47. Pergi dan Tak Kembali

16K 2.7K 8.6K
                                    

BAGIAN EMPAT PULUH TUJUH

Janji yang tidak bisa ditepati

Jadi seperti ini,
Dia berjanji bahwa dia akan selalalu tetap di sini.
"Kamu bisa melewatinya," kataku sebagai mantra menyemangatinya.
Esok paginya, aku terbangun
Tapi dia ... dia tidak menepati janji.
Bukan dia, tapi tubuhnya yang begitu lelah berjuang selama ini.
Dalam tidur yang tenang itu, dia pergi untuk selama-lamanya

Karena pada akhirnya, semakin banyak diusahakan, semakin banyak juga kehilangan-A

Aku tidak meninggalkanmu, aku hanya pergi lebih dahulu dan menunggumu di tempat pemberhentian. Menunggu sampai akhirnya kamu sampai di batas waktumu juga-B

-Senandi Rasa-

"Ger, jangan pergi."

Kalimat yang dikatakan Berlin tepat ketika mobil milik Gerhana berhenti di depan pagar rumahnya membuat Gerhana tidak tega, apalagi melihat Berlin yang begitu rapuh. Pada akhirnya, dia menemani Berlin malam ini.

Keduanya berada di ruang tengah, dengan lampu yang berpedar tak terlalu terang. Jarum pendek pada jam sudah menyentuh angka satu, mereka masih belum terpejam.

Gerhana hanya mengganti pakaian kemejanya sehabis magang dengan kaus oblong yang dia bawa di dalam mobil, sedangkan tadi Gerhana sempat menyuruh Berlin mandi dan mengganti pakaiannya dengan kaus beserta celana pendek. Keduanya masih sama-sama diam.

Kebisuan itu memeluk keduanya rapat-rapat. Keduanya berbaring di sofa yang berbeda, hanya meja kecil yang menjadi pembatas di antara mereka.

Dalam kebisuan itu, Gerhana melirik Berlin yang tidak berbicara setelah memintanya untuk tetap tinggal. Hingga pada akhirnya, Gerhana benar-benar mencondongkan tubuhnya menghadap perempuan tersebut.

"Berlin," panggilnya, nada suaranya dalam menandakan keseriusan.

Berlin melirik, dia tidak lagi menangis, tapi pandangan itu begitu kosong, mengisyaratkan kehampaan yang teramat dalam.

Tangan kiri Gerhana terulur ke arah meja, dia hanya memberikan sekilas tatapan pada tangannya sebagai tanda bahwa dia meminta tangan Berlin untuk ikut terulur.

Butuh satu menit menunggu, sampai Berlin menggerakkan tangannya untuk menyentuh tangan Gerhana. Gerhana menggengamnya dengan rapat, sempat dia tersenyum kecil melihat itu.

"Dulu pas gue masih kecil, kalau lagi mimpi buruk. Almarhum ibu selalu nenangin gue dengan cara genggam tangan gue kayak gini, ibu bilang terkadang kalau lagi sedih, kita juga perlu manusia lain untuk ada," ungkap Gerhana. Tubuhnya masih menghadap Berlin, tangannya yang tidak menggenggam tangan Berlin, ia jadikan penopang untuk kepalanya bersandar.

Gerhana menarik napas dalam-dalam. "Setelah ibu nggak ada, gue nggak punya siapa-siapa yang bisa gue jadiin tempat untuk cerita. Beberapa tahun, gue cuma memendam semuanya sendiri. Kalau sama orang lain pun, gue secukupnya aja."

Berlin hanya mendengarkan.

"Manusia hadir ke dunia selalu dengan cara yang sama, tapi tidak dengan perjalanan hidup ... setiap manusia punya jalan hidup yang berbeda," kata Gerhana lagi. "Kadang kalau kita lihat hidup orang kelihatan senang, belum tentu dia benar-benar senang, bisa jadi dia cuma nutupi kesedihan itu biar orang lain nggak kasihan sama dia."

Hening yang cukup panjang, ada helaan napas panjang yang keluar dari bibir Gerhana. Dia menggendurkan tangannya dari genggaman, menggantinya dengan usapan halus pada punggung tangan Berlin.

Senandi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang