Majikanku 'Kejam'

Mulai dari awal
                                    

Gadis membalas dengan senyumnya yang tulus, yang mengusik Tria tempo hari. Sekarang pun sama.

"Siang, Pak!"

Tria mengangguk kaku, dengan nada tak acuh ia berkata, "nanti jangan langsung pulang dulu ya. Ikut kita makan siang. Kebetulan Omanya Adiba ada acara jadi nggak ada yang suapin dia. Bisa, kan?"

Gadis mengiyakan dengan sopan dan pria tampan itu berlalu dari sana setelah melirik pekerjaan Adiba. Hanya corat - coret tidak jelas tanpa makna. Sekali lagi Tria yakin anaknya hanya sedang menghabiskan waktu—dan uang Tria—untuk hal tidak berguna.

Tria tidak banyak berkomentar saat makan siang, mengawasi anaknya disuapi oleh Gadis dan mendapati Adiba berceloteh ketika mulutnya penuh makanan. Kebiasaan buruk tapi anaknya terlihat sangat bahagia.

"Adiba, jangan ngomong kalau mulutnya ada makanan," tegur Tria pelan.

Gadis tersenyum lalu bergumam agar Adiba mematuhi ayahnya.

"Oh ya, katanya kamu baru berhenti kerja ya?" Tria sudah tidak sabar untuk menginterogasi guru sementara Adiba, dan akhirnya ia mulai juga di meja makan.

Gadis memandangnya sesaat sebelum menjelaskan, "iya, Pak. Ada pengurangan tenaga kerja dan saya termasuk."

"Kerja di mana?"

"Pabrik garment, Pak."

"Oh, kalau kerja di pabrik memang begitu, suka ada 'kejutan' untuk buruh." Tria berharap Gadis mengerti maksudnya—pecatan mendadak, "kamu lulusan apa?"

"Saya lulusan SMK jurusan tata busana, Pak," Gadis tersenyum lagi, cukup bangga dengan pencapaiannya. Ia menjadi siswi berprestasi di jamannya.

Tapi Tria mengernyit seakan ada yang aneh dengan masakan Bina.

"Terus, ada pengalaman mengajar di mana? Saya pikir kamu tenaga pendidik." Tria sudah tahu sedikit banyak tentang pekerjaan Gadis, ia hanya ingin membuat perempuan itu sedikit terintimidasi dengan nadanya yang sarkas.

Yang tidak diketahui Tria, sarkas adalah makanan sehari - hari para buruh sehingga Gadis tidak memasukannya ke dalam hati.

"Saya mengajarkan pendidikan dasar baca, tulis, dan berhitung di rumah singgah, Pak."

"Dibayar berapa?" Tria lupa bernapas saat melihat rona merah menjalari pipi Gadis.

"Nggak dibayar, Pak. Saya membantu kalau libur kerja saja."

Pertanyaan berlanjut seputar kehidupan Gadis. Tentang keluarga dan pekerjaan orang tua—yang dijawab agak ragu oleh Gadis. Pengalaman kerjanya sendiri, dan lain – lain.

"Nanti coba saya carikan tempat kerja yang cocok untuk kamu." Akhirnya Tria sampai pada inti pembicaraan mereka, "di sini bayarannya kan tidak seberapa."

Gadis terdiam memperhatikan pria itu, agak terkejut sebenarnya.

"Terimakasih banyak, Pak. Tapi saya berniat mencari kerja di konveksi rumahan saja supaya lebih fleksibel jadi bisa tetap mengajar Adiba."

"Tidak perlu," tampik Tria terlalu cepat dan bersemangat, "nanti setelah bekerja kamu tidak perlu mengajar Adiba lagi. Dia akan segera mendapatkan guru baru. Saya tahu agak sulit mengajari anak saya, dia butuh guru dengan kualitas pendidikan yang bagus dan sesuai."

Setelah menunjukan rasa tidak sukanya, kini pria itu terang – terangan ingin Gadis berhenti menjadi guru bagi putrinya. Aku salah apa? Tanya Gadis dalam hati.

Kemudian tak ada lagi yang ingin Tria sampaikan, ia biarkan kalimat – kalimat pedasnya mengendap dalam kepala Gadis. Terlihat dari antusiasme perempuan itu yang menurun, seakan tidak bersemangat menikmati makan siangnya.

Setelah itu Gadis membantu Bina membereskan sisa makanan dan mencuci perkakas sebelum pulang.

Tria memberi waktu untuk Adiba menonton film kartun kesukaannya sementara Gadis berpamitan. Sebagai tuan rumah ia merasa wajar mengantar hingga ke pintu depan—walau sebenarnya tidak perlu.

Gadis mengucapkan sesuatu pada Bina agar perempuan itu menunggu di jalan sementara ia ingin menanyakan sesuatu pada Tria. Hal yang memang mengganjal di hatinya sejak tadi.

"Pak-"

Tria membeku. Suara Gadis begitu lembut, tak heran jika Adiba merasa betah dengannya, tapi sayangnya itu menjadi gangguan buat ayah anak itu.

"saya ingin tahu apakah ada yang salah dengan cara mengajar saya?"

Sesaat Tria hanya memperhatikan kepala yang dibalut oleh kain seperti turban, turun ke pakaiannya yang biasa saja. Kaos pudar dilapisi jaket kedodoran yang juga usang, lalu rok kembang yang menurut Tria identik dengan Gadis.

"Tidak," jawab Tria serak, "tidak ada yang salah dengan cara mengajar kamu. Saya anggap itu seperti... selingan, bermain - main sampai dia menemukan guru baru."

"..." Layaknya manusia normal Gadis sakit hati diremehkan seperti itu akan tetapi ia memilih bertahan demi kelangsungan hidupnya.

Melihat Gadis diam, Tria berpikir perempuan itu agak polos dan tidak peka, ia pun menjelaskan, "Jadi begini, kamu bagus, tapi itu cocok untuk anak - anak di rumah singgah. Anak saya butuh penanganan tenaga profesional," Tria mengerutkan hidungnya, berpura - pura mencibir diri sendiri, "idealisme orang tua, suatu hari kamu akan mengerti. Kalau sudah punya anak sendiri."

Gadis mengangguk paham. Bibirnya begitu kering karena terlalu banyak diam tapi untuk kali ini ia perlu memastikan nasibnya di tangan pria itu. Lidahnya bergerak sendiri membasahi bibir, dan suaranya terdengar serak saat ia beranikan diri bertanya, "lalu apakah besok saya masih boleh mengajar Adiba?"

"Tentu." Sahut Tria cepat, sejenak perhatiannya tertuju pada bibir itu sebelum ia berdeham dan menatap matanya, "Saya sudah janji carikan kamu pekerjaan. Sampai saya temukan yang cocok, tolong bantu saya temani Adiba bermain," melihat air muka Gadis yang semakin layu, Tria mengoreksi kata – kata pedasnya, "maksud saya belajar. Belajar sambil bermain."

Diam – diam Tria memperhatikan wajah Gadis yang tampak lega, ia berterimakasih lantas berpamitan. Tria segera menutup pintu di belakang Gadis.

Melalui jendela berlapis vitrace ia memperhatikan Gadis kembali pada Bina sambil melepas kain aneh di kepalanya. Rambut hitam panjangnya jatuh mencapai bokong yang ia benahi ikatannya yang longgar menjadi seperti ekor kuda sebelum mereka pergi.

Tria menjatuhkan tirai di tempatnya berdiri, mengguncang kepalanya dengan kesal saat terbayang rambut hitam itu. Sayang, Gadis tidak menoleh ke arahnya. Tidak ada gambaran bagaimana perpaduan antara wajah sederhana Gadis yang lumayan manis dengan rambut hitam berkilau yang tadi dilihatnya.

"Majikanku ganteng ya," goda Bina dan pipi Gadis yang putih dengan mudahnya merona.

"Tapi ketus," ia tersenyum tipis sambil melirik Bina, "kayanya dia nggak cocok dengan aku deh. Dia bilang mau carikan aku pekerjaan supaya aku nggak perlu ajari Adiba lagi."

Langkah Bina sedikit tersendat, "loh, kenapa?"

"Katanya cara mengajarku cocok untuk anak - anak di rumah singgah, sementara Adiba butuh tenaga pengajar yang lebih profesional." Gadis tak menyembunyikan kekecewaannya. Seperti hari kemarin, usahanya masih tidak cukup keras untuk meyakinkan Tria.

Bina meringis, "iya sih, Pak Tria memang agak ketat kalau soal anaknya." Ia pun menyemangati Gadis dengan meremas pelan pundaknya, "Ya udahlah, tambah enak kan kalau dapat kerja lagi."

Apapun demi menyambung hidup, Gadis mengulas senyum dan mengangguk setuju.

***

Dalam kamar kos sempit Gadis berguling di atas kasur kapuk yang keras. Ia masih menempati kos buruh pabrik yang dibayar setiap enam bulan. Tak seperti biasa, tiba - tiba saja malam ini ia teringat pada wajah angkuh majikannya. Diakuinya tampang pria itu luar biasa sempurna menurut Gadis. Hidung yang lurus, bibir tipis, rahang persegi yang kokoh, dan sorot mata yang tak pernah kosong. Tria seakan selalu fokus dengan setiap tindak tanduknya. Sorot mata pemangsa yang tak pernah lepas dari incarannya.

Kenapa jadi mikirin dia? Gadismenegur diri sendiri dengan kesal. Mulutnya tajam, kata - katanya pedas,orangnya angkuh. Seharusnya aku tidur supaya kuat menghadapi pria takberperasaan itu besok. Kasihan sekali Adiba yang ceria punya ayah seperti itu.

Buat Gadis Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang