🕙Chapter 68 : Cahaya🕙

869 69 13
                                    

Kalo niat nanggepin, pas dikejar itu noleh terus berhenti. Bukan noleh doang, kaki tetep jalan. Parah lagi, berhenti enggak malah nepi. Aku kan nggak kasi klakson.

👻 👻 👻

Aku telah berjalan di terowongan yang gelap gulita ini sedari aku kecil. Aku selalu bertanya tanya, kenapa aku tak pernah mendapatkan cahaya yang terang benderang. Jika diibaratkan lampu, aku hanya memiliki lampu bohlam yang terkadang masih mati meninggalkanku bersama kegelapan.

Tapi kini, aku melihat cahaya dengan warna yang berbeda. Aku pun berlari mengejarnya. Aku sangat berharap cahaya itu mau menemaniku kali ini.

Tolong... Kali ini jangan menjauh lagi. Biarkan aku menggapaimu.

PLAKK

Mata Jeon hanya terpejam sebagai respon saat pipinya merasakan pegal dan panas setelah ditampar barusan.
Napas Nara memburu sampai membuat bahunya naik turun.

Kini nampak dengan jelas di pipi putih Jeon menjadi berbekas kemerahan setelah tertampar.

Jeon menoleh perlahan dan berkata, "Tampar lagi, Ra. Kalau ini buat lo lega. Tampar lagi." sodor Jeon.

Dengan cepat Nara mengangkat kembali tangan kanannya bersiap untuk menampar Jeon kembali. Namun pada akhirnya
ia tak mendaratkan tangannya itu ke pipi Jeon.
Masih dengan tangan kanan yang terangkat bersiap untuk menampar, pada akhirnya Nara kembali mengepalkan tangannya kuat kuat sembari memejamkan matanya. Ia menurunkan kembali tangannya, kemudian berjalan menuju tempat duduk yang tersedia bandara dan duduk di sana sembari menyembunyikan wajahnya di kedua lipatan lengannya.

Jeon menghampiri Nara kemudian kembali melipat lututnya dengan satu lutut menempel di lantai. Ia menatap Nara yang tengah menenggelamkan wajahnya dengan bahu yang bergetar itu. Jeon mengangkat tangannya kemudian mengelus kepala dan rambut Nara lembut.

"Please, don't cry..." pintanya sesak. "Jujur di balik itu semua, gue nggak pernah minta lo pergi dan ngelepasin gue. Gue sendiri sesak pas nulis itu semua." kata Jeon sembari masih mengelus kepala Nara.

"Maaf, maaf, maaf, maaf, MAAFIN GUE, RA!!" pinta Jeon dengan sangat sembari menurunkan tangannya dari kepala Nara.

"Dammit!"

"Maaf..." pinta Jeon sembari meraih tangan Nara.

Karena Jeon menggenggam tangan Nara membuat dirinya terpaksa membuka lipatan tangannya dan mengubah posisi duduknya. Nara sendiri masih menunduk tanpa ingin memandang pria yang tengah berada di depannya.

Tangan Jeon beralih merapikan rambut Nara yang saling menjuntai berantakan. Baru setelahnya ia kembali menggenggam kedua tangan Nara.

Sampai berlalu kurang lebih satu menit, Jeon masih belum mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Ia masih setia menggenggam sekaligus mengelus tangan Nara dengan ibu jarinya. Sedangkan Nara sendiri masih menahan isakannya agar tak keluar. Dan itu membuat tenggorokannya semakin tercekat.

"Gue nggak bakal ngomong kayak gitu lagi." ucap Jeon pada akhirnya. "Gue sadar, langkah yang gue ambil itu salah. Gue bahkan belum merjuangin elo, tapi gue udah nyerah duluan."

Nara masih senantiasa menunduk saat Jeon mulai berbicara.

"Lo bener, Ra. Gue nggak bisa ngehargain usaha orang. Gue juga brengsek. Gue harusnya bersyukur dan balik merjuangin lo, karena cuma lo cewek yang bisa ngertiin gue dan mencintai gue apa adanya. Dan kalo dipikir pikir, cewek pertama yang natap gue dengan tatapan jijik, sebel, benci, dan bahkan langsung ilfil ke gue tuh cuma lo doang deh." kata Jeon yang diakhiri dengan senyuman geli sembari mengingat raut wajah Nara saat berhadapan dengannya dulu.

LATENT ✔Where stories live. Discover now