Menahan napas sejenak Kim Taehyung melanjutkan, "Aku menahan diriku untuk tidak mencacimu karena Yeon Ah sedang terelap di sampingku."

"Kau ada di mana? Apa yang kau lakukan dengan istriku?" Pertanyaan cepat Seokjin tadi langsung mendapat kekehan ringan dari lawan bicaranya. Sedikit terpancing Seokjin mengatupkan bibirnya rapat.

"Di mobilku, dalam perjalanan mengantarnya pulang. Lagipula kenapa kau peduli? Kau tidak pernah bercermin? Hidupmu saja hanya berkutit pada wanitamu." Ada jeda yang tercipta sebelum melanjutkan, "Kau hanya mengesampingkan istri dan anakmu. Bahkan kau tidak peduli Yoosun bersama siapa hari ini ketika kedua orang tuanya tidak ada."

Sial! Seokjin seketika memejamkan mata kesal mengetahui ketepatan ucapan seorang Kim Taehyung. Jam kerja Bibi Jo sudah selesai sejak sore tadi, bagaimana bisa ia melupakan hal penting seperti itu?! Sial! Kim Seokjin merutuki kelalaiannya.

"Tenang saja Tuan Kim, Hoseok Hyung sudah menjaga putramu beberapa jam sebelum jam kerja Bibi Jo usai."

"Aku akan segera pulang."

"Aku tidak peduli. Ada atau tidaknya kehadiranmu tidak berpengaruh apa-apa pada keluargamu." Kalimat terakhir Taehyung tadi menjadi penutup pembicaraan mereka berdua. Kim Taehyung menutup panggilan secara sepihak, agaknya ia sudah jengkel dengan segala hal yang berhubungan dengan Seokjin.

Menyadari panggilan yang terputus secara sepihak, tanpa pikir panjang pria itu bergegas melangkah pergi. Tidak mempedulikan tampilan yang hanya mengenakan long sleeve shirt dan sweet pants meski cuaca tengah dingin, Seokjin hanya ingin segera pulang.

"Seokjin," panggilan yang sanggup menghentikan langkah pria tadi. Menoleh, Jung Jiyeon sudah berdiri tak jauh dari presensinya. "Kau sudah mau pulang ya?"

Tersenyum sedikit kaku, pria itu lantas menjawab, "Ya, Taehyung mengabariku jika Yeon Ah tidak dalam kondisi baik jadi tidak bisa menjaga Yoosun."

"Oh ... ya, hati-hati."

Menyadari senyum samar yang terukir di bilah bibir kekasihnya, Seokjin mengurungkan niatnya untuk melangkah pergi. Memilih untuk menghampiri Jiyeon yang masih berdiri sejauh tiga meter dari tempatnya. Menyibakan surai yang sedikit menutupi paras rupawan wanitanya, "Maaf, aku membangunkanmu ya?" tanya pria ini dengan mengulaskan senyum terbaiknya, namun hanya gelengan dengan senyum yang masih samar di dapat sebagai jawaban. "Bagaiman perasaanmu? Kau baik-baik saja kan?"

"Sejujurnya ... aku merasa takut."

"Takut? Tenanglah Ji, tidak ada apa-apa di rumah ini."

"Aku takut pada perasaanmu."

"Ya?"

Sedikit ragu Jiyeon berucap, "Aku takut jika perasaanmu berubah ... aku takut jika bukan aku lagi yang ada di hatimu. Aku takut ...."

"Astaga Ji, tidak. Masih kau, dan selamanya hanya akan ada dirimu. Aku sudah menganggap Yeon Ah seperti adik dan sahabatku sendiri."

Menggeleng pasti Jiyeon menjawab tanpa berani menatap iris kelam sang lawan bicara, "Kau tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan Seokjin. Kalian sudah menghabiskan waktu empat tahun bersama dalam satu atap, tidak ada seorang pun yang bisa mengetahu hati masing-masing. Bahkan diri kita sendiri."

"Ji_"

"Hati dan perasaan seseorang itu sangat aneh. Mereka dapat berubah dalam hitungan detik tanpa kita sendiri ketahui," potong Jiyeon kini dengan satu air mata yang kembali jatuh. Tubuhnya gemetar bersamaan dengan tangis yang kian pecah tanpa sanggup ia kontrol.

Melihat pemandangan tersebut tentu teramat menyakitkan bagi Seokjin. Kembali merutuki diri sendiri ketika mengingat keraguan hati yang sempat membuatnya buntu. Bagaimana bisa ia meninggalkan wanita yang jelas-jelas sudah sabar menunggunya selama ini? Jelas-jelas Jiyeon sama menderitanya dengan ia dan Yeon Ah. Kerap kali mencoba menempatkan diri di posisi Jiyeon, dan Seokjin selalu merasa sakit sendiri.

IN A BINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang