📚 36. Bakso Malang

1.9K 173 49
                                    

Dila menghembuskan napasnya setelah satu jam berkutat membersihkan rumah sembari menunggu Rafa pulang dari kerja. Kini perutnya keroncongan, cacing-cacing dalam perutnya mulai memberontak untuk diisi. Padahal satu jam yang lalu ia telah menghabiskan lima porsi rujak buah dalam sekaligus.

Cacing-cacing dalam perutnya seolah-olah menuntunnya untuk membuka lemari es yang di dalamnya terdapat berbagai makanan siap saji untuk disantap segera, tanpa proses yang panjang. Tanpa basa-basi Dila segera mengambil dua bungkus mie, lima butir telur juga beberapa sayuran hijau lainnya.

"Mumpung gak ada mas, jadi gak akan ada yang ngomel-ngomel." Dila memasukkan satu sendok mie yang baru saja matang ke dalam mulutnya

Mulutnya masih tak berhenti bergerak menguyah mie beserta topping yang menambah kenikmatannya. Ketika mie instan sudah tandas habis, mobil Rafa telah sampai di pekarangan rumah. Dila mengelap sudut bibirnya yang penuh dengan bumbu mie dengan tissue secara cepat, kemudian segera menyambut suaminya di teras. Meninggalkan begitu saja mangkok sisa mie di atas meja yang di sampingnya terdapat berbagai lauk yang pastinya sangat bergizi.

"Assalamualaikum, dek?" Rafa membuka pintu, disambut dengan Dila yang segera mengambil alih tas Rafa dari tangannya

"Waalaikumsalam, mas gimana kerjanya? Lancar?" tanya Dila membu tuti langkah Rafa menuju ruang keluarga

Dila duduk di samping suaminya, mengajaknya ia berbicara tentang pekerjaannya juga sebagai cara bagaimana Rafa tidak ke dapur. Secara, mangkok mie yang masih ada setengah itu nampak jelas di atas meja.
"Ya sudah, mas mau ambil minum dulu."

"E--eh mas, adek saja ya?" Dila berdiri dari duduknya tetapi sontak Rafa mencekal tangannya

Rafa bangkit dari duduknya menggelengkan kepalanya lalu menyuruh Dila duduk lagi di sofa. Dila sudah tak bisa berkutik lagi, sudah bisa dipastikan bahwa sehabis ini dia akan menerima omelan atau bahkan hukuman ketika melihat mangkok mie instan di atas meja itu.

"Dek, kamu makan mie instan?" pekik Rafa membuat Dila gelagapan hendak menjawab apa

Rafa memang sangat melarang Dila makan mie instan dengan sering, sebelumnya mereka telah bersepakat bahwa makan mie instan hanya boleh satu minggu sekali. Dan, Dila melanggar kesepakatan itu, jadi? Dia harus menerima omelan Rafa yang kalau sudah ngomel galak sekali.

"Sudah mas bilang, kita makan mie instan satu minggu sekali, lah kamu belum satu minggu udah dua kali dek," tegur Rafa sembari mengotak-atik semagkok mie yang hanya tinggal bumbunya itu

Dila hanya menatap mata tajam Rafa, ini bukan yang pertama kali Dila melanggar kesepakatan tapi sudah berkali-kali. Sudahlah, ia kini hanya berpsarah menerima omelan Rafa yang super protektif kalau sudah masalah kesehatan.

"Adek makan berapa porsi?" tanya Rafa membawa mangkok kotor tersebut pada wastafel, kemudian mencucinya

"Dua porsi, terus adek tambahin lima telur sama sayur bayam."

"Fiks abis ini kita olahraga di atas," tutur Rafa merangkul pundak Dila yang sudah bergetar hebat ketika mengira Rafa akan marah besar soal ini, ternyata tidak

"Kenapa gak marah? Kok cuman nasehatin aja?" tanya Dila di sela-sela langkah menaiki tangga

"Percuma marah, orang adek udah bandel mending diajak olahraga, badan sehat hati sehat juga," timpal Rafa menaiki anak tangga terakhir

Rafa dan Dila berolahraga di ruangan gym di rumahnya, satu jam berkutat di ruangan sana Dila kini sudah lemas tak berdaya bercampur keringat yang mengucur di tubuhnya.

"Kalau keringatnya udah reda mandi ya dek, habis ini kita ke rumah senja," titah Rafa kepada Dila yang kini lemas

Dila meninggalkan Rafa di ruangan gym itu, kemudian menuju kamar merebahkan tubuhnya di karpet untuk menghilangkan keringat di tubuhnya. Sedangkan Rafa masih berstamina berolahraga di sana, wajar kalau tubuhnya sangat atletis dan gagah, rajin olahraga rupanya.

•••

Suara tawa terdengar dari rumah ini, rumah di mana berbagi keluh kesah, suka dan duka. Senyuman selalu ada di benak mereka, kesedihan sudah mereda pada benak mereka yang dulu sebelum hadirnya sosok-sosok penyayang setiap harinya dirundung duka, sedangkan tawa hanya sedikit mendominasinya. Kini, kehidupannya berwarna. Seperti langit hitam yang disinggahi oleh pelangi. Mereka bahagia, semua telah direncanakan. Untuk takdir, jangan diragukan lagi. Takdir itu mengejutkan.

"Dadah Umi ... janji kalau Dedek Dira on the way ya! kita semua nunggu!" pekik Rumisha disambut dengan kekehan anak-anak yang berada di teras menyaksikan Dila dan Rafa pulang dari rumah senja setelah dua jam di sini

Rafa terkekeh pelan, kemudian menjalankan mesin mobilnya. Ekor matanya melihat Dila yang tengah menulis di sebuah buku kecil, tangannya bergerak lihai de kertar kosong itu. Dila tersenyum tipis, merobek secarik kertas yang telah ia tulis suatu kalimat itu, hendak berkata kepada Rafa tiba-tiba mobil berhenti karena macet kemudian disusul hujan yang deras.

"Mas-mas, kamu kok senyam-senyum?" tanya Dila memegang tangan kiri Rafa yang tengah memegang setir mobil

"Enggak apa-apa, bahagia aja kalau kamu senyum gitu," timpal Rafa mengusap puncak kepala Dila

"Mas, tahu enggak Dira itu siapa?" Rafa mengernyitkan dahinya, berpikir sejenak atas pertanyaan Dila

"Tahu enggak, mas?" tanya Dila lagi-lagi membuat Rafa berpikir

Rafa menyentuh jidatnya, berpikir siapa Dira? Sama sekali ia tak pernah mendengar kata itu di masa lalunya, ia hanya mendengarkan kata 'Dira' dari Rumasiha yang banyak berbincang dengan Dila ketika di Rumah Senja tadi.

Suara klakson dari berbagai kendaraan menyadarkan Rafa dari lamunanya, ternyata alur kendaraan lalu lintas telah membaik. Tak macet lagi. Dila yang merasa Rafa tak tahu siapa Dira ia sontak memakai Aerphone menyetel lagu kesukaanya.

•••

"Mas, adek kok pengen yang hangat-hangat, ya," kata Dila ketika masuk ke dalam kamar

Rafa yang tengah menatap layar handphonenya seketika melempar handphonenya sembarangan, lalu berjalan menuju Dila sambil membuka kedua lengan tangannya. Tanda bahwa Dila diminta untuk masuk ke dalam dekapannya.

"Eh, mau apa?" tanya Dila ketika Rafa hendak menariknya ke dalam pelukan

Rafa mundur satu langkah kemudian berkata, "katanya mau yang hangat? Kamu lagi kedinginan, hm?"

"Enggak gitu ... tapi adek mau hangat-hangat yang bisa dimakan," Dila berjalan menuju arah ranjang, merebahkan tubuhnya di sana

"Adek mau makanan?" timpal Rafa sambil memindahkan anak rambut Dila menuju belakang telinganya

Dila mengelus teratur rambut hitam Rafa kemudian berkata, "iya ... adek pengen Bakso Malang."

"Jam dua pagi mau beli dimana Bakso Malang?, besok pagi saja bagaimana?" tawar Rafa

"Atau mau beli secara online?" tawar Rafa membuat senyum Dila merekah

Rafa mulai berkutat dengan handphonenya, tak disangka gawainya tiba-tiba low bat. Chagernya ketinggalan di Rumah Senja, beserta handphone Dila. Untuk power bank? Mereka sama sekali tak membelinya.

Dila memajukan bibirnya beberapa centi ke depan, merasa permintaannya tak dituruti hawa ngambek mulai menguasai tubuhnya. Dila membelakangi Rafa kemudian menyembunyikan wajahnya ke dalam selimut hangatnya.

"Jangan peluk adek, kalau belum dibeliin Bakso Malang."

Rafa tak menggubris omongan Dila, terus saja ia memeluknya dengan erat tanpa jarak sedikit pun. Sampai di mana Dila melempar guling ke wajah Rafa saking kesalnya Rafa mau melepas pelukannya itu.

T B C

Takdirku Untukmu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang