Bab 2 - Larasati

21 5 0
                                    


"Aku telah lama tahu tentangmu," ujarku kepada Aldy saat masih di resepsi pernikahan Sinta kemarin. "Sinta sering bercerita tentang kehebatan-kehebatan pacarnya, dengan sedikit pamer tentu saja."

Aku tertawa kecil mengingat bagaimana semangatnya Sinta ketika menceritakan tentang Aldy dulu. Sinta begitu bangga dan bahagia, apalagi saat itu dia adalah satu-satunya orang dalam persahabatan kami yang sudah punya pacar. Sementara aku, tidak pernah diizinkan untuk pacaran oleh orangtuaku.

Kedua orangtuaku adalah seorang muslim yang selalu berusaha untuk taat. Pacaran jelas dilarang dan sejak kecil aku selalu diajarkan untuk mengenakan hijab. Meski begitu, aku bergaul dengan teman-teman sebaya yang tak selamanya taat agama. Seperti Sinta contohnya. Dan pergaulan dalam sekolah formal kami itulah yang membuatku sedikit bisa mengerti sudut pandang mereka.

Sementara Aldy yang kutahu berdasarkan cerita Sinta adalah seorang yang shaleh. Dia aktif di ROHIS SMA, menjabat sebagai Ketua OSIS, dan berprestasi di setiap jenjang kelas. Sebagian besar diantara kami memang sudah kenal Aldy dari awal, karena popularitasnya. Tapi sebagai pacarnya Aldy, Sinta lebih banyak tahu tentangnya.

Bagaimana Aldy dan Sinta bisa pacaran? Aku sering bertanya-tanya sendiri. Aldy memang tampan, cerdas, dan shaleh. Disamping itu dia juga pemberani, percaya diri, dan memiliki karakter pemimpin yang kuat. Wibawa bisa terasa ketika kita berdialog dengannya langsung. Ia juga pandai berbicara. Sinta sendiri mengaku bahwa Aldy sangat pintar mengajar.

Aku sendiri sudah kenal Aldy sejak kelas satu SMA. Aku mengenalnya ketika kami pernah dikumpulkan oleh para pengurus OSIS saat itu, agar kami mau menjadi calon pengurus OSIS selanjutnya. Semua itu karena selama SMP kami pernah menjadi pengurus OSIS. Saat itu kulihat Aldy memperkenalkan dirinya dengan penuh percaya diri dan wibawa, membuat beberapa orang di antara kami terpesona. Mungkin aku juga. Tapi karena dilarang oleh orangtuaku, aku memilih untuk tidak melanjutkan pencalonan itu. Sejak itu aku hanya melihat Aldy dari jauh, sementara dia tidak mengetahuiku sedikitpun.

Ketika kami kelas dua, aku terkejut ketika Sinta dengan gembira mengaku bahwa sekarang ia dan Aldy resmi berpacaran. Aku terkejut dan ikut senang. Dan hari-hari bahagia mereka berlangsung seterusnya, hingga kelas tiga, hingga lulus SMA. Lalu kami semua berpisah, menempuh pendidikannya masing-masing.

Kami kuliah di universitas yang berbeda-beda. Aku tak pernah lagi melihat Aldy setelah itu. Tapi aku masih sering kumpul bersama Sinta dan saling bercerita. Hingga suatu hari, Sinta bercerita kalau dia sudah tidak lagi bersama Aldy. Tapi Sinta tidak pernah menceritakan kenapa semua itu bisa berakhir. Sampai sekarang akupun tidak pernah tahu.

Lalu tamat kuliah, Sinta pun menikah. Dan dalam pernikahan itulah kami semua bertemu kembali.

Aku jelas terkejut ketika melihat Aldy di toilet perempuan sebuah masjid. Dia jelas salah masuk. Tapi yang membuatku lebih terkejut adalah karena kehadirannya sendiri dalam pernikahan itu. Sepertinya dia memang sangat gentle.

Sejak pertemuan yang tak disengaja itu, aku terus memperhatikan gerak-geriknya yang sangat canggung dan gugup. Aku semakin terkejut ketika tahu bahwa dia datang kepernikahan ini seorang diri. Melihat bagaimana dia di meja tamu, bagaimana dia berjalan ke pelaminan, hingga ketika dia sambil tersandung berjalan pulang. Aku rasa aku harus menyapanya. Dan percakapan itupun terjadi.

Aku tak tahu apa yang ada dipikiran Sinta, hingga dia bisa putus dengan Aldy. Padahal menurutku Aldy punya segalanya. Dari percakapan di pernikahan itu aku tahu, bahwa Aldy sekarang sedang merintis karir dan bisnis yang mulai sukses. Dia adalah seorang CEO untuk startup yang ia dirikan sendiri. Sebuah startup yang menyediakan jasa komunikasi antara penjual dan pembeli. Semacam marketplace tapi dalam lingkup kecil, seperti perumahan atau kelurahan. Berkat startup nya, beberapa pembeli tak perlu lagi menunggu barang terlalu lama karena pembelian online yang terlalu jauh. Membuat sebuah perumahan misalnya, menjadi mandiri. Para penduduknya tak perlu beli barang ke pasar atau ke marketplace. Dengan aplikasinya setiap rumah bisa berdagang dan setiap pedagang bisa mengantar barang tanpa hambatan. Setiap pembeli hanya tinggal menunggu di rumah, untuk apapun yang mereka beli. Mulai dari makanan, pakaian, bahkan bahan bangunan.

Gerimis Yang UnguWhere stories live. Discover now