Belum Move On

1.6K 84 9
                                    

***
Aksan mempercepat langkah, bukan untuk menemui Ranaya, tapi ke parkiran mengambil mobil untuk menyusul. 

Dia mengikuti kendaraan yang membawa sang mantan istri. Aksan mencengkeram stir mobil kuat-kuat. Kekesalan memenuhi dadanya. Hatinya tidak rela melihat Ranaya bersama pria lain. 

Tiba di perempatan, lelaki itu terjebak lampu merah, sementara kendaraan roda dua yang membawa Ranaya melesat jauh. Mereka berhasil melewati lampu merah. 

Aksan menyandarkan punggung, memejamkan mata dan menarik nafas kemudian menghembuskan sembari beristighfar. Seperti ada yang mencubit hatinya ketika sadar kalau Ranaya bukan lagi miliknya. Apapun yang wanita itu lakukan atau pergi bersama siapa, bukan urusannya lagi. Aksan memutar arah kendaraan pulang ke rumah. 

*** 

"Aksan, sudah siap, Nak." 

Aksan menoleh pada ibunya yang keluar dari kamar, wanita yang paling dicintai itu masih tampak cantik di matanya. 

"Sudah, Ma." Aksan memadamkan televisi kemudian berjalan keluar bersama ibunya. 

Aksan menemani ibunya yang ingin bersilaturahim ke rumah sahabat yang katanya baru pindah lagi ke kota ini beberapa bulan lalu. Kendaraan roda empat yang Aksan kemudikan menembus jalanan kota yang masih ramai pada malam hari. 

Mobil putih Aksan terparkir sempurna di halaman sebuah rumah mewah, mereka turun dan langsung disambut ramah seorang wanita paruh baya. Marnita terlihat begitu bahagia bercipika-cipiki, kemudian menyerahkan buah tangan yang ia bawa. 

Aksan dan ibunya dipersilahkan duduk, sementara wanita paruh baya berambut pendek tersebut masuk ke dapur membawa parsel buah. Tidak lama wanita itu keluar diikuti gadis manis yang membawa nampan berisi dua cangkir teh dan cemilan. 

Gadis itu meletakkan dua cangkir teh masing-masing di hadapan Aksan dan Marnita 

"Aksan, masih ingat, ini Nabila." Marnita melirik ke arah putranya. "Sudah dewasa dan cantik." 

Pujian Marnita membuat pipi putih Nabila merona. Sedangkan Aksan hanya tersenyum menanggapi perkataan ibunya, kini dia mengerti kenapa diajak bersilaturahim. 

"Silahkan diminum Tante, Kak." Gadis berkerudung coklat itu tersenyum kemudian duduk di samping ibunya. 

Setelahnya, Aksan dan Nabila ditinggalkan berduaan di ruang tamu, sementara Marnita bersama sahabatnya—ibu Nabila—berpindah ke ruangan lain. 

Aksan mengangkat cangkir teh, menyesap isinya yang tak lagi terlalu panas, sembari memandang Nabila yang terus saja menunduk malu. 

Pantat cangkir yang beradu dengan tatakannya ketika diletakkan kembali menguarkan dentingan nyaring, karena tidak ada suara di antara mereka. 

"Kerja di mana?" Aksan bertanya tanpa minat, hanya sekedar menghormati, karena dia tahu Nabila tidak akan bersuara lebih dulu. 

Nabila mengangkat wajah. "Di rumah sakit, Kak. Sebagai perawat." 

"Sudah lama?" 

"Kalau di rumah sakit yang sekarang baru dua bulan." 

Selanjutnya obrolan mereka berlanjut tentang hal-hal ringan. Aksan lebih banyak bertanya tanpa meninggalkan jejak ketertarikan pada Nabila. Agar gadis itu tidak berharap lebih padanya. Saat merasa tak ada topik lagi yang bisa ditanyakan, Aksan meminta tolong pada Nabila untuk memanggil ibunya. 

"Bagaimana dengan Nabila?" Marnita bertanya setelah mobil melaju di jalan pulang. 

Tidak ada jawaban dari Aksan, pikiran lelaki itu malah dipenuhi Ranaya. Apa mantan istrinya itu sudah pulang atau masih berkencan dengan lelaki lain. 

"Aksan?" Suara Marnita sedikit meninggi. 

"Hem, iya, Ma." Aksan berpaling sekilas. 

"Mama tanya, bagaimana dengan Nabila?" 

"Ma, aku mengerti maksud Mama, tapi aku baru saja bercerai. Rasanya tidak pantas kalau langsung mencari pengganti." 

Aksan beralasan karena hatinya tidak bisa menerima nama wanita lain. Dia masih mencinta Ranaya.

"Apanya yang tidak pantas, Aksan. Kamu laki-laki, sehari cerai dan langsung menikah juga tidak apa-apa." 

"Maaf, Ma. Aku--" 

"Mama mau kamu urus perceraian di pengadilan secepatnya, setelah itu kita lamar Nabila jadi istri kamu." Tekan Marnita tidak mau dibantah. 

Aksan tidak mengeluarkan suara lagi, tapi dia juga tidak menyetujui. Dia tetap fokus menyetir sampai di rumah. 

*** 

Senyum bahagia terus saja terukir di bibir Ranaya, karena seseorang yang sedang berbalas chat dengannya mengirimkan candaan. 

Sampai tidak menyadari kalau lift yang dia masuki ada Aksan di dalamnya. Lelaki itu melipat tangan di atas dada yang bergemuruh. Kesal melihat Ranaya tersenyum lebar memandangi layar ponsel. 

'Pasti sedang ber-chat ria dengan lelaki itu.' Aksan membatin, teringat lelaki yang beberapa kali dilihatnya menjemput Ranaya. 

"Senang sekali, sudah ada yang baru?" Aksan bersuara dengan nada kesal. 

Ranaya menoleh kemudian mencebik. "Memangnya tidak boleh." Dia menekan tombol off agar layar menggelap, lalu menaruh ponsel di tas kecilnya. 

"Boleh saja, tapi kalau masih jam kantor dilarang pacaran." 

Lagi, Ranaya mencebik kesal kemudian berucap ketus. "Siapa yang pacaran? Gak ada, tuh." 

Ranaya tidak tahu hubungan apa yang sedang dijalaninya dengan Dimas. Lelaki itu mengaku sudah putus dari Nisa, dan menyatakan perasaan padanya, tapi entah kenapa dia tidak langsung menerimanya. Padahal dulu jelas meminta cerai karena merasa mencintai Dimas. 

Namun, sekarang Ranaya merasa bimbang dengan perasaannya sendiri. Jadi status mereka hanya teman yang sangat dekat, karena Dimas selalu memberikan perhatian. 

Aksan tersenyum senang. Dalam hati bahagia mengetahui Ranaya belum ada yang memiliki. 

Senyuman itu tertangkap ekor mata Ranaya. Wanita itu menoleh cepat. "Senang, ya, liat orang jomlo, mentang-mentang sudah punya calon," sergahnya kesal. 

Lift sudah sampai di lantai tujuan dan pintu terbuka, tapi mantan pasangan itu malah lanjut berdebat hingga pintu tertutup kembali. 

Aksan mengerutkan dahi, memandangi Ranaya. "Tahu dari mana?" 

"Ada, deh." Ranaya menjawab asal, padahal dia mengetahui hal itu dari ibunya. 

Waktu itu Diana pernah menanyakan tentang perceraian pada Ranaya. Apa sudah diresmikan di pengadilan atau belum. Karena Diana mendengar kalau Aksan akan segera menikah lagi. 

"Memang Kakak, sudah urus perceraian kita di pengadilan agama?" 

"Kenapa aku yang harus mengurus? Kan kamu yang minta cerai, jadi urus sendiri," ucap Aksan acuh. 

"Aku gak punya uang, urus akta cerai ada biayanya." Ranaya memalingkan muka, malu. 

Kebahagiaan Aksan berkuadrat. Ranaya tidak bisa mengurus akta cerai, berarti jandanya itu tidak akan bisa menikah lagi setidaknya secara resmi. Dia masih menaruh sedikit harapan mantan istrinya mau rujuk. 

"Ran, aku tidak akan menikah kalau kamu tidak menikah lebih dulu." Aksan berucap seriu sambil menatap mata Ranaya. 

Perempuan itu membalas tatapan mantan suaminya dan entah kenapa dia jadi terdiam, seperti ada sesuatu yang lembut menyentuh perasaannya. Apa mungkin karena penegasan Aksan yang tidak akan move on kalau dia tidak dimiliki lelaki lain lebih dulu. 

Ranaya keluar setelah pintu lift kembali terbuka. Ada beberapa orang yang menunggu di depan pintu lift. Tujuan perempuan itu makan siang terpaksa batal. Mendadak seperti ada yang bergejolak dalam perutnya dan menimbulkan perasaan mual, saat aroma makanan menembus indra penciuman dan pening di kepalanya tiba-tiba datang. Padahal dia baru saja selangkah masuk melewati pintu kantin. 

Ranaya membelokkan langkah buru-buru ke toilet, memuntahkan isi lambungnya. Dia berasumsi tanpa dasar, pening di kepalanya gara-gara Aksan yang membuatnya kesal tadi.

(Bukan) Suami ImpianWhere stories live. Discover now