04: Sepatu dari Ayah

Start from the beginning
                                    



*****



Di kediaman Renjun, pemuda itu tampak sibuk menata makanan yang ada di meja makannya. Bukan untuknya, melainkan untuk sang nenek yang masih terlelap di tempat tidurnya. Tak lupa Renjun meletakkan beberapa butir obat yang sudah ia siapkan di mangkuk kecil untuk diminum nenek setelah sarapan nanti. Semua itu Renjun lakukan karena neneknya itu sering sekali lupa dengan kewajibannya untuk meminum obat.

Setelah semuanya beres, Renjun beralih menuju kulkas untuk mengambil sekotak susu rasa vanilla yang berukuran besar. Lantas meminumnya beberapa teguk dan meletakkannya kembali. Tak lupa pula Renjun tinggalkan sticky note berwarna pink di atas meja makan. Bertuliskan pesan dari Renjun agar neneknya menghabiskan sarapannya dan tidak lupa untuk meminum obatnya.

Renjun kemudian menutup bolpoin miliknya dan menaruhnya kembali ke dalam tas. Menilik sekilas pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah pukul setengah 8, sedangkan pagar sekolah akan ditutup 30 menit lagi. Renjun lantas bergegas keluar rumah setelah mengenakan sepatunya. Berharap agar pagi ini ia tidak ketinggalan bus.

Di luar rumah, Renjun bertemu dengan Heejoo dan ayahnya. Perhatian Renjun langsung tertuju pada sepatu yang dikenakan Heejoo pagi ini. Sangat cocok sekali saat Heejoo mengenakannya. Dilihatnya ayah Heejoo yang tersenyum padanya, Renjun tahu ayah Heejoo sudah bekerja keras untuk membeli sepatu itu. Sebab semalam, selepas ia meninggalkan Heejoo di kamarnya, Renjun tak sengaja bertemu dengan ayah Heejoo di depan rumah.

Malam itu, ayah Heejoo baru saja kembali. Alasan kenapa ayah Heejoo pulang terlambat adalah karena setelah selesai bekerja, beliau pergi ke berbagai toko sepatu untuk membeli sepatu Heejoo dengan kondisi pakaian yang masih kotor selepas bekerja.

"Saya tahu, saya tidak kaya. Tapi saya juga ingin putri saya berjalan dengan sepatu yang berkualitas bagus seperti kebanyakan orang," ungkap ayah Heejoo yang malam itu Renjun mendengarkan ceritanya.

"Saya ingin Heejoo bahagia dan berjalan dengan penuh percaya diri," kata ayah Heejoo sembari menengadahkan wajahnya ke langit malam yang diterangi sinar bulan.

"Renjun, kau bisa 'kan membantunya?"

Dan malam itu juga Renjun membisu. Tidak tahu harus bagaimana menanggapi permintaan dari ayah Heejoo. Sebab, dulunya seseorang juga pernah memberikan amanah seperti itu padanya. Tapi lihatlah, sampai sekarang Renjun tidak bisa melakukannya dengan baik.

"Renjun, ayo berangkat bersama!" Panggilan dari ayah Heejoo itu kembali menyadarkan Renjun dari lamunannya. Ayah Heejoo melambaikan tangannya, mengajak Renjun agar berjalan bersamanya dan Heejoo. Sedangkan Heejoo, gadis itu mengedarkan pandangannya ke sembarang arah. Seolah sengaja menghindari tatapan Renjun yang mengarah padanya.

Renjun mengulas senyumnya sembari menganggukkan kepalanya. Berlari menghampiri ayah Heejoo dan berjalan bersamanya. Ah, kalau sudah seperti ini, rasanya Renjun seperti kembali ke masa lalu. Saat dirinya di bangku taman kanak-kanak, ayah Heejoo selalu mengantar Heejoo dan dirinya ke sekolah. Ada banyak canda tawa juga cerita yang menemani perjalanan mereka.

Mulai dari ayah Heejoo yang bercerita dan menjelaskan setiap apa yang mereka lihat di sepanjang perjalanan kaki mereka. Ayah Heejoo yang dengan senang hati menjawab beragam pertanyaan yang berasal dari rasa keingintahuan Heejoo dan Renjun yang masih anak-anak. Juga adu mulut antara Heejoo dan Renjun yang tak terelakkan.

Itu dulu.

Sekarang, hanya ada lawakan ayah Heejoo yang tidak begitu lucu untuk mencairkan suasana. Renjun dan Heejoo juga menanggapinya sesekali.

Hanya itu.


*****


Jarum panjang pada jam yang ada di dinding sudah beranjak ke angka sepuluh. Sudah 30 menit lamanya Pak Choi berkoar-koar di ruang guru hingga semua guru yang ada di sana memusatkan atensinya pada Pak Choi yang merupakan wali kelas dari kelas 2-3 dan Heejoo yang merupakan murid dari kelasnya.

Heejoo, gadis bermarga Moon itu hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam. Entah sudah ke berapa kalinya Heejoo mengucapkan kata maaf, namun Pak Choi nampaknya masih belum puas mengomelinya.

"Seharusnya jika sudah diberi beasiswa, kau harus rajin di sekolah. Tidak sesuka hatimu saja datang ke sekolah ini!" katanya dengan penuh penekanan. Tak lupa jarinya yang menunjuk-nunjuk ke hadapan Heejoo.

"Maafkan saya," lirih Heejoo.

Heejoo tahu kalau perbuatannya kemarin—bolos sekolah bahkan saat jam pertama itu salah. Heejoo tahu. Tapi, mau bagaimana lagi, baik penampilan maupun perasaannya pada hari itu kacau balau.

"Lihatlah anak itu, dia selalu mengatakan maaf, tapi tidak pernah berubah. Terus mengulangi kesalahannya," sahut seorang guru wanita yang meja kerjanya bersebelahan dengan Pak Choi.

"Iya, 'kan?!" Pak Choi memutari bangku yang ditempatinya, menghadap Bu Kim. "Saya bahkan sudah lelah menasehatinya," ungkap Pak Choi.

"Maafkan saya," lirih Heejoo lagi. Gadis itu masih belum berani mengangkat wajahnya.

Pak Choi menghembuskan napas panjangnya sebelum mengatakan sesuatu yang terdengar mengancam. "Haruskah saya memanggil ayahmu, agar kau jera?!"

Heejoo mengangkat wajahnya, netranya membulat dan menggelengkan kepalanya kuat. "Jangan Pak! Jangan panggil ayah saya. Saya mohon!" Heejoo panik, ia terlihat ketakutan setengah mati saat Pak Choi berniat untuk menghubungi ayahnya.

Heejoo tidak ingin ayahnya mengetahui apa yang terjadi dengannya di sekolah. Heejoo tidak ingin ayahnya kesusahan lagi gara-gara dirinya. Sudah cukup, jangan sampai ayahnya tersakiti lagi.

"Makanya, kau itu harusnya tahu diri. Jangan bisanya hanya menyusahkan orang tua saja!" sahut Bu Kim lagi.

Apa ... aku menyusahkan ayah?

Pak Choi menghela napasnya dan tangannya kemudian bergerak mengambil botol mineral yang ada di meja kerjanya. Dari raut mukanya, Pak Choi kelihatan lelah setelah berkoar-koar sekitar 30 menit atau mungkin lebih. Meminum beberapa teguk air mineral sebelum mengakhiri ceramah panjangnya.

"Baiklah. Lakukan hukumanmu seperti biasa. Untuk kedepannya, jangan ulangi lagi. Apa kau paham?"

Heejoo mengangguk. Gadis itu bangkit dari tempat duduknya sembari menyeka air matanya yang tanpa disadarinya mengalir begitu saja. Heejoo sedikit membungkukkan badannya kepada Pak Choi sebelum pergi.

Sementara itu di luar ruangan guru, Yongmi sudah menunggu Heejoo dan mulutnya yang gatal itu bersiap mengajak Heejoo untuk menyumpahi oknum-oknum gila yang ada di sekolah ini. "Dasar gila! Si kumis tebal itu menyuruhmu membersihkan sampah di belakang gedung sekolah lagi?"

Heejoo mengangguk.

"Ah, seharusnya sekolah ini juga melakukan pembersihan. Jangan hanya membersihkan sampah yang ada di belakang gedung sekolah. Tapi juga membersihkan sampah masyarakat yang ada di sekolah ini."

Heejoo terkekeh mendengar pendapat dari Yongmi yang memang ada benarnya. Untung saja koridor sedang sepi sekarang. Jika tidak, orang lain pasti akan berpikir kalau dirinya ini gila karena senyum-senyum sendiri.

Heejoo menghentikan langkahnya di depan loker miliknya. Setelah memasukkan password sebanyak 4 digit, pintu loker yang tertanda namanya itu terbuka. Heejoo mengambil sandal yang ada di dalamnya dan mengenakannya setelah melepaskan sepatunya.

"Wah, sepatu baru ya," goda Yongmi saat Heejoo memasukkan sepatu ke dalam lokernya.

"Ayah yang membelikannya," kata Heejoo sembari menutup kembali pintu lokernya.

Yongmi mengangguk mengerti, tiba-tiba saja dirinya merindukan sosok ayah yang sudah ditinggalkannya. Kira-kira bagaimana kabar ayah sekarang, ya?

SUN AND MOON || HAECHANWhere stories live. Discover now