Menaklukan Si Angkuh

15.4K 2.5K 113
                                    

Melihat dua orang preman yang berdiri tak jauh dari pagar kosnya membuat Gadis waspada. Ini bukan kali pertama ia diintai. Setiap kali ibunya terdesak tagihan, keselamatan Gadis selalu terancam. Sudah sekitar sepuluh tahun mereka tidak tinggal bersama, tepatnya setelah Gadis lulus sekolah dan mulai bekerja, ia memutuskan pergi dari rumah tapi sang ibu tak henti menyusahkan hidupnya.

Preman – preman itu seharusnya adalah suruhan muncikari yang mempekerjakan ibunya. 'Ambil saja Gadis, kalau mau utang saya lunas', selalu itu yang ia katakan jika sudah terdesak.

Dulu Gadis bekerja, ia punya uang atau setidaknya ada koperasi di tempatnya bekerja untuk meminjam uang dan membayar cicilan ibunya, semata agar ia tidak dijadikan pelacur seperti yang selalu Diora usulkan. Tapi sekarang...

'Gadis itu cantik, badannya seksi, dan bukan keturunan sembarangan. Kalau dijual pasti mahal,' selalu itu juga yang ia banggakan pada sesama rekan seprofesinya.

Heran, punya cita - cita kok dangkal banget. Ketika wanita lain jual badan agar anaknya bisa hidup jauh dari dunia seperti itu, Diora justru ingin mengajak putrinya ke jurang yang sama.

Mengambil rute yang lebih jauh, diam - diam Gadis kabur dari incaran mereka. Tapi sayang kedua preman itu berhasil menyadarinya. Ia pun berlari sekuat tenaga, mengabaikan lumpur yang menodai pakaiannya, dan batu yang menyakiti kakinya. Jika memang harus mengikuti jejak sang ibu, Gadis ingin memilih klien-nya sendiri.

Tak mampu mengungguli kecepatan mereka, si preman berambut panjang berhasil meraih bagian belakang kaos Gadis, menariknya hingga terdengar jalinan benang yang koyak.

Nekat melompati kubangan membuat Gadis terperosok, akan tetapi ia berhasil mengundang perhatian orang - orang sekitar. Mereka berdatangan untuk menolong Gadis—termasuk Bina yang sudah menunggu di tempat biasa. Dibalik rasa sakit dan lumpur yang menodai bajunya, ada keselamatan. Kedua preman itu mundur teratur sebelum dihajar massa.

"Mereka lagi?" tanya Bina saat keduanya berjalan pelan menuju rumah Adiba yang hanya berjarak beberapa ratus meter lagi.

Gadis meringis merasakan sakit di lututnya lalu mengangguk. Langkahnya agak pincang, dagunya tergores batu, sikunya apalagi, ia menopang tubuh dengan itu.

"Aku takut pulang. Kayanya Mama punya utang lagi, sayangnya sekarang aku nggak punya uang."

Bina menyelundupkan Gadis melalui pintu samping, membiarkan temannya membersihkan diri di kamar mandi pembantu sementara ia mencuci beberapa bagian baju Gadis yang kotor.

"Baju siapa itu, Bin?"

Bina mendadak gugup karena tertangkap basah majikannya. Tapi ia beruntung karena bukan majikan laki – laki melainkan ibunya.

Diremasnya pakaian Gadis yang sudah terlambat untuk disembunyikan. "Bajunya Gadis, Bu. Tadi dikejar orang gila sampai nyemplung got."

"Aduh!" majikannya mengerutkan hidung, tidak setuju membayangkan baju itu dikenakan kembali. Sebelum robek saja sudah jelek. "Buang saja bajunya, sudah robek lagi. Sini, bantu saya cari baju di gudang, banyak yang nggak terpakai."

Gadis tidak tahu harus senang atau takut mendapatkan daster merah milik mendiang Isyana. Agak menggantung di tubuhnya yang tinggi semampai tapi itu lebih baik daripada bajunya yang sudah robek. Hanya saja bagaimana jika Tria tidak setuju pakaian mendiang istrinya dikenakan oleh Gadis? Tentu saja barang – barang tersebut menyimpan kenangan tersendiri bagi Tria.

"Aku kelihatan payah, nggak?" tanya Gadis pesimis, "aku bisa banget ajarin Adiba belajar hari ini, tapi kayanya Pak Tria nggak bakal setuju."

Bina mengangguk, "Iya, Pak Tria banyak maunya."

Buat Gadis Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang