7. Ternyata

2.1K 322 27
                                    

Happy reading ❤️❤️

Arum mengemas semua pakaiannya di dalam sebuah tas besar. Hari ini wanita itu bertekad untuk meninggalkan rumah. Sudah tiga hari Riri tinggal di sana, dan selama itulah Arum selalu mendapatkan cacian dan hinaan. Arum menatap nanar perutnya yang kian membesar. Ia tahu jika saat sedang mengandung, suami ataupun istri dilarang untuk berpisah, maka dari itu Arum memutuskan untuk pergi, setelah bayi ini lahir, baru Arum akan meminta pisah dengan Rama.

Bukan tanpa sebab Arum melakukan itu, sekarang saja perlakuan Riri sudah seperti ini kepadanya dan anak-anak, bagaimana kedepannya nanti? Itu lah yang wanita itu pikirkan.

"Bunda ga bermaksud untuk pisahin kamu dari ayah kamu, tapi kita juga gabisa terus-menerus di sini, Nak," ucap Arum dengan suara serak.

Mungkin ini memang takdirnya Arum, ia tidak ditakdirkan untuk bersama Rama, dan Arum menerima itu semua dengan lapang dada.

"Bun, Kiran udah siap," kata Kirana seraya menenteng tas yang juga berisi pakaian.

"Kiran akan terus temenin bunda. Kiran gamau ninggalin bunda," ujar anak itu.

Arum tersenyum tipis, dirinya tak bisa menampik bahwa ia harus pergi membawa kandungan dan hidup tanpa Rama disisinya. Arum menggeleng kuat, ia tidak boleh lemah. Kemana Arum yang dulu, yang kuat dikala badai menerpa.

"Kalian mau apa?" Suara bariton itu bertanya dengan nada bingung.

Terlihat Rama yang berdiri di ambang pintu kamar, pria itu baru saja pulang dari kantor. Mata Rama terpusat kepada tas di dekat Arum dan yang Kirana bawa.

"Kamu mau apa, Sayang? Kok bawa-bawa tas segala."

Rama mendekatkan dirinya ke arah Arum, dari sorot mata Rama, Arum tau jika pria itu memang benar-benar kebingungan.

"Aku mau pergi, Mas."

Perkataan itu sontak membuat napas Rama tercekat di sela-sela tenggorokannya, rasanya pasokan oksigen di sekitar mulai menipis.

"A--Apa? Pergi? Kenapa?"

Arum memberikan tatapan sendu tepat ke dalam manik mata Rama, pria itu tersentak saat melihat mata Arum yang berkaca-kaca.

"Hei, ada apa?" Rama menangkup lembut wajah Arum.

Arum memegang tangan Rama dan menurunkannya.

"Aku udah ga kuat sama perlakuan Oma, Mas. Aku dan Kiran cuma jadi beban untuk kalian, dan aku cukup sadar diri. Aku gamau anakku semakin terpengaruh oleh hinaan Oma."

"Oleh karena itu, aku lebih memilih untuk mengikhlaskan ini semua, Mas. Karena mungkin takdir tidak membiarkan kita untuk bersama," lanjut wanita itu seiring dengan air matanya yang turun.

"Tapi kamu lagi hamil, Sayang. Aku ga akan biarin kamu pergi!" Rama melayangkan tatapan perintah kepada Arum.

"Kamu tenang aja, Mas. Kamu bisa temui anak kita nanti setelah dia lahir."

Perkataan yang Arum lontarkan membuat Rama kesal.

"Please, jangan pergi, Sayang," pinta Rama.

"Kiran keluar dulu ya, Nak. Ayah mau bicara sama bunda." Rama menatap bocah itu.

Bocah itu hanya bisa mengangguk dan menurut.

Setelah Kiran keluar, Rama langsung merengkuh erat tubuh Arum.

"Aku tau Oma keterlaluan, tapi kita bisa lewati ini bersama-sama, Sayang. Aku mohon, aku gamau kehilangan kamu lagi." Rama berbisik kemudian mencium kepala Arum.

Happiness [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang