Hati yang Berkabung

1.8K 89 0
                                    

***
Ranaya menatap bergantian dua orang di sampingnya. Matanya melebar, tidak bisa menyembunyikan keterkejutan.

"Kalian?!"

"Eh, Ran, aku belum bilang sama kamu, ya, aku sama Kak Dimas udah jadian."

Nisa mengangkat tangan yang bertautan dengan tangan Dimas dan menyandarkan kepala di bahu lelaki itu dengan manja. Senyum bahagia Nisa bagai pisau belati yang menghujam tepat ke hati Ranaya.

Kebahagiaan yang tadi Ranaya rasakan, menguap. Matanya pun memanas, sekuat hati dia menahan buliran bening yang ingin terjun bebas.

"Hai, Ran, lama gak ketemu."

Dimas menyapa seraya tersenyum kikuk mengingat janji yang dulu pernah terucap. Jika boleh jujur, dia merasa tidak nyaman dengan sikap manja Nisa.

Namun, apa boleh buat, harus bertahan karena gadis yang baru sebulan menjadi kekasihnya itu punya bertempramen buruk, sedikit saja tidak dituruti akan marah-marah tidak jelas.

Tentu saja Dimas tidak mencintai gadis itu, keputusan menyetujui ajakan Nisa untuk berpacaran karena hatinya masih kalut dan galau sebab ditinggal menikah oleh Ranaya.

Acara merayakan kebebasan berubah menjadi acara berkabung patah hati, sepanjang kebersamaan dengan teman-temannya, Ranaya lebih banyak diam.

Tidak tahan dengan perasaan sesak di dalam dada, Ranaya memberi beberapa lembar uang seratus ribuan pada Lisa untuk membeli tiket nonton bersama teman-temannya, lalu memberi alasan ada urusan mendadak agar bisa pulang.

Ranaya memasuki kamar apartemennya yang sepi, menghempaskan tubuh ke atas kasur dan membenamkan wajahnya ke bantal. Meluapkan perasaan sedih dan sakit hati, dia terisak sendirian.

Tempat tidur sudak tidak berbentuk, tissu bekas berhamburan di lantai, matanya bengkak karena terlalu lama menangis. Bersedih bukan karena menyesali keputusan bercerai, tapi karena patah hati. Harapannya bersama Dimas, kandas.

Setelah perasaan Ranaya sedikit lega, dia membasuh wajah di kamar mandi, mengeringkan dengan handuk kecil kemudian keluar sambil mendesah. Perasaanya sudah sedikit lega.

Ranaya mengeluarkan semua pakaiannya dari dalam lemari, menyusunnya ke dalam koper dengan rapi agar semua bisa masuk. Setelah selesai, sejenak dia mengamati lemari melihat masih adakah yang tertinggal. Memang masih banyak gamis yang tergantung, tapi pakaian itu tidak akan dibawa olehnya.

Setelan gamis-gamis bermerek itu, Aksan yang membelikan untuk Ranaya. Lelaki itu berharap istrinya mau sedikit mengubah penampilan sebab masih suka mengenakan pakaian ketat yang membentuk tubuh indahnya.

Merasa tidak bisa tinggal sendirian di apartemen, Ranaya memilih pulang ke rumah orang tuanya. Dia melangkah sambil menarik koper keluar dari ruangan dua kali tiga meter itu, lalu mengambil tas kecil yang berisi dompet dan ponsel di atas kasur.

Sadar belum memakai kerudung, Ranaya celingak-celinguk mencari kain penutup kepalanya, dan menemukannya di lantai. Benda itu tergeletak di sana karena tadi melemparkannya sembarangan. Dia memungut lalu memakainya di depan cermin di ruang ganti, kain kerudung yang menggantung di bagian depan Ranaya disampirkan di bahu kanan dan kiri.

Merasa siap, Ranaya keluar dari apartemen yang baru tiga bulan dia tempati. Dia memesan taksi online saat berada di dalam lift. Ada sedikit perasaan gugup dan takut, mengingat bahwa ibunya belum mengetahui perihal perceraiannya dengan Aksan.

Ranaya memandang keluar jendela mobil yang melaju menuju rumahnya, butuh waktu sekitar dua puluh menit perjalanan dari jalan topaz raya, ke Kelurahan Banta-bantaeng.

Telapak tangan Ranaya tempelkan pada kaca jendela bagian dalam, terasa dingin seperti hatinya. Netranya mengamati buliran-buliran air hujan yang menempel di kaca jendela bagian luar. Buliran air itu luruh menjadi bentuk yang unik.

Mendesah sedikit resah, Ranaya bingung harus menjelaskan apa pada ibunya nanti. Dia turun dari kendaraan yang membawanya, lalu membayar tagihan melalui aplikasi.

Kakinya baru saja ingin melangkah masuk saat merasakan ada yang sedang memperhatikannya. Dia menoleh ke arah kanan, netra wanita dengan tinggi badan seratus lima puluh delapan centi meter itu melebar, sedikit terkejut.

Aksan berdiri di samping mobil dengan jarak sekitar lima meter dari tempatnya, menatap datar sang mantan istri.

Ranaya melangkah masuk ke rumah, setelah Aksan lebih dulu menghilang di balik pintu rumah orang tuanya. Ada perasaan tidak nyaman di dalam hati saat melihat lelaki itu bersikap cuek.

Nasib menikah dengan tetangga sebelah rumah, masih harus sering bertemu setelah bercerai, tapi tak saling menyapa.

Ranaya merebahkan diri di atas kasur empuk, merasa lelah padahal hanya menempuh jarak sekitar lima koma lima kilo meter, mungkin bukan tubuhnya yang lelah melainkan hati.

***

Aksan keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut yang basah, dia duduk di tepi tempat tidur dan gerakan tangannya terhenti kala mengingat Ranaya. Dia merasa heran kenapa wanita berkulit putih itu, pulang ke rumah orang tuanya padahal apartemen sudah dia berikan.

Tubuh atletis Aksan hempaskan ke belakang lalu mendesah, merasakan denyut kecewa karena perceraian. Netranya menatap langit-langit kamar seperti ada bayang wajah Ranaya di sana.

Satu tangan terangkat seakan ingin menggapai bayangan itu, kemudian ditarik kembali dan menggunakannya sebagai bantal.

Kekecewan dan luka di hati Aksan tentu saja belum sembuh, tapi entah kenapa tadi hampir saja dia berlari merengkuh Ranaya. Lalu ingin memintanya kembali.

Aksan bersedia melakukan apapun agar wanita itu tetap di sisinya. Tapi, apa gunanya mereka bersama, kalau hati Ranaya milik lelaki lain. Mengingat kejadian tadi, Aksan merasa aneh dan kalau tidak salah melihat, mata mantan istrinya itu bengkak seperti habis menangis.

"Ran, apa kamu juga terluka atas perpisahan kita? Kalau memang iya, lalu kenapa kamu meminta itu?" Aksan bermonolog.

'Tidak Aksan, mana mungkin Ranaya terluka karena perpisahan, dia sendiri yang memintanya' batinnya berbicara.

Aksan bangun dari tempat tidur mengambil pakaian bersih dari dalam lemari lalu memakainya, karena sebentar lagi adzan magrib berkumandang, dia harus bergegas ke masjid.

Sepulang dari shalat magrib, Aksan langsung menuju ruang makan yang menyatu dengan dapur. Ada ibunya di sana yang sedang menyiapkan makan malam, bersama satu orang asisten rumah tangga.

"Ma," sapanya, menunduk mencium punggung tangan ibunya. Dia baru bertemu Marnita karena tadi sore wanita yang paling Aksan sayangi itu pergi ke acara pengajian pekanan ibu-ibu majelis ta'lim.

Semalam saat Aksan pergi dari apartemen,  tidak langsung pulang kerumah orang tuanya, tapi menginap di hotel dan barulah tadi sore setelah sepulang kantor, dia ke rumah ibunya.

"Aksan, Ran mana?" Marnita bertanya seraya duduk di kursi meja makan.

"Di sebelah, Ma," jawab Aksan pelan. Menyendok nasi ke piringnya. Dia tidak langsung memberi tahu Marnita soal pernikahannya yang sudah kandas.

Marnita beranjak keluar dari dapur.

"Ma, mau ke mana?" tanya Aksan pada ibunya yang hampir mencapai ambang pintu dapur.

"Ke sebelah panggil Ran makan malam di sini, minggu lalu kan, kalian makan malam di sana, sekarang seharusnya di sini."

Setiap seminggu sekali, Aksan dan Ranaya memang selalu pulang berkunjung, sekedar makan malam lalu kembali ke apartemen. Minggu lalu mereka makan malam di rumah Diana, ibunya Ranaya. Jadi jadwal minggu ini seharusnya di rumah Marnita.

"Dia tidak akan mau, Ma," ucap Aksan pelan.

"Kenapa, Nak?" Marnita bertanya heran.

"Karena ...." rencananya Aksan mau menceritakan tentang masalah perceraian setelah makan malam, tapi sepertinya harus sekarang. Aksan menarik nafas lalu menghembuskannya pelan. "Kami sudah bercerai, Ran yang meminta."

Mendengarnya, Marnita merasa mendadak pusing, pijakan seakan berputar, belakang lehernya terasa tegang. Dia memegang tengkuk, sementara satu tangan lain mencari pegangan karena merasa akan limbung.

"Ma!" Aksan memekik, menghampiri ibunya dengan jantung berdebar. Dia khawatir tekanan darah ibunya 

(Bukan) Suami ImpianWhere stories live. Discover now