Javier dan Duka

446 71 2
                                    

Jakarta, 2017

Jawaban ayahnya saat itu sungguh sebuah kebohongan.

Karena kini, Javier mendapat buktinya. Sesosok pria berhati bijak yang dengan bangga Javier sebut sebagai ayah,tertidur di atas brankar rumah sakit dengan bantuan peralatan medis untuk menopang hidupnya. Tak pernah sekali pun Javier berpikir penyakit jantung ayahnya berbahaya, hingga ia mendapat telepon dari sekretaris ayahnya yang mengatakan Faxson Keane terkena serangan jantung.

Sudah satu minggu Javier berada di ibu kota negara Indonesia. Menemani Hester dan menunggui ayahnya. Namun, di saat-saat tertentu, Javier akan pergi untuk menghirup udara segar. Javier tidak bisa terus-menerus berada di kamar rawat dan membiarkan otaknya memutar skenario terburuk. Untungnya, ada sebuah panti asuhan di belakang bangunan rumah sakit. Sehingga ketika membutuhkan ruang untuk dirinya sendiri, Javier akan pergi ke sana dan bermain piano. Ia sendiri tidak tahu mengapa panti asuhan itu memiliki piano elektrik, yang jelas ia benar-benar bersyukur karena benda itu ada di sana. Begitu dekat untuk dijangkaunya kala sedang menjaga ayahnya di kamar rawat.

"Aku akan kembali, Hester," ucap Javier sebelum melangkah pergi.

Pria itu memutari bangunan rumah sakit hingga menemukan sebuah gerbang perumahan berwarna putih. Letak panti asuhan itu tak jauh dari gerbang. Javier ingat kedatangannya yang pertama, ia sampai harus memanggil asistenayahnya yang mendapat tugas berjaga di rumah sakit agar bisa masuk ke panti asuhan itu. Keterbatasannya dalam bahasa menjadi penghalang, tetapi segera setelah ia memainkan piano, segala batas itu hilang. Seluruh penghuni panti asuhan menyambutnya dengan hangat dan bersahabat.

Seperti hari ini, begitu membuka gerbang, Javier disambut ceria oleh anak-anak yang tengah bermain di halaman. Mereka mengucapkan serangkaian kata yang tidak dipahami Javier, meski menilik tarikan tangan-tangan mungil mereka, Javier mengerti apa yang mereka inginkan. Maka tanpa menunda-nunda, Javier menghampiri piano di bagian kanan bangunan, lantas meletakkan jari-jarinya pada permukaan tuts.

Javier memasang ekspresi bertanya, kemudian mendapat jawaban berupa anggukan dari anak-anak di sekelilingnya. Iseng, Javier melarikan jemarinya di atas tuts, disusul oleh tekanan nada-nada sumbang dari anak-anak lainnya. Javier tertawa, sementara seorang gadis kecil berkucir kuda menggerakkan tangannya seolah meminta teman-temannya untuk mundur dan duduk tertib.

Tawa Javier terus berderai, hingga si gadis kecil mengalihkan pandangan kepadanya dan menunjuk piano tegas. Javier memberi hormat ala militer, lalu meregangkan jemari dan mulai memainkan piano. Nada-nada ceria yang mengalun membuai Javier menuju dunia pribadinya. Dunia yang hanya berisi harap.

Javier menekan nada terakhir dengan sentuhan seringan bulu. Meresapi kepuasan mendalam karena telah melakukan hal yang disukainya. Begitu ia mendongakkan wajah, tepuk tangan juga pekikan ceria menyambut, membuat Javier kembali tersenyum.

Gadis kecil berkucir kuda menghampiri Javier, lalu menunjuk piano dan menunjuk dirinya. Javier mengerti isyarat itu. Ia menunjuk dirinya sendiri seraya menyebutkan namanya, kemudian menunjuk gadis kecil itu.

"Rara!" serunya seraya mengulurkan tangan.

Javier menyambut tangan mungil itu, lalu bergeser untuk memberi ruang bagi Rara di kursinya. Mereka mulai menyentuh tuts-tuts dan mengundang tawa dari anak-anak lain. Lalu Javier menekan nada-nada dasar, bersamaan dengan masuknya seorang gadis bergaun putih ke dalam ruangan.

Javier tersenyum tipis menyapa gadis itu, lalu memperhatikan anak-anak yang kini telah teralihkan perhatiannya. Mereka berlari menghampiri sang gadis, meluapkan celoteh bernada polos. Sementara gadis itu memberikan bingkisan yang dibawanya kepada anak-anak seraya mengatakan sesuatu yang tidak bisa Javier dengar apalagi mengerti, kemudian melambai dan pergi.

Javier mengamati sosok gadis itu hingga menghilang di balik pintu, memuji kecantikan bak bidadari yang dimilikinya. Dengan senyum sendu juga tatapan teguh, gadis itu bagaikan salju yang meretas bersama angin. Lembut sekaligus rapuh. Meski Javier hanya sempat melihatnya sekilas—hanya salah satu sisi wajahnya pula—Javier yakin gadis itu sungguh memesona. Untuk alasan yang tidak dimengerti, Javier ingin melihat gadis itu lagi.

Lamunan Javier disela dering ponselnya. Setelah menerima panggilan itu dan mendengarkan suara Hester yang bergetar hebat, binar ceria di wajah Javier menghilang tak bersisa.

***

Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)Where stories live. Discover now