Sakit

445 49 3
                                    

Adrienne menutup laptopnya dengan helaan napas berat. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi ia masih tidak ingin pulang. Tiba-tiba saja kepalanya terasa pusing. Ia pasti kelelahan. Sudah hampir dua minggu Adrienne menghabiskan seluruh waktunya dengan bekerja terus-menerus di kantor. Tepatnya sejak kejadian di lokasi proyek itu.

Adrienne merasa harus mengeluarkan Javier dari seluruh sistem tubuhnya, terutama otaknya. Ia tidak boleh tertarik pada Javier. Perasaan itu terlarang untuknya, karena Adrienne tidak seharusnya merasakan kebahagiaan dalam bentuk apa pun.

Maka dari itu, kini Adrienne mengerahkan segenap tenaganya untuk menghindari Javier. Dengan seribu satu alasan, Adrienne berhasil meminimalisir jumlah pertemuannya dengan Javier. Kini mereka hanya berhubungan melalui telepon atau surel.

Ponsel Adrienne bergetar dengan nama Tasha tercantum di layar. Sahabatnya itu mengajukan cuti selama satu minggu untuk pulang ke New York, karena seperti biasa adik laki-lakinya yang masih berada di sekolah menengah atas membuat keributan dan Tasha bertugas sebagai penenang di keluarganya. Sekaligus membereskan kekacauan apa pun yang ditimbulkan adiknya.

"Hai, Tasha. Bagaimana keluargamu?" sapa Adrienne seraya menyandarkan tubuhnya ke kursi. Sebelah tangannya memijat pelipis perlahan.

"Penuh drama. Kau tahu seperti apa adikku dan bagaimana reaksi ibuku. Mereka berdua adalah perpaduan mematikan. Ayahku bahkan sudah menyerah sejak aku masih transit di Singapura. Jadi, kau bisa membayangkan keadaan seperti apa yang menyambutku ketika aku sampai di rumah," balas Tasha.

Kedua sudut bibir Adrienne terangkat naik. Keluarga Tasha memang tidak pernah sepi. "Aku tahu. Aku harap kau segera kembali."

"Apa kau baik-baik saja, Adrienne? Suaramu terdengar sedikit aneh."

Adrienne berdeham, berusaha mengabaikan rasa sakit di tenggorokannya, lalu menjawab, "Aku hanya kelelahan. Setelah ini aku akan pulang. Tenang saja, Tasha."

"Apa kau merasa pusing?" tanya Tasha cemas.

"Ya, sedikit. Aku akan minum obat sebelum tidur nanti," jawab Adrienne.

"Oh, tidak," gumam Tasha panik. "Adrienne, kau dalam masalah. Berapa jam kau tidur kemarin? Kau harus segera memanggil doktermu atau kau tahu apa yang akan terjadi."

Adrienne menelan ludah ketika mengerti maksud Tasha. Hal ini pernah terjadi sebelumnya. Setiap kali Adrienne kelelahan dan diikuti sederet gejala yang kini dirasakannya, Adrienne akan jatuh sakit. Bukan sakitnya yang Adrienne takutkan, melainkan mimpi buruk yang menyertainya. Adrienne selalu terperangkap dalam mimpi-mimpi buruk yang sebenarnya kenyataan itu. Membangkitkan kembali setiap jeritan memilukan yang pernah didengarnya. Menyayatkan kembali luka yang menghancurkannya.

"Aku akan pulang sekarang, Tasha. Tidak perlu khawatir. Aku akan mengatasinya," ucap Adrienne sungguh-sungguh.

Setelah mendengarkan beberapa nasihat Tasha yang masih saja terdengar khawatir, akhirnya telepon ditutup.

Adrienne keluar dari kantornya dan menelepon taksi. Ia harus meninggalkan mobilnya. Rasa pusing yang dirasakannya semakin menjadi. Adrienne bahkan harus berusaha keras untuk mengucapkan alamat apartemennya kepada sopir taksi. Ketika akhirnya sampai di apartemen, ia segera mencari obat pereda sakit kepala dan mengganti pakaiannya. Adrienne baru saja berencana untuk naik ke tempat tidur ketika belnya berbunyi.

Adrienne mengeluh kesal, lalu melangkah menuju pintu. Langkahnya semakin tak terarah dan pandangannya sulit untuk terfokus. Adrienne bahkan melihat kenop pintunya ada tiga. Ketika akhirnya berhasil membuka pintu, Adrienne mendengar sebuah suara yang dikenalnya. Itulah hal yang diingat Adrienne sebelum akhirnya ia jatuh ke dalam pelukan kegelapan.

Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)Where stories live. Discover now