Ciuman Pertama

384 49 0
                                    

Javier berjalan cepat menyusul Adrienne. Namun, belum sempat kakinya melewati pintu, sepasang tangan menahannya.

"Javier, ia bukan gadis baik," tutur Hester. "Ia menghancurkan hubunganku bersama Max dengan mengumpankan tubuhnya! Astaga, apa yang kau lihat darinya? Kau bisa mendapatkan ribuan gadis yang jauh lebih baik dan tentunya, lebih terhormat daripada gadis jalang itu."

"Hester, berhenti memanggilnya seperti itu," sahut Javier. "Adrienne adalah gadis pilihanku. Aku tidak tahu alasannya melakukan semua yang kau katakan ia lakukan, tetapi ia pasti memiliki alasan."

Ekspresi tidak percaya mewarnai wajah Hester.

Javier menyentuh bahu adiknya, memberikan senyum menenangkan. Berharap hal sederhana itu cukup untuk mengobati kekecewaan adiknya. Javier tetap teguh pada pendapatnya, bahwa Adrienne memiliki alasan di balik tindakan tersebut. Dan, Javier yakin hanya waktu yang mereka butuhkan untuk membuat Hester menerima Adrienne.

"Kembali pada pestamu. Ini hari spesialmu. Jangan biarkan aku mengacaukannya. Lagi pula teman-temanmu sudah datang dari seluruh penjuru dunia untuk merayakannya denganmu di sini. Kau tahu, patah hati hanya akan tersembuhkan dengan mencari pengganti. Siapa tahu akhirnya kau akan menemukan seorang pria yang pantas untuk kau perjuangkan?" lanjut Javier lembut.

"Kau akan menyusulnya, bukan? Kau akan meninggalkanku. Kau lebih memilih dirinya dibanding diriku," balas Hester terluka.

Javier menggeleng. "Kau tahu aku menyayangimu lebih dari apa pun, Hester. Aku akan menemuimu besok. Mengerti?"

Hester mulai menangis, tetapi kepalanya mengangguk. Ia tahu bahwa kakaknya yang tampan itu sangat menyayanginya. Hester sudah mendapat pembuktiannya seumur hidup. Tak ada alasan untuk meragukan Javier, karena Javier bahkan rela mengorbankan segalanya demi Hester.

Maka Hester hanya membiarkan tangannya melepaskan tangan Javier.

***

Adrienne menghapus air matanya ketika mendengar bel berbunyi. Tanpa prasangka, Adrienne membuka pintunya. Dan,betapa terkejut Adrienne ketika menemukan Javier yang berdiri di balik pintunya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Adrienne kaku.

Javier mengulurkan kotak tisu, menjawab pertanyaan Adrienne dengan seulas senyum.

Air mata Adrienne kembali mengalir. Ketulusan yang terpancar dari senyum Javier lebih dari yang mampu ditanggungnya. Rasa bersalah menggerogoti setiap sisi hatinya, membuat Adrienne menyadari bahwa sejak awal, batasnya sungguh tidak berlaku bagi Javier.

"Tidak apa-apa, Adrienne," ucap Javier seraya membawa Adrienne ke sofa. "Aku tidak datang untuk memarahimu. Mengapa kau kembali menangis?"

Adrienne mengambil tisu dari tangan Javier, menghapus air mata juga membersit hidungnya dengan cara yang jauh dari kata anggun. Ketika akhirnya Adrienne berhenti menangis, Javier mencubit pipi gadis itu lembut. Mengembalikan warna pada wajahnya yang pucat.

"Tidakkah kau marah? Aku telah menghancurkan hubungan adikmu. Dan semua yang kau dengar dari adikmu itu benar. Aku murahan," bisik Adrienne dengan kepala menunduk.

Javier menyentuh dagu Adrienne, membawa gadis itu untuk menatapnya.

"Jangan pernah mengatakan itu lagi," tegas Javier tak terbantahkan.

Adrienne terdiam.

"Aku berterima kasih kepadamu. Karena berkat kau, Hester akhirnya sadar bahwa pria itu berengsek. Aku tidak pernah menyukai pria itu. Kau tahu, perbedaan umur mereka lebih dari sepuluh tahun. Pria itu gila kontrol. Ia menjadikan Hester seperti yang ia inginkan. Ia bahkan mengikuti ke mana pun Hester pergi. Namun, melihat Hester begitu bahagia, aku tidak tahu bagaimana caranya mengatakan kepada Hester bahwa kekasihnya itu tidak baik," ujar Javier.

Setelah menarik napas, pria itu melanjutkan, "Dan aku meminta maaf atas segala hal yang diucapkan adikku. Tidak seharusnya ia memperlakukanmu seperti itu. Aku yakin suatu hari nanti, saat ia menyadari bahwa kau telah menyelamatkannya dari pria berengsek itu, ia akan meminta maaf sekaligus berterima kasih padamu. Untuk saat ini, biar aku yang melakukannya. Maukah kau memaafkannya?"

Adrienne menarik napas demi menelan tangisnya, lalu mengangguk. Kedua tangannya terulur memeluk Javier dan Javier membalasnya dengan pelukan hangat. Segalanya terasa benar.

Harum yang menguar dari tubuh Javier terasa menghanyutkan bagi Adrienne, hingga tanpa pikir panjang, Adrienne menanamkan kecupan manis di lekuk rahang kokoh itu.

Javier membeku, ia mengurai pelukannya dan menatap Adrienne. Mata cokelat terang yang balas menatapnya tak lagi diselimuti kesedihan, murni dipenuhi keinginan. Javier membelai pipi Adrienne, lalu menunduk.

Bibir mereka bersentuhan dengan ringan. Tanpa tekanan. Namun, sengatan yang dihasilkan sentuhan itu membakar mereka. Javier menangkup bibir bawah Adrienne yang terasa lembut, menyesapnya. Mengapresiasi desahan yang diberikan Adrienne dengan memperdalam ciumannya.

Adrienne membiarkan Javier mengambil alih. Bibir pria itu amat memabukkan. Setiap kecupan hanya membawa mereka lebih dekat. Memagut penuh hasrat. Adrienne melarikan tangannya untuk menyusuri rambut Javier, kembali mendesah merasakan teksturnya yang pas di antara jemarinya.

Javier melepas bibir Adrienne sesaat. Melarikan bibirnya pada leher manis gadis itu. Menghirup aromanya dalam-dalam seraya membelai punggungnya. Javier merasakan pergerakan Adrienne yang naik ke pangkuannya, tetapi suara robekan yang panjang menyentak perhatian mereka.

Adrienne yang pertama tertawa, diikuti oleh Javier. Gaun hitam Adrienne yang mengetat di bagian atas lutut tentu saja tidak mengakomodasi pergerakan kakinya. Gaun yang baru satu kali dipakainya itu kini terkoyak hingga lekuk paha, memperlihatkan kemulusan kaki Adrienne yang sempurna.

Tangan kokoh Javier menyentuhnya pelan, lalu mengubah posisi mereka hingga lebih dekat, meski tetap tidak cukup dekat.

"Aku rasa sofa ini tidak mendukung kita," bisik Adrienne seraya membuka lehernya, memberi Javier akses yang lebih baik.

"Apa yang kau sarankan?" balas Javier.

Mata Adrienne perlahan tertutup saat bibir Javier mengisap kulitnya, lalu dengan suara bergetar ia menyahut, "Sesuatu yang lebih luas?"

Javier tertawa pelan seraya menurunkan tali gaun Adrienne. Bibirnya tetap tak beranjak sedikit pun. Seolah menyentuh Adrienne ada kebutuhan dasarnya, lebih daripada udara.

"Untuk saat ini sofa sudah cukup bagus," ucap Javier memutuskan.

Dan, ciuman itu terus berlangsung hingga Adrienne terlepas di tangan Javier.

***

Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)Onde histórias criam vida. Descubra agora