaan."

"Penderitaan yang ibu alami karena pria brengsek itu. Aku sangat membencinya. Jika bisa memilih, aku mungkin tak mau menjadi darah dagingnya."

"Lihat? Dunia tak adil. Pria brengsek itu hidup tenang dan bahagia. Seolah tak ada rasa bersalah dalam relung hatinya."

Hufftt
Hela napasnya panjang. Ia mulai merogoh handphone nya. Melihat jam yang tertera di lockscreen. Ternyata sudah menunjukkan pukul 16.30.

"Bu, maafkan aku. Aku harus pulang. Lusa aku akan mengunjungi ibu lagi. Menetap disini lebih lama. Sampai jumpa bu." Pamitnya dan mengecup nisan sang ibu lembut.

Beranjak berdiri dan melangkahkan kaki dengan tidak rela. Ia ingin disini lebih lama. Namun, mengingat hari sudah senja. Ia harus pulang. Para maid mungkin sudah menunggu sang Tuan Muda yang tak kunjung pulang.



+*:ꔫ:*﹤


"Ji-na, apa perlu kupanggilkan tukang pijat kesini?" Tanya Kak Heeseung yang sedari tadi menatap kakiku.

"Eumm. Panggilkan saja. Lagipula aku juga ingin kakiku segera cepat sembuh. Asal kau tahu ini sangat menyakitkan. Aku tak bisa kemanapun dengan bebas." Ucapku.

"Baiklah aku akan segera menghubungi tukang pijat andalan eomma." Kak Heeseung mulai menghubungi sang tukang pijat.

"Halo. Ini bibi Jung kan? Bibi bisa kesini?"

ᴅᴀʀᴇ || ᴘᴀʀᴋ ꜱᴜɴɢʜᴏᴏɴTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang