Janji

362 45 0
                                    

Adrienne terbangun dengan aroma kopi memenuhi indra penciumannya. Kelopak matanya terbuka perlahan, menemukan Javier menyapanya dengan seulas senyum.

Kenangan akan malam sebelumnya terputar ulang dalam benak Adrienne. Sangat jelas. Setelah memberikan dua orgasme terhebat dalam hidup Adrienne, Javier membawa Adrienne ke tempat tidur. Javier bahkan membantu Adrienne berganti pakaian, lalu tidur dengan tubuh saling berpelukan. Hanya itu. Lalu, mengapa Adrienne merasa begitu bahagia?

"Kau akan pergi?" tanya Adrienne dengan kening berkerut. Pasalnya, Javier telah berganti pakaian—entah di mana pria itu mendapatkannya di jam sepagi ini—dan tampak sangat rapi.

"Ya. Denganmu," jawab Javier. "Aku percaya aku berutang satu lagu padamu dan karena kau tidak memiliki piano di sini, maka kita harus ke rumahku."

"Apa ini kencan?" tanya Adrienne lagi. Matanya membulat ceria.

Javier tertawa, kemudian menundukkan kepalanya untuk mengecup bibir Adrienne.

"Hanya itu?" protes Adrienne begitu Javier menegakkan tubuhnya.

Adrienne bangkit untuk duduk dan merangkulkan kedua lengannya ke bahu Javier. Bibirnya memagut bibir Javier, lalu membawa tubuh Javier untuk menindihnya di atas tempat tidur. Lidah mungil Adrienne menyusuri bibir bawah Javier, menimbulkan geraman di dalam dada bidang Javier. Sambil terkikik pelan, Adrienne melepaskan Javier.

"Kau mencoba membunuhku, Adrienne," ucap Javier serak. "Jadilah gadis yang baik. Minum kopimu, mandi, lalu kita akan pergi."

Javier bangkit berdiri. Pria itu melangkah menuju pintu kamar mandi Adrienne.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Adrienne bingung.

"Berkencan kembali dengan shower-mu," jawab Javier.

Adrienne tertawa.

***

Adrienne merasa tidak akan pernah bosan memandangi Javier yang bermain piano. Pria itu tampak memesona, tenggelam dengan nada-nadanya yang sempurna. Adrienne tidak tahu mengapa jantungnya berdebar keras, tetapi perasaan itu membuatnya bahagia. Membuatnya merasa hidup.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Javier.

Adrienne menggeleng. Sudah hampir satu jam sejak mereka datang ke rumah Javier dan Adrienne tidak lelah mendengarkan alunan indah dari jemari kokoh itu. Meski Adrienne tahu keahlian lain yang bisa dilakukan jemari itu, Adrienne berusaha tetap menjaga pikirannya untuk tidak kembali memutar ulang kenangan semalam.

Namun, usahanya sia-sia. Adrienne tetap memikirkannya. Parahnya lagi, pipinya menunjukkan bukti dari isi pikirannya: memerah dengan menggemaskan. Dan, Javier mengetahuinya.

Ketika menyadari tatapan intens Javier, Adrienne mengalihkan pandangan.

"Aku akan mengambil air," gumam Adrienne gugup.

Javier mengulum senyumnya seraya menahan tangan Adrienne yang hampir melangkah. Javier menutup tuts piano dengan pelindungnya, lalu menarik Adrienne hingga terduduk di atasnya. Gadis itu membelalakkan mata, sementara Javier mengambil alih bibirnya.

Javier mengigit lembut bibir bawah Adrienne sebelum berkata, "Aku tahu apa yang kau pikirkan. Tidakkah kau ingin membaginya denganku?"

Adrienne terengah. Jantungnya yang semakin berdebar resah memperburuk proses berpikirnya. Adrienne hanya tahu bahwa ia ingin memiliki Javier. Seutuhnya.

Adrienne mengulurkan tangannya, menarik Javier untuk kembali menciumnya. Berusaha memberitahu Javier keinginannya, tetapi tak disangka Javier justru menarik diri kembali. Adrienne membalas tatapan Javier. Mencoba memahami pikiran pria itu.

"Bukankah kau ingin aku membaginya denganmu?" tanya Adrienne pelan.

Javier mengecup ujung hidungnya.

"Aku bertanya apa kau ingin membaginya denganku? Aku bertanya tentang dirimu, Adrienne," jawab Javier.

Adrienne menatap Javier lekat-lekat. Napasnya tersekat. Javier menunggu persetujuan Adrienne. Javier menanyakan kesanggupannya. Seumur hidupnya, Adrienne belum pernah merasa begitu dihargai sekaligus dilindungi sebesar ini.

Tidak. Adrienne pernah merasakannya, sebelum tragedi itu datang.

Adrienne memejamkan mata, menolak mengingat hal itu. Javier berbeda. Javier tidak akan pernah menyakitinya. Dan, Adrienne percaya itu.

"Ya. Aku ingin membaginya denganmu, Javier," ucap Adrienne lembut.

"Kalau begitu kita harus mencari sesuatu yang lebih luas," sahut Javier.

Adrienne tertawa. Ia membiarkan Javier menggenggam tangannya dan membawanya ke kamar di lantai dua. Kamar milik Javier. Adrienne langsung merasa bahwa kamar itu pencerminan sempurna dari Javier: maskulin, seksi, sekaligus rapi. Anehnya, Adrienne menyadari bahwa kamar itu tidak memiliki foto atau lukisan di dalamnya. Dindingnya bersih tanpa hiasan apa pun selain cat berwarna putih.

"Kau tidak suka menggantung sesuatu di dindingmu?" tanya Adrienne. Kakinya melangkah menuju pintu kaca yang menghubungkan kamar dengan balkon, terpesona oleh beberapa pot tanaman yang menghuni balkonnya.

Javier memeluk Adrienne dari belakang.

"Tidak, tetapi mungkin aku akan mempertimbangkannya jika kau yang meminta," jawabnya lugas.

Tersenyum, Adrienne menyandarkan kepalanya di bahu tegap Javier. Membiarkan bibir seksi pria itu menjelajahi lehernya.

"Apa yang harus kulakukan agar kau bersedia menggantung sesuatu di dinding kamarmu yang tak bercela ini?" tanya Adrienne lagi.

"Mmm ... biar kupikirkan. Bagaimana dengan hak untuk memilikimu selama satu hari penuh? Kau akan melakukan apa pun yang kuinginkan, tanpa protes," balas Javier ringan.

"Dan, tepatnya apa yang kau inginkan? Mengikatku di tempat tidur?"

"Tidak. Aku ingin penyerahan total. Seluruhnya. Tanpa perlu kuikat atau semacamnya."

Tubuh Adrienne meremang. Gambaran menyerahkan seluruh kendali dirinya kepada Javier terasa menakutkan, sekaligus mendebarkan.

Javier menarik dirinya, lalu memutar tubuh Adrienne hingga gadis itu menatapnya. Javier harus menegaskan satu hal pada Adrienne.

"Adrienne," bisik Javier. "Berjanjilah kau tidak akan pergi dariku." Kedua mata hijaunya menyiratkan kesungguhan.

Adrienne terdiam. Berusaha mencerna permintaan Javier. Tangannya yang membelai bahu Javier mengepal. Adrienne mengerti maksud Javier. Janji itu bukan sekadar janji untuk mendapatkan kepuasannya, tetapi janji itu mengikatnya untuk tetap bersama Javier. Dan Adrienne telah memutuskan.

"Ya, Javier. Aku berjanji...."

***

Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)Where stories live. Discover now