Terjadi kebisuan dalam lima belas detik terakhir. Keduanya terlihat canggung, bingung untuk memulai konversasi dari mana sebelum akhirnya Yeon Ah mengambil suara, "Aku ingin meminta maaf mengenai pertemuan terakhir kita. Aku sudah bersikap terlalu berlebihan."

"Ya, memang berat untukku untuk melihat Seokjin menaruh perhatiannya pada wanita lain, tapi aku tidak menyalahkanmu. Aku tahu ini berat untukmu juga, harusnya aku sudah terbiasa dengan hal tersebut. Bagaimanapun kau adalah istrinya."

"Tidak, Jiyeon. Aku tidak pantas untuk semua itu, aku yang sudah lancang. Maafkan aku."

"Lupakan saja, lagi pula semua sudah terjadi. Jangan membebani dirimu."

"Kami baru saja menyelesaikan sidang mediasi pertama kami," ucap Yeon Ah masih degan perasaan bersalah, "Tunggulah sebentar saja, aku akan mengembalikan apa yang seharusnya menjadi milikmu."

"Yeon Ah, aku merasa sangat berterima kasih atas semua kebaikan serta perhatianmu, tapi bagaimana dengan dirimu? Apakah kau bahagia dengan keputusan ini?"

"Dari awal aku menikah dengan Seokjin, yang terlintas di kepalaku hanyalah perceraian yang menunggu di akhir cerita kami. Kau boleh menyebutku egois, karena dari awal aku menginginkan perceraian ini walaupun harus mengorbankan banyak hal."

"Kalau dipikir aku ini wanita yang jahat Yeon, karena sudah merebut kebahagian Yoosun."

"Aku juga wanita jahat Ji, karena sudah mengorbankan putraku demi keegoisanku untuk menghapuskan dosa padamu." Tersenyum getir Yeon Ah melanjutkan, "Lagi pula kami tidak bisa terus seperti ini. Kami perlu mengakhiri semuanya. Memang berat untuk Yoosun tapi akan lebih baik daripada ia mengetahui masalah ini sendirinya. Aku tidak ingin ia menyadari bahwa ia hanyalah sebuah kesalahan."

Hening kembali menjadai latar, Jiyeon tidak bisa menanggapi pernyataan Yeon Ah. Sejujurnya ia juga merasa bersalah, ia juga merasa bimbang, namun Jiyeon juga ingin egois. Ia menginginkan kebahagian, dan kebahagiannya adalah Kim Seokjin.

Menunduk dalam Jiyeon pun mencicit, "Maaf jika aku lancang, tapi bolehkah aku tahu bagaimana perasaanmu pada Seokjin?"

"Dari awal hingga sekarang aku tidak pernah lancang untuk menaruh hatiku padanya," jawab Yeon Ah mantab.

Menaruh atensi penuh pada lawan bicaranya, Jiyeon meraih tangan Yeon Ah. Tatapan penuh kesakitan terbias di kirana indahnya menyiratkan betapa sakit hatinya, "Berjanjilah padaku. Berjanjilah untuk tetap seperti ini, berjanjilah untuk tidak pernah mencintai Seokjin."

"Ya, aku berjanji."

Jawaban cepat Yeon Ah tadi justru menggiring air mata yang sedari tadi ditahan Jiyeon untuk turun. Tidak berani menatap wanita di depan, ia sedikit terisak sebelum berucap, "Maafkan aku, tapi aku tidak bisa kehilangan Seokjin. Ia satu-satunya yang ku miliki dan aku sangat mencintainya."

-***-

"Aku hanya memastikan bahwa Yeon Ah-ku adalah wanita yang pernah aku kenal dulu." Seketika Yeon Ah tertawa mendengar ucapan pria di depan. Pria tersebut masih tersenyum dengan sedikit rona merah di wajah. Merasa sedikit malu karena penuturannya, ia hanya bisa menggaruk pelipis dengan satu jari telunjuknya.

"Omong-omong terima kasih atas kejutannya." Mengangkat sedikit tinggi buket bunga yang masih dipondongnya, Yeon Ah masih tidak menyangka jika pria tersebut akan sudi menyempatkan waktu padatnya demi hal kecil seperti ini.

Bukan sosok Kim Seokjin selaku sang suami, melainkan Kim Taehyung yang tiba-tiba menelponnya ketika Yeon Ah baru saja usai melakukan janji temu dengan Sandeul. Menyangsikan ucapan si sahabat pada awalnya, namun ia segera menarik prasangkanya ketika melihat Taehyung yang melambai dengan buket bunga dan cokelat yang tersemat di sana. Tepat di depan gedung dan senyum kotak yang khas, membuat Yeon Ah yang baru saja keluar seketika ikut menarik sudut bibirnya menyaksikan kelakuan pria satu ini.

IN A BINDWhere stories live. Discover now