Bab 11. Masih Posesif

Start from the beginning
                                    

Cila tersenyum. "Makasih ya, Kak." Dia sudah sampai di belokan menuju kelas. Lalu melambaikan tangan pada Vian. Tak sengaja matanya melihat Rain di kejauhan, sedang menatapnya tajam. Buru-buru dia membalikkan badan dan pergi.

Vian menggaruk kepalanya, padahal dia belum selesai bicara, Cila sudah pergi. Dia pun berputar arah, karena kelasnya berada di gedung berbeda.

***

Beberapa jam berikutnya, Rain sengaja menunggu Cila tepat di samping pintu kelas wanita itu, agar tidak kabur lagi. Dia dengan sabar berdiri di sana, meski sudah lebih dari satu jam. Hingga Dosen yang mengajar akhirnya keluar, menandakan kelas telah berakhir. Satu persatu teman Cila keluar.

Cila selalu keluar selalu paling terakhir, karena malas berdesakan di pintu. Saat wanita itu mulai terlihat, dia langsung memegang tangannya. "Pulang bareng aku, ada yang mau diomongin." Tanpa basa-basi.

"Aku nggak bisa." Cila menarik tangan dan melangkah.

Pantang bagi Rain untuk menyerah, dia kembali memegang tangan Cila dan memaksanya berhenti. "Kenapa sih nggak bisa nurut sekali aja? Kita harus bahas ini biar clear." Memaksa lagi.

"Aku nggak berminat bahas apapun!" tegas Cila.

"Terserah kamu mau bilang apa, aku tetap nggak akan biarin kamu menjauh kayak gini." Tanpa melepaskan tangan Cila, Rain mengeluarkan ponselnya yang sejak tadi berbuat.

Dari Sarah.

Cila melirik layar ponsel Rain, melihat nama Sarah tertera di sana hatinya kembali diserang penyakit. "Angkat aja kali, calon istri ini yang nelepon." Dengan nada ketus.

Rain mengabaikan telepon itu. "Pulang sama aku," ucapnya memerintah.

"Nggak mau!" sentak Cila. Tangan Rain berhasil terlepas.

"Jangan membantah, Cila!" Rain balas marah.

Terjadilah adegan tarik menarik dan kejar-kejaran. Rain selalu berhasil menangkap pergelangan tangan Cila, lalu memaksa wanita itu menurutinya. Mereka sampai menjadi pusat perhatian Mahasiswa lain yang sedang lewat.

"Apaan sih Rain, maksa banget!" teriak Cila, habis kesabarannya. "Mau kamu tuh apa sebenernya? Di satu sisi kamu mikirin Sarah, tapi di sini kamu malah mempersulit aku."

"Kamu jelas tau aku ke Sarah cuma untuk bertanggung jawab," terang Rain.

"Sampai harus janji nikahin segala? Sebesar itu tanggung jawab kamu sama dia?" cecar Cila.

"Saat itu aku cuma pengen dia tenang, Cil. Aku bahkan nggak ngerti dengan apa yang udah aku omongin, karena spontan gitu aja."

"Tapi janji tetaplah janji, Rain. Kamu nggak bisa tarik kembali. Tepati." Cila menunjuk dada Rain dengan telunjuk. "Itu baru namanya tanggung jawab."

Rain tidak lagi menghalangi Cila pergi, merasa sangat terpukul. "Gimana dengan janji aku ke kamu, Cil? Itu pun harus ditepati, kan?"

Cila menghentikan langkah.

"Cil, aku janji sama kamu suatu saat nanti aku akan melamar kamu. Setelah aku punya kerjaan, dan bisa bahagiain kamu."

Tiba-tiba ucapan Rain kala itu terngiang kembali di telinga Cila. Dia berbalik. "Kamu nggak bisa menikahi dua wanita sekaligus, kan, Rain? Jadi harus ada yang mengalah agar kamu bisa menepati salah satunya." Air matanya sudah berlinang.

"Aku pilih kamu," lirih Rain.

"Kalau gitu telepon Sarah sekarang, katakan kalau kamu nggak bisa tepati janji sama dia." Cila menantang.

Mantan Rasa Pacar (TAMAT)Where stories live. Discover now