Laki-laki Pujaan

1.5K 80 6
                                    

***
Hati Ranaya berbunga. Bibirnya mengulum senyum simpul kala membaca pesan chat dari seseorang. Seminggu lebih tidak mereka tak bertemu karena lelaki itu pergi ke luar kota. Kini ajakan bertemu dari sang lelaki pujaan membuat Ranaya bahagia.

[Ran, hari ini aku antar, ya? Kita sarapan bareng dulu sebelum ke kantor.]

Segera Ranaya membersihkan diri, lalu mencari pakaian yang bisa membuatnya tampak cantik hari ini. Jam enam pagi dia sudah rapi lalu menunggu di teras rumah. Beberapa menit kemudian lelaki bemotor matic datang.

"Sorry Ran, bikin kamu lama menunggu." Lelaki itu membuka kaca helemnya, lalu mengangsurkan helem lain pada Ranaya.

"Enggak, Kak. Kita mau sarapan di mana?" Sambil memasang helem, Ranaya bertanya.

"Kamu mau makan apa?"

Ranaya berpikir sejenak, menimbang apa yang diinginkan perutnya. "Apa aja boleh."

"Oke, aku tau tempat yang enak." Dimas menyalakan motornya lantas melaju setelah Ranaya naik duduk menyamping di belakangnya.

Bahagia. Setelah mengetahui Ranaya bercerai dari suaminya, Dimas berusaha keras agar hubungannya putus dengan Nisa, segala cara dia gunakan dari menolak setiap ajakan kencan sampai mendiamkan gadis itu berhari-hari.

Hingga Nisa tidak tahan dengan sikapnya dan mengucapkan putus lebih dulu. Dimas senang dia tidak harus disalahkan karena hubungan mereka berakhir.

"Tante, nasi kuningnya dua." Dimas memesan kemudian mereka duduk di kursi kosong sebuah warung pinggir jalan yang hanya buka di pagi hari. Ranaya melihat sekeliling, pembeli cukup ramai.

"Kakak, sering makan di sini?"

"Enggak juga cuma kalau lagi pengen aja."

Ranaya mengangguk-angguk.

"Ran, kamu sudah memikirkan tawaranku?" Dimas bertanya serius, hampir sebulan dia menyatakan perasaannya pada Ranaya, tapi perempuan itu belum memberikan jawaban.

"Em, bisa aku minta waktu lagi Kak? Perceraianku belum resmi." Ranaya memberi alasan. Padahal bukan itu masalahnya, dia merasa bimbang ada yang mengganjal di hatinya.

Ya, memang Ranaya senang saat bersama Dimas, berbicara dengan lelaki itu selalu ada topik menyenangkan, mungkin karena jarak usia hanya dua tahun jadi terasa nyambung. Tapi untuk menjalin hubungan entahlah ....

"Kenapa belum resmi?" tanya Dimas. Nasi kuning hangat di hadapannya belum tersentuh.

"Mengurus perceraian butuh biaya Kak, dan tabunganku menipis." Ranaya menjawab di sela-sela menyuap nasi ke mulutnya.

"Mantan suamimu tidak mengurusnya?"

"Dia tidak mau, karena katanya aku yang meminta cerai, jadi aku sendiri yang harus mengurusnya di pengadilan."

Ranaya menjawab sambil menunduk, melahap makanannya. Tidak menyadari Dimas sama sekali tidak makan. Setelah isi piringnya tandas barulah Ranaya mengangkat kepala.

"Kak, kenapa gak dimakan?" tanya Ranaya heran melihat Dimas yang hanya memandangnya.

Setelah mendapat teguran barulah Dimas menyantap makanannya.

Sebelum jam tujuh Ranaya sudah sampai di kantor yang masih tampak lengang, dia berjalan santai dan tidak menyadari ada seseorang yang mengikuti dengan tatapan kesal.

Ranaya masuk ke dalam lift disusul Aksan. "Pagi, Pak," sapanya sopan seraya kepala menunduk sekilas mengingat mereka di kantor.

Aksan membungkam mulut, perasaannya dongkol. Bagaimana tidak kalau lagi-lagi memergoki Ranaya bersama lelaki lain. Tadinya dia membututi dengan mobil, tapi dia kehilangan jejak karena terjebak lampu merah lagi. Dan kendaraan yang mantan istrinya tumpangi berbelok ke arah lain hingga dia kehilangan jejak.

Ranaya hanya mengernyit heran melihat tak ada respon dari Aksan. Dia keluar setelah sampai di lantai ruangannya berada.

***

"Ran, makan siang yuk!" Ajak Desi.

Ranaya mendongak melihat Desi yang berdiri di sampingnya. "Ha? Em. Aku gak nafsu makan," jawabnya. Mengambil dompet dari dalam tas, mengeluarkan uang dua puluh ribuan. "tolong beliin roti sama minuman aja." Dia mengangsurkan uang.

Desi menerima uang Ranaya. "Kamu pucat, sakit?" Dia menempelkan punggung tangan ke dahi Ranaya. Tidak panas.

"Enggak, cuma pusing sedikit." Ranaya memijat tengkuknya dari balik kerudung. Wajahnya terlihat lesu.

"Oh, istirahat deh. Aku ke kantin dulu." Desi berjalan keluar bersama temannya yang lain. Belum mencapai pintu dia berbalik. "Mau dibeliin minuman apa ini?" Dia bertanya sedikit keras sambil mengangkat uang dua puluh ribuan di tangannya.

"Apa aja." Ranaya menyahuti dengan nada suara yang sama.

Saat memasuki lift, ada Aksan di sana. Desi dan temannya menunduk sekilas dan menyapa.

"Teman kalian yang satu mana?" Aksan bertanya penasaran karena biasanya ada Ranaya bersama mereka.

"Maksud Bapak siapa?" Luna bertanya balik karena tidak mengerti.

Aksan tidak menjawab.

Desi yang mengerti karena biasanya mereka pergi bertiga dengan Ranaya, menjawab pertanyaan Aksan. "Ran, lagi pusing katanya Pak, tadi cuma minta dibelikan roti."

Pintu lift terbuka, Luna dan Desi keluar seraya menoleh heran pada Aksan karena lelaki itu tetap di tempat, tapi mereka tidak berani bertanya. Aksan menekan tombol nomor lantai ruangan Ranaya. Dia khawatir pada mantan istrinya itu.

"Ran!" Aksan memanggil seraya mendekati kubikel Ranaya.

Ranaya sedang menelungkupkan wajah di atas meja tersentak kaget karena mengenali suara lelaki yang datang. Dia bangun dari kursinya melewati Aksan, berjalan ke sana kemari mengecek semua kubikel, lalu kembali ke tempatnya. Aksan memandang heran tingkah wanita itu.

"Kakak, ngapain ke sini, sih?" sergah Ranaya seraya menghempaskan bobotnya ke kursi. "Kalau ada yang lihat bagaimana?"

Aksan menghela nafas kecewa. Dia khawatir, tapi malah dibalas seperti itu.

"Tadi teman kamu bilang, kamu sedang sakit. Kalau gak kuat, kamu bisa pulang." Aksan memberi perhatian.

Ranaya mendongak memandang Aksan yang menjulang di sampingnya. "Aku cuma pusing sedikit, gak sakit. Udah, Kakak pergi sana aku gak mau ada yang lihat nanti mereka salah paham dan bikin gosip."

Bukannya pergi Aksan malah menatap Ranaya dengan sorot mata khawatir serta penuh cinta, yang membuat perempuan itu sedikit salah tingkah.

Betapa ingin Aksan mendekap wanita yang dia cintai itu saat ini juga, mengatakan kalau dia khawatir dan meminta Ranaya agar tidak bersikap ketus padanya.

"Kak, kenapa liatin gitu sih? Aku risih tau." Ranaya mengusap-usap lengannya.

Aksan tersenyum tipis. "Tidak bisakah kamu memahami perasaanku, Ran?" Dia bertanya pelan dengan suara rendah.

Melihat ekspresi Aksan, Ranaya merasa kasihan, mencintai tanpa dicintai itu memang menyakitkan. Tapi dia bisa apa? Hatinya tidak bisa diatur.

Sebelum sempat Ranaya bersuara lagi. Aksan pergi dengan langkah tegap, membawa rasa cinta dan kecewanya.

***

Ranaya berdiri diam di lobi kantor sambil memandang ke arah Aksan yang sedang berbicara dengan Dimas, yang ingin menjemputnya. Setelah Dimas melajukan motornya, barulah Ranaya keluar menghampiri Aksan dengan perasaan kesal. Dia memiliki kecurigaan, kalau Aksan telah mengatakan sesuatu yang membuat Dimas pergi.

(Bukan) Suami ImpianWhere stories live. Discover now