Chapter 5

3.7K 209 1
                                    

Happy reading!!

****

It is good to have an end to journey toward; but it is the journey that matters, in the end
-Ernest Hamingway

ELLA
Aku tiba-tiba terbangun dari tidurku, ku lihat di sampingku tak ada Aland lagi. Kapan dia pergi?

Kulihat jam bekerku, ternyata masih jam 05.40.
Aku mengusap wajahku dan berusaha menetralkan nafasku. Ya, aku terbangun karena bermimpi lagi.

Aku menangis tersedu-sedu memeluk diriku sendiri. Ibuku meninggal, dia pergi meninggalkanku.

Apa yang harus kulakukan tanpa dia?
Bagaimana aku bisa hidup? Dia adalah keberanianku, kepercayaan diri dan harapanku.

Hari itu mereka memberitahuku bahwa mobil ibuku melaju kencang hingga menabrak sebuah jembatan sampai tercebur ke dalam sungai.

Aku merasa hancur, aku terpuruk dalam keadaan terburuk yang pernah aku alami.

Dan kemudian tiba-tiba, pintu kamarku dibuka dan tampak ayah tiriku, Jake, masuk ke dalam dan berdiri di tepi ranjangku.

Dia selalu baik kepadaku. Ibuku menikahinya sekitar 8 bulan yang lalu, pernikahan mereka masih terbilang muda tetapi ibuku lebih cepat pergi.

Aku bisa mencium aroma tubuh ayahku yang mabuk. Ia minum lagi.
Setelah pemakaman ibuku dia tidak terlihat sedih lagi tetapi dia tampak lebih emosional dan pemarah.

"Ada yang salah?" tanyanya dingin.

"Apa maksud ayah?" tanyaku balik, aku tidak paham.
"Umm... tidak ada," lanjutku kemudian, saat melihat raut wajahnya yang kesal dan memerah.

"Kau duduk-duduk sepanjang hari! Kau bahkan tidak memasak, tidak membersihkan rumah! Kau tidak melakukan apa-apa! Apa kau ingin membusuk di ruangan ini?! Baiklah tetap di sini!" teriaknya padaku. Aku terkejut saat dia keluar dan mengunci pintu kamarku. Apa ini?! Dia tidak seharusnya mengurungku di kamar.

Aku berlari ke arah pintu, dan mencoba membuka pintu. Aku menggedor-gedor pintu tapi ayahku tidak kembali. Aku kembali menangis di depan pintu.
Dia mengurungku untuk pertama kalinya.

Untuk pertama kalinya aku bisa mengingat kembali mimpiku. Aku masih mengingatnya, mimpi itu adalah hari pemakaman ibuku, hari di mana ayahku benar-benar berubah. Ia kejam, jahat, dan tidak manusiawi.

Aku merapikan tempat tidurku setelah berusaha untuk tidak memikirkan mimpi itu lagi. Aku berjalan ke kamar mandi dan membersihkan badan.

Lalu, aku memakai kemeja putih dengan lengan sepenggal dipadukan dengan celana kulot krem. Kombinasi yang sangat tepat menurutku. Terlihat lebih elegan dan sopan.

Aku mengikat rambutku dari bawah agar terlihat cocok, dan memakai make up tipis serta lipstick senada dengan warna bibirku.

Aku melihat bayanganku di cermin. Tampak sempurna.

Aku mengambil tas rotanku di meja dan berjalan ke arah pintu dan tentu saja aku akan kembali bekerja hari ini. Anehnya, pagi ini masih sedikit gelap tetapi sudah lebih banyak orang di luar.

Aku tidak memusingkan itu, aku berjalan santai ke tempatku bekerja. Soal Aland, aku tidak memikirkannya lagi karena aku tidak punya hutang lagi padanya.

***

Aku masuk ke dalam cafe dan melihat Vicky berbicara dengan beberapa orang. Aku berjalan ke mejaku tetapi Vicky memanggilku dan tersenyum.

"Ella! Perkenalkan ini Lola, Jackson, Debi, dan Liam," ucap Vicky.
Aku hanya tersenyum menanggapi dan melambaikan tangan, mereka pun melakukan hal yang sama.

Pada akhirnya aku harus menghampiri mereka dan ikut berbincang.
Eventually, they turned out to be very nice people.
Aku menyukai mereka, mereka lebih santai dan baik.

Kudeskripsikan ya ...
Laki-laki tampan dengan rambut pirang adalah Jackson, bisa kupastikan ia tertarik dengan Lola, soalnya sedari tadi matanya tidak lepas dari gadis itu.
Mereka sangat lucu, apalagi ketika mata mereka bertemu, namun walaupun begitu mereka tampak dewasa.

Liam, lebih tampan dari Jackson. Dia mempunyai mata coklat yang indah sama dengan warna rambutku. Rambutnya berwarna pirang cerah dan dia tampak maskulin. Aku suka senyumnya, dia tampak ramah dan sederhana. Ia menatapku sebentar, dan aku berusaha untuk tidak salting atau blushing.

Dan Debi, dia sedikit pemalu. Tapi dia sangat imut, dia tampak seperti anak kecil.

"Sepertinya kita harus melanjutkan pertemuan kita lain kali," ucap Lola mengakhiri.

"Let's all get a night out!" teriak Jackson mendukung Lola.

"Aku dan Debi tahu club yang tidak terlalu jauh dari sini, dan juga aku dengar clubnya is fan-tas-tic!" sambung Vicky sambil menatapku. Dan yang lain juga menyetujui ide Vicky.

"Ella, kau pasti datang kan?" Liam, dia bertanya padaku. Sontak, yang lain pun ikut melihatku sambil berharap aku mengatakan 'ya'.

"I'm so sorry guys, i would love to come but i'm working on friday night, i'm sorry," ucapku tak enak hati. Tapi aku memang bekerja malam ini karena Mr. Sterne memintaku.

Mereka kelihatan tampak kecewa dan Liam kembali berbicara. "Can't you take a night off? Come on, it will be fun!"

Aku tersenyum kecut seraya menggelengkan kepalaku sebagai jawaban atas permintaan Liam.

"Oke, jika kau kepikiran ini alamatnya. Kami akan senang jika kau datang," ucap Debi tersenyum imut sambil menuliskan alamatnya di sebuah kertas. Sepertinya dia menyukaiku, karena aku juga tidak terlalu banyak bicara sama sepertinya.

Aku dan Vicky melambaikan tangan saat mereka keluar dari cafe sambil menenteng cappucino mereka. Sebenarnya, sudah lama aku tidak bermain dengan teman-temanku, ketika aku bersama dengan temanku aku merasa bahwa aku tidak sendiri.

Hari berlalu, aku dan Vicky melayani banyak pelanggan. Aku memperhatikan wajah setiap pelanggan, kupikir dia datang, ternyata tidak ... Untunglah!

Tiba-tiba ponselku berdering dan ternyata itu Mr. Sterne. Akupun menggeser tombol hijau.

"Ella, Ella Sene, maafkan aku karena kau tidak bisa bekerja di cafe lagi. Ini menjadi hari terakhirmu. Aku tahu ini bukan salahmu, tapi kami punya masalah di cafe. Kau akan mendapatkan gaji dan tambahannya besok pagi. Aku sungguh minta maaf," ucap Mr. Sterne.

What?! Aku dipecat??

"Good luck," lanjut Mr. Sterne dan mematikan sambungan telepon.

Aku kaget, dan sedih tapi aku tidak boleh menangis.
Aku mengirim pesan pada Vicky bahwa aku akan ikut nanti malam.

Tapi, aku tidak punya gaun atau semacamnya. Apa aku harus memakai celana ke club juga?

Tidak mungkin kan!

Aku melepas celemekku, toh aku bukan pegawai di sini lagi. Aku membuka ponselku dan melihat toko online di sana. Tapi terlebih dahulu ponsel bergetar pertanda ada pesan yang masuk ...

Aku mengirim gaun ke apartemenmu. Pakai itu saja ...

Seperti itu pesannya.

***
Nggak tahu gimana sama cerita ini😭
Kok makin ke sini makin absurd yah:(

Akunya yang nggak pande atau gimana😌
Jadi kesal sendiri

Btw, Sebelum minggat jangan lupa tekan bintang yah

Byee
♥️♥️♥️

You're Mine [Lengkap✓]Where stories live. Discover now