Merobohkan Dinding

360 54 2
                                    

Javier melangkah memasuki kantor Adrienne kala jam menunjukkan waktu makan siang.

Hari ini adalah pertemuan ketiga mereka dalam minggu ini. Javier merasa senang memiliki guru sebaik Adrienne. Bukan sikapnya—karena Adrienne sungguh gadis tanpa ekspresi terhebat yang pernah Javier temui—tetapi kelugasannya dalam menyampaikan hal-hal penting dengan jelas. Javier merasa ia mengalami perkembangan pesat hanya dalam waktu empat hari setelah ia terjun dalam dunia bisnis konstruksi dan properti. Dan, ia harus berterima kasih kepada gadis dingin yang begitu fokus mengajarinya selama beberapa hari terakhir.

"Selamat siang, Adrienne," sapa Javier begitu duduk di hadapan gadis itu. Tak lupa ia sunggingkan senyum manis yang biasanya akan mendatangkan senyum balasan dari para gadis, bahkan ajakan menghabiskan waktu bersama. Namun, jangan harap Adrienne akan melakukannya.

Seperti biasa, Adrienne tampil dalam balutan baju kerja yang sopan. Rok pensil putihnya hanya satu senti di atas lutut dan kemeja dengan motif bunga dandelion berwarna peach menyempurnakannya.

Adrienne mengangguk sebagai balasan, bersikeras tetap menggeluti donat cokelatnya.

Javier tersenyum. Ia tahu, Adrienne sungguh berbeda dengan gadis-gadis yang pernah ditemuinya. Meski sering kali tidak berekspresi, Adrienne selalu tampak hidup ketika makan. Ia bahkan tidak segan untuk mengatakan bahwa ia tidak mau membagi makanannya sejak awal pertemuan pertama mereka. Maka dari itu, sekalipun ada tumpukan donat berwarna-warni di hadapannya, Javier tidak menyentuhnya sama sekali. Hal terakhir yang diinginkan Javier adalah diusir keluar dari ruangan itu hanya karena perkara donat.

Adrienne melangkah menuju lemari es di sudut kiri ruangannya, lalu meletakkan sekaleng minuman bersoda di hadapan Javier. Satu lagi keunikan yang dimiliki Adrienne; gadis itu hanya menyediakan minuman bersoda atau air mineral dan tanpa ragu mengatakan kepada Javier untuk jangan pernah membawa minuman beralkohol dalam bentuk apa pun ketika bertemu dengan Adrienne.

Bukan berarti Javier akan melakukannya. Lagi pula siapa yang akan minum minuman keras di siang hari, pada jam kerja pula? Sungguh, pada masa ternakalnya sekalipun, dalam kenekatannya untuk memberontak dulu, Javier tidak pernah mencampuradukkan masalah pekerjaan dengan hal yang berpotensi merusaknya.

"Apa yang akan kita pelajari hari ini?" tanya Javier antusias.

"Aku ingin kau menganalisis proposal itu. Pusat perbelanjaan di bagian utara kota mengajukan renovasi besar-besaran dan pihak berwenang sudah menyutujuinya," jawab Adrienne.

Javier menyesap minumannya, lalu membaca dengan saksama.

"Mereka memiliki tujuan lain dari renovasi ini," gumam Javier akhirnya.

Adrienne mengangguk, diam-diam mengagumi kecerdasan juga ketepatan analisis Javier. Sebelumnya, Adrienne meragukan pria itu, karena dengan sikap ramah juga tampilan lahiriah yang mengindikasikan Tuhan sedang tersenyum ketika menciptakannya, Javier akan bosan dengan pelajaran yang diberikannya. Bukan tidak mungkin Javier akan berakhir seperti anak-anak para konglomerat itu: hidup dengan menghamburkan uang perusahaan.

Namun, kini Adrienne harus mengakui bahwa apa yang dikatakan Faxson mengenai putra sulungnya itu benar adanya. Javier adalah seorang pria pekerja keras yang pantang menyerah. Yah, selama Javier tidak mencoba mengusiknya, maka Adrienne akan baik-baik saja. Adrienne tetap tidak akan terpengaruh oleh kehadiran pria itu dalam hidupnya.

Bahkan meski pria itu luar biasa tampan.

Satu jam berikutnya dihabiskan Adrienne untuk menanyakan reaksi Javier terhadap berbagai keadaan yang mungkin terjadi selama berlangsungnya suatu proyek. Jawaban Javier selalu logis dan tepat sasaran.

"Apa yang akan kau sarankan untuk pembangunan yang dilakukan di atas tempat yang sebelumnya berpenghuni? Misalnya pembangunan apartemen di daerah yang dulunya merupakan pemukiman warga pribumi. Apa yang akan kau lakukan untuk menguatkan citra yang diminta oleh klien?" tanya Adrienne.

"Aku akan berusaha menggagalkannya," jawab Javier tanpa ragu.

Adrienne mengerjap tidak percaya. "Apa?"

Seraya menyandarkan tubuh, Javier membalas pandangan gadis di hadapannya dan berkata, "Aku tidak akan menyetujui proyek yang menghapus sesuatu dalam prosesnya. Aku bekerja dalam bidang ini untuk menciptakan sesuatu yang belum ada. Atau mungkin sedikit memperbaiki apa yang sudah ada. Bukan untuk menggantinya."

Adrienne mengerutkan kening. Tampak tidak memahami. "Bagaimana kau melakukan itu? Kita bekerja sebagai pembangun dan setiap kali kita membangun, tentu akan ada hal yang harus dikorbankan. Perusahaanmu akan bangkrut dalam hitungan bulan jika kau terus bersikap seperti pahlawan kesiangan."

"Aku tidak mengatakan bahwa kita tidak berkorban dalam proses dari pekerjaan ini," balas Javier tenang. "Setiap usaha yang kita lakukan tentu mengandung risiko semacam itu. Namun, aku akan menggagalkannya dalam artian khusus, seperti yang kau katakan, ketika pembangunan itu dilakukan di atas tanah warga pribumi. Seperti di atas tanah suku Anak Dalam, bukan? Aku sempat membaca beritanya. Aku tidak akan menyetujui proyek itu—tak peduli seberapa besar kerugiannya—karena aku tidak bekerja untuk menghapus budaya. Orang lain mungkin bisa melakukannya, bukan berarti aku harus ikut serta."

Adrienne terdiam. Perasaannya tercampur aduk. Ia tidak mempermasalahkan jawaban Javier, tetapi alasan yang dikemukakan Javier membuat pria itu terlihat semakin berbeda di mata Adrienne. Javier sungguh-sungguh mempelajari segala hal yang berhubungan dengan bidang ini, bahkan dalam waktu singkat, Javier bisa mengenal budaya Indonesia.

Parahnya, Adrienne tak lagi bisa menyamakan Javier dengan pria lain dan itu terjadi hanya setelah tiga pertemuan. Adrienne tidak bisa menerjemahkan isyarat hatinya. Ia merasa segala batas yang dibuatnya tidak berlaku terhadap Javier. Seluruh dinding yang dibangunnya susah payah roboh semudah jentikan jari.

Dan, itu membuat Adrienne takut.

Ponsel Javier berdering dan setelah mengeceknya, pria itu bangkit berdiri. Jika ia menyadari perubahan dalam diri Adrienne, ia tidak mengatakannya. Atau mungkin panggilan itu begitu penting hingga Javier terburu-buru untuk melangkah pergi.

"Aku harus pergi sekarang. Bisakah kita melanjutkan pelajaran besok? Di sini pada jam yang sama?" tanya Javier.

Adrienne hanya bisa mengangguk.

***

Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)Where stories live. Discover now