3

166 6 0
                                    



T I G A



KEESOKAN harinya sebelum mendatangi salon langganan untuk bersiap-siap menghadiri acara premier Ekuator, Juna menyempatkan diri untuk mampir ke rumah orang tuanya. Mario berbaik hati menjadwalkan ulang pertemuan yang sebenarnya dijadwalkan pagi tadi menjadi besok. Di balik tanggapan dinginnya atas keluhan Juna kemarin, Mario masih merasa sedikit iba. Setidaknya ia bisa mengusahakan waktu keluarga bagi Juna dan orang tuanya. Tidak lupa Mario sudah menyiapkan buket bunga lily kesukaan Amarita Harsa serta sekotak multivitamin herbal yang biasa Juna belikan untuk Handoko Harsa.

"Akhirnya Juna bisa makan masakan mama," ujar pria itu senang sembari melahap dengan nikmat makan siang yang ibunya suguhkan hari itu.

Ada nasi yang masih hangat, sayur bening bayam lengkap dengan gambas dan jagung, sambal tempe penyet, serta ayam goreng yang tersaji di meja makan. Seperti kebanyakan keluarga Indonesia pada umumnya, setoples kerupuk putih tidak lupa tersedia tersedia untuk melengkapi menu makan siang.

Handoko membaca koran sambil menemani putra semata wayangnya makan siang, sementara Amarita masih bersikukuh untuk mengajak Mario makan meskipun sang manajer sudah berulang-kali menolak. Juna memberi sinyal kepada Mario supaya mengikuti saja apa mau ibunya sehingga mau tidak mau Mario menyusul duduk di samping Juna untuk menyantap masakan Amarita.

"Makan yang banyak ya, Yo. Masakan tante dijamin enak," Amarita berpesan sambil mengambilkan porsi sayur dan lauk pauk untuk Mario. Beliau melanjutkan, "Kamu sudah kami tunggu-tungu, 'nak. Mama dan papa sudah sangat rindu tapi kenapa kamu baru datang sekarang?"

"Maaf, ma. Juna sibuk syuting film baru. Tetapi masa produksi sudah selesai sehingga tinggal tersisa promosi film saja," terangnya sembari meraih tangan Amarita. "Setelah Juna dan Mario selesai makan kami harus segera bersiap-siap untuk datang ke acara premier. Juna benar-benar minta maaf, ma."

Amarita hanya bisa mendesah mendengar penjelasan putranya.

"Yang penting kamu jangan sampai sakit, Jun," ujar Handoko. "Akhir pekan kami akan sempatkan untuk pergi nonton film baru kamu. Papa harap film kamu kali ini bagus. Papa tidak suka film kamu yang sebelumnya."

"Itu karena kamunya sendiri yang memang tidak suka film horor," bela Amarita. "Jangan dengarkan papa kamu, 'nak. Film yang kamu mainkan selalu excellent menurut mama."

"Kalau memang film yang Juna mainkan jelek lebih baik mama jujur saja. Juna nggak akan marah, kok."

"Mama yakin film-film kamu adalah yang terbaik. Yang penting mama tidak menonton kamu main adegan dewasa saja," ujar Amarita yang disambut gelak tawa ketiga pria yang lain. Meski diselingi dengan obrolan dan canda tawa, Juna dan Mario tidak butuh waktu lama untuk menandaskan piring mereka. Keduanya lalu beranjak ke wastafel untuk mencuci tangan sembari berdiskusi masalah pekerjaan. Sesudahnya mereka bersiap-siap dan hendak pamit tetapi entah mengapa orang tua Juna meminta pria itu untuk memberi mereka sedikit waktu karena ada hal penting yang ingin mereka bicarakan. Mario pamit terlebih dahulu menuju mobil dan tak lupa memberi kode kepada sang aktor agar sebisa mungkin meninggalkan tempat itu.

"Ada apa?" tanya Juna dengan nada khawatir.

Dari nada bicara keduanya, Juna merasa apapun itu yang ingin dibicarakan adalah hal yang cukup serius.

Handoko menyuruh anaknya untuk duduk sementara Amarita membuka percakapan.

"Masih ingat dengan putri Om Amir dan Tante Natasha?"

"Tentu saja. Bagaimana mungkin Juna tidak ingat?"

Amir dan Natasha adalah sahabat karib mama dan papa yang sudah meninggal dunia. Amir adalah yang pertama kali berpulang akibat menjadi korban tabrak lari sementara Natasha istrinya menyusul tujuh tahun kemudian karena kanker darah.

"Mama dan papa mau supaya cah ayu tinggal sama kamu."

"Maksudnya?"

"Ya maksudnya tinggal satu rumah dengan kamu. Di rumahmu. Kamu ada kamar kosong, 'kan?"

Juna yang masih berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya hanya menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi bingung dan terkejut bercampur menjadi satu.

"Kami juga ada kamar kosong tapi rasanya kurang cocok untuk ditempati cah ayu. Lagipula rumah kamu lebih dekat dengan kantor cah ayu dibanding rumah mama-papa. Kasihan kalau dia harus buang-buang waktu terlalu lama di jalan."

"Kamu juga terlalu sibuk kerja, Jun. Paling tidak kamu ada teman di rumah," timpal Handoko.

Setelah terdiam cukup lama, Juna akhirnya bersuara.

"Mama dan papa yakin tidak masalah?" tanyanya ragu-ragu.

"Masalah apa? Kamu sudah punya pacar? Kamu sering bawa pacar kamu ke rumah?" tuduh Handoko yang terang saja langsung dibantah Juna. Mana mungkin pria itu punya waktu untuk pacaran jika hari-harinya terlalu disibukkan dengan pekerjaan.

"Kamu sama cah ayu nggak ada masalah, 'kan? Bukannya setiap cah ayu datang ke Jakarta juga biasanya kamu yang menemani?" Amarita mencoba memastikan. "Kalau tidak ada masalah tolong kamu siapkan kamar untuk cah ayu. Hari Sabtu nanti cah ayu akan datang ke Jakarta. Mama dan papa yang akan jemput di stasiun, kamu beres-beres rumah saja."

Selebihnya dialog orang tuanya terdengar seperti musik latar yang perlahan-lahan terdengar melemah.

Tepat di hadapan Juna, ia membayangkan gadis itu seolah-olah berdiri menatapnya dan tersenyum.

"Juna..."

Sosok yang dibayangkannya itu memanggil.

Pada saat itu juga Juna tersadar bahwa sudah kesekian kalinya gadis itu membuatnya merutuki diri sendiri. Gadis itu membuatnya merasa perlahan-lahan gila. Juna tidak tahu apakah tinggal bersama merupakan kabar baik atau kabar buruk baginya.

Yang Juna ketahui dengan pasti hanya satu. Sosok gadis itu, Calynn Kalyamita Darmaatmadja, akan semakin sering hinggap menganggu alam bawah sadarnya.

---tbc---

Across The TableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang