42. Menanyakan Rasa

Start from the beginning
                                    

"Gue bener-bener nggak habis pikir, empat tahun Ger. Empat tahun gue sama dia, kenapa harus kayak gini banget?" Terselip nada frustrasi di kalimat yang dikatakan Kayana.

Gerhana tidak tahu harus menanggapi apa, selain mendengarkan Kayana. Dia tidak ingin dianggap mendukung perpisahan itu dengan menyemangati Kayana, juga tidak ingin memperburuk suasana dengan mengatakan kalimat yang membuat kesedihan Kayana makin dalam. Diam adalah emas, memang sangat dibutuhkan di waktu sekarang.

"Sakit banget, Ger."

Apa gue nggak sakit selama bertahun-tahun ini selalu ada buat lo, ketika Bang Ben nggak ada? Gerhana menambahkan. Dia bahkan mendengkus saat tahu pikirannya melayang ke banyak hal yang sudah dia dan Kayana lewati.

Kayana kembali menangis. Gerhana dapat mendengar suara tangisnya yang terdengar pelan, belum sampai beberapa menit setelah tangis itu kepala Kayana bersandar di bahu Gerhana. Menumpahkan kesedihannya.

Dan kembali, Gerhana hanya diam. Membiarkan Kayana menangis di sana.

Hingga keduanya sama sekali tidak menyadari jika ada sepasang mata yang melihat hal itu. Langkahnya yang tadi terlihat bersemangat berhenti secara statis. Ia diam di tempat dan segera berbalik karena ada sesuatu yang salah di hatinya ketika melihat Gerhana dan Kayana.

Harusnya ketika dia berbalik, ia baik-baik saja. Sayangnya semua tampak begitu percuma ketika ternyata tepat di belakangnya ada Randi, bahkan dahinya berhasil menabrak bahu Randi.

"Berlin."

Berlin menghela napas panjang. Randi menegok ke arah Kayana dan Gerhana, ada rasa kesal yang menumpuk di hatinya. Dia sudah mempercayakan Berlin kepada Gerhana, tapi bukan untuk ini dia mengikhlaskan Berlin. Dia tidak ingin Berlin sakit seperti ini.

Randi bersiap maju menghampiri Gerhana, sayangnya Berlin lebih cepat menahan Randi dengan menggengam lengan lelaki. Berlin menggeleng, mencoba menjelaskan bahwa dia tidak ingin urusan ini jadi lebih panjang. Bisa jadi semuanya salah paham kan?

"Berlin," Randi menatap Berlin bingung.

"Please, Bang."

Randi menatap dua punggung di depan danau itu dengan kesal, dia jelas bisa tahu bahwa itu adalah Kayana dan Gerhana. Sudah sejak lama pula dia sepenuhnya tahu bahwa Gerhana menyukai Kayana, tapi haruskah seperti ini? Setelah lelaki itu secara gamblang memberi harapan kepada Berlin.

Tanpa mengatakan apapun, tangan Randi mengenggam tangan Berlin untuk dia bawa pergi dari sini.

"Gue percaya sama Gerhana untuk bikin lo bahagia, Ber. Bukan bikin lo jadi sedih kayak gini."

Berlin tersenyum nanar, di antara langkah dirinya dan Randi yang beriringan ada bayang-bayang Kayana dan Gerhana yang terus muncul dalam ingatannya. Sesulit apapun dia mencoba menghiraukan, tetap saja bayangan itu masih ada. Bagaimana cara Gerhana yang mengusap punggung Kayana atau cara Kayana yang begitu nyaman bersandar pada bahu Gerhana.

Rasanya sakit sekali.

-Senandi Rasa-

Berlin sebenarnya tidak terlalu berminat datang ke Depok hari ini, seandainya saja Tania tidak memohon untuk menemaninya datang menghadiri wisuda seniornya saat SMA.

Ketika datang di sekitaran Balairung, Berlin mengabari Gerhana bahwa dia berada di sana, siapa tahu Gerhana juga di sana. Lagipula sudah beberapa hari ini, dia tidak bertemu dengan Gerhana karena lelaki itu sibuk dengan kegiatan magangnya.

Berlin : Gue di Balairung, lo di sini juga?

Gerhana : Iya, senior gue banyak yang wisuda. Barengan aja nanti balik. Lo lama atau nggak?

Senandi RasaWhere stories live. Discover now