Perjanjian Pertama

380 55 0
                                    

Jakarta, 2017

Sekali lagi, Javier menginjakkan kaki di negara beriklim tropis ini. Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, sehingga tidak heran jalan yang ia lalui mulai ramai. Javier meminta sang sopir untuk membawanya langsung ke kantor. Segalanya kini telah berubah dan Javier harus menyesuaikan diri secepatnya.

Seulas senyum miris menghiasi bibirnya kala teringat betapa cepat impian yang dibangunnya selama bertahun-tahun hancur. Hanya dengan beberapa panggilan telepon—untuk pembatalan kontrak serta persiapan konser yang disusul sejumlah denda ganti rugi—Javier resmi menyandang sebutan 'mantan pianis'. Selama melakukan pembatalan itu Javier merasa seperti memutilasi dirinya sendiri, membiarkan serpihan demi serpihan harapannya luruh menyentuh ruang putus asa yang ia pikir takkan pernah disentuhnya.

Namun, Javier akan bertahan. Ia sudah menetapkan pilihan. Ia harus segera memulai. Tidak ada lagi waktu untuk bersedih, apalagi menyesali keadaan.

Begitu Javier sampai di gedung megah yang akan menjadi kantor barunya, ia disambut oleh pegawai-pegawai berkedudukan penting di kantor itu. Mereka memperkenalkan diri, memperlakukan Javier dengan hormat selayaknya atasan yang mereka hormati, meski Javier tahu semua itu palsu. Mereka meragukan Javier, sang pewaris utama yang tidak memiliki pengalaman dalam bentuk apa pun di bidang bisnis, terlebih konstruksi.

Javier baru saja menghela napas ketika pintu ruang kerjanya diketuk. Butuh beberapa saat baginya untuk menyadari bahwa siapa pun yang mengetuk pintu tidak akan bisa masuk bila ia tidak memberi izin. Javier menekan tombol di sisi kanan meja kerja ayahnya—meja kerjanya, Javier mengingatkan dirinya sendiri—untuk membuka kunci, lalu mempersilakan masuk.

Seorang pria pribumi berusia awal lima puluh tahun melangkah masuk dengan membawa setumpuk proposal. Pria itu adalah sekretaris ayahnya. Javier segera bangkit berdiri untuk membantu, tetapi pria itu tersenyum mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja. Lalu dengan bahasa Inggris yang lancar, ia mulai menjelaskan kondisi perusahaan saat ini yang bisa dikatakan stabil.

"Apakah Anda benar-benar mengajukan surat pengunduran diri sebelum ayahku meninggal?" tanya Javier.

Pria itu tersenyum kecil. Tampaknya mengerti bahwa Javier ragu bisa melanjutkan pekerjaan sang ayah, tanpa bantuan sekretaris yang jelas lebih familier terhadap perusahaan tersebut dibanding Javier.

"Ya. Aku sudah mengabdikan separuh hidup di perusahaan ini dan setelah mendengar diagnosis untuk Mr. Keane tahun lalu, aku memutuskan untuk mengundurkan diri begitu pewaris perusahaan ini datang. Mr. Keane menyetujuinya. Penggantiku akan mulai bekerja besok dan ia adalah seorang gadis berpengalaman. Ia direkomendasikan oleh kantor cabang Singapura karena kerjanya yang rapi, juga cekatan. Anda tidak perlu khawatir," jawab pria itu.

Javier hanya mengangguk. Tahu bahwa keputusan setegas itu tak mungkin bisa ia goyahkan. Toh, bila informasi sekretaris ayahnya benar, sekretaris yang khusus dipilih untuk Javier akan benar-benar mempermudah pekerjaannya. Ia mulai membuka satu dari sekian banyak proposal di meja dan gerak tangannya terhenti demi sebuah nama familier.

Adrienne Callandrie.

Javier tahu nama itu. Nama yang menurut ayahnya, bisa ia percaya. Maka tanpa ragu Javier mengambil jasnya, lalu membawa proposal itu keluar dari ruang kerjanya.

***

Javier menatap gadis berpakaian resmi di hadapannya dengan tatapan yang ia harap tidak meresahkan. Sungguh, ia hanya merasa penasaran. Atau tertarik dan tidak bisa mengalihkan pandangan.

Wajah tanpa ekspresi gadis itu tersapu riasan tipis yang justru menonjolkan kecantikannya. Rambut hitamnya digelung rapi, semakin mengukuhkan auranya sebagai gadis yang tak mudah digoyahkan. Gadis itu teguh, tetapi Javier tetap dapat merasakan kerapuhannya.

Setelah proses memperkenalkan diri lima menit yang lalu, Javier belum mendengar ada suara apa pun di ruangan bercat kuning gading itu selain suara kertas-kertas yang dibalik. Pria itu memang tidak berpengalaman dalam dunia bisnis, tetapi Javier tahu dengan jelas Adrienne mengabaikannya. Gadis itu bahkan tidak bersedia menatap langsung ke matanya. Bahasa tubuh gadis itu begitu kaku, seakan Javier telah menyakitinya.

Javier berdeham. "Apa aku melakukan kesalahan, Miss Callandrie?" tanya Javier sopan.

Gadis itu meliriknya sesaat, lalu menggeleng.

"Lalu apa yang sudah kulakukan hingga membuatmu tidak nyaman?" kejar Javier. Ia dibesarkan dengan segala cinta dan keceriaan bersama adiknya. Berakting menjadi orang kaku sama sekali bukan keahliannya.

Ketika tak juga mendapat jawaban, Javier menegakkan tubuh dan menatap gadis itu lekat. Berusaha mencari matanya selagi Javier berusaha meyakinkannya.

"Aku tidak memiliki pengalaman dalam bisnis. Aku bahkan tidak kuliah di jurusan ini. Aku benar-benar buta terhadap seluruh permasalahan ini dan jika kau berencana menipuku sekalipun, aku yakin tidak akan menyadarinya. Namun, dalam surat wasiatnya, ayahku dengan jelas mengatakan bahwa dari seluruh koleganya, hanya Adrienne Callandrie yang bisa kupercaya. Karena itu aku memutuskan untuk menemuimu di hari pertama aku bekerja," ucap Javier sungguh-sungguh.

Ketika tidak mendapat respons, Javier melanjutkan, "Dan aku tidak mau mengawali perkenalan kita seperti ini. Aku menghargai keputusanmu, hanya saja segala hal yang terjadi hingga detik ini tidak kuharapkan."

"Lalu apa yang kau harapkan? Perlakuan spesial karena kau salah satu dari pewaris utama keluarga Keane?" balas Adrienne sarkastik.

Javier tersenyum, lalu menjawab tanpa ragu, "Aku berharap kau bersedia membantuku untuk mengenali seluruh situasi yang saat ini berlangsung dalam dunia bisnis. Sebagai gantinya, aku akan menyutujui proposal kerja sama yang kau ajukan. Bahkan bila perlu, aku akan menandatanganinya detik ini juga. Bagaimana menurutmu?"

Adrienne mengerjap. Selama sesaat ia merasa kehilangan pegangan. Pria di hadapannya baru saja mengatakan hal yang berada di luar perkiraannya. Hal yang sama sekali tidak pernah dipikirkannya akan keluar dari mulut seorang pria.

Parahnya lagi, Adrienne tahu pria itu benar-benar jujur menyuarakan isi pikirannya. Tidak ada maksud terselubungdan Adrienne dapat merasakan dengan jelas kejujurannya. Melihat tanpa ragu bahwa pria itu menghargainya.

Sejak detik pertama Javier Keane melangkah memasuki ruangannya, Adrienne tahu hidupnya akan menjadi semakin tak menentu. Ditambah dengan janji yang harus ditepatinya kepada mendiang Faxson Keane, tentu Adrienne tidak bisa menghindar. Cepat atau lambat, Adrienne harus melakukan satu hal yang diminta oleh Javier Keane. Apa pun itu.

Lagi pula, penawaran yang diajukan Javier Keane sangat menguntungkan bagi Adrienne. Perusahaannya benar-benar membutuhkan kerja sama ini. Maka Adrienne meneguhkan hati.

"Baiklah. Aku bisa membantumu untuk belajar segala hal tentang dunia bisnis dalam waktu satu bulan. Namun,seperti penawaranmu, kau harus menandatangani kerja sama itu hari ini," balas Adrienne datar.

Javier tersenyum, menyengat jiwa Adrienne jauh di dalam sana. Mengoyak hatinya demi satu duka panjang yang sama sekali belum usai.

"Terima kasih, Adrienne," sahutnya tanpa menghilangkan senyum itu. "Karena kita akan sering berjumpa, akan lebih baik jika kita tidak menggunakan nama belakang untuk menyebut satu sama lain, bukan?"

Tanpa menjawab, Adrienne mengalihkan pandangan. Ia tidak peduli pada persoalan nama. Ia sibuk meyakinkan diri sendiri bahwa ia mampu melakukannya. Adrienne akan bertahan selama satu bulan. Adrienne tidak akan membiarkan segala hal yang sudah dibangunnya kandas karena satu hal kecil yang mengingatkannya akan masa lalu.

Adrienne tidak merasakan apa pun terhadap Javier Keane, karena pria itu sama seperti pria lainnya. Dengan segala hal yang dimilikinya, Javier adalah cerminan sempurna untuk seluruh bagian rumit yang Adrienne hindari dalam hidup.

Dan, Adrienne membenci bagian itu lebih dari apa pun.

***

Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)Where stories live. Discover now