🦋 14 🦋

29 19 1
                                    

Matahari menyisingsing di ufuk timur

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Matahari menyisingsing di ufuk timur. Ayam baru saja berkokok, namun, orang-orang sudah ribut melihat danau yang tertutup kabut tebal. Keadaan semakin kacau setelah polisi datang ke tempat tersebut.

“Ini kutukan. Ini kutukan.” Wisnu—Mantan Pekerja di kebun Kakek Agus—  berteriak dengan kencang, orang-orang yang mendengarnya menggigit jari cemas.

Tidak ada yang ingin menghentikan teriakan Wisnu yang berpatroli sambil berteriak-teriak.

“Kutukan sudah terjadi, kita semua pasti akan mati. Ini kutukan, kutukan dari danau itu.”

Seorang polisi muda menatap Wisnu dengan dengan tajam. “Mohon maaf, Anda jangan menyebarkan isu konyol seperti itu.” ujarnya dengan nada datar.

“Eh, eh, Pak Polisi jangan menatapku seperti itu. Kau mau terkena kutukan danau ini? Cepat pergi-pergi, jauhi danau ini.”

Wisnu menatap danau yang mengeluarkan kabut tebal. Raut mukanya penuh dengan ketakutan, dia mendekatkan tangannya hendak menyentuh kabut tersebut. Lantas dengan cepat menariknya kembali.

“Tidak pernah sekalipun danau ini mengeluarkan kabut setebal ini, apalagi namanya kalau bukan kutukan.” dia berbicara sendiri.

“HEI, SEMUANYA PERGI JAUHI DANAU INI. KUTUKAN SUDAH MENDATANGI DESA KITA.” teriakan itu membuat orang-orang berlarian tak tentu arah. Debu tanah yang berterbangan membuat satu dua orang terbatuk-batuk. Susana di tepi Danau itu kian memburuk, orang-orang tidak segan mendorong orang yang menghalangi jalan mereka.

“Ayo kita harus pergi. Tunggu, Tedi mana? Anakku kemana perginya? Anakku kemana?” Di tengah kegentingan akibat isu kutukan tersebut, ibu-ibu yang mengenakan daster kelimpungan saat anaknya tidak berada di sampingnya.

“LIHAT, ANAK IBU INI SEPERTINYA DIMAKAN KABUT ITU!  PERGI, SEBELUM KABUT ITU MEMAKAN KALIAN.”

Polisi muda menatap tajam Wisnu untuk kedua kalinya. Geram melihat aksi provokasi yang dilakukannya. “Dengan tidak mengurangi rasa hormat, harap jangan menyebarkan isu buruk tersebut atau Anda akan terkena hukuman pidana.”

Suara sirine polisi membuat orang-orang berhenti berlarian. Polisi berusia 28 tahun itu gagah berdiri di atas knop mobil.

“Semuanya harap tenang, jangan gaduh dan tetap berpikir rasional. Tidak ada yang namanya kutukan, penomena danau berkabut bukanlah hal aneh.” Polisi muda tersebut menghela nafas, orang-orang desa ini sangat mudah terpengaruh oleh omong kosong.

“Jangan termakan dengan isu tersebut. Kabut ini bisa dijelaskan dengan menggunakan ilmu pengetahuan. Kalian ini, bersikap seolah-olah masih hidup di zaman Batu.” Polisi tersebut berkata dengan sarkas.

“Hei, Polisi sok ganteng. Kau ini tidak tahu apa?! Ini kali pertama danau itu mengeluarkan kabut. Itu jelas-jelas adalah sebuah kutukan!”

Kakek Agus geram melihat tingkah Wisnu.

“Hei, Wisnu. Kau ini yang tidak masuk akal, kau membuatku malu karena harus mengakui kau itu mantan pekerjaku.” Wisnu takut-takut menatap Kakek Agus.

Kakek Agus berjalan mendekati polisi muda tersebut, merebut pengeras suara dari tangannya. “Dengarkan aku baik-baik. Kabut dari danau itu tidak akan mengutuk siapapun. Kalau mengutuk, yang akan dikutuk kabut itu adalah Si Bodoh Wisnu. Tidak kalian! Jadi tenanglah, jangan dengarkan ocehan dari mulutnya.”

“Kabut itu jelas-jelas akibat dari pemanasan air danau. Cuaca panas mengakibatkan air tersebut menguap. Seperti ketika kalian merebus air dan membuka penutup pancinya, seperti itu pula danau ini menguap. Bedanya danau ini tidak ditutup seperti merebus air. Sebelum kalian termakan isu bodoh itu, pastikan kalian berpikir lebih dulu.” Kakek Agus menjelaskan panjang lebar.

Orang-orang desa menganggukkan kepala, lantas menatap satu sama lain dengan geli. Tawa mereka pecah ketika sadar akan kebodohan mereka sendiri. Sedangkan Wisnu masih mencerna ucapan Kakek Agus.

“Tapi, anakku Tedi? Kemana dia menghilang?” Ibu-ibu berdaster tersebut cemas. Tawa dari warga mereda.

“Tuh. Tuh kan, Jangan-jangan ana_”

“Diam kau Wisnu!” Kakek Agus menyentaknya sebelum berkata lagi.

“Mama aku di sini!”

Ibu-ibu berdaster menatap sekeliling, “Tedi, kau dimana?!” teriaknya.

“Mama aku di sini!”

Orang-orang mulai menatap sekeliling, tidak ada anak kecil di sekitar mereka. “Alamak, apa Tedi benar-benar dimakan Kabut itu?” ujar Ibu-ibu tersebut.

Polisi muda tersebut mengambil pengeras suara dari tangan Kakek Agus dan mengucapkan terimakasih telah menghentikan aksi provokasi tersebut.

“Itu sudah menjadi kewajibanku. Selama aku masih hidup, aku akan menjadi tentara. Tidak peduli aku sudah pensiun ataupun belum, jiwaku akan tetap jiwa tentara. Aku akan menjadi orang pertama yang menegakkan keadilan.” ucap Kakek Agus bangga.

“Bagaimana nasib Anaknya Yuli? Kenapa Kakek malah mengobrol dengan Polisi so ganteng itu!” Wisnu berdiri di hadapan Polisi Muda tersebut.

“Mama aku di sini!”

“Tedi, kau dimana?! Keluar kau anak nakal!” Orang-orang mulai mencari ke sekitar danau. Penjelasan singkat Kakek Agus menghapus isu yang ditebarkan Wisnu

“Mama aku di sini!”

Decakan keluar dari mulut warga, mereka mulai kesal dengan anak nakal itu.

“Mama aku di sini!”

“Mama!!!! Aku di sini!!!”

Ibu-ibu berdaster memeluk suaminya, “bagaimana jika Tedi menghilang?” bada Yuli bergetar kencang. Tak kuasa jika harus kehilangan anak satu-satunya.

“MAMA AKU DI SINI!!” Suara Tedi semakin mengeras disertai gedoran kaca mobil.

Kakek Agus, Wisnu dan Polisi Muda serentak menempelkan wajah mereka ke kaca mobil. Terlihat, bocah laki-laki yang memiliki tompel di bagian pipinya sedang nyengir.

Kakek Agus mendengus dan memukul pelan kaca tersebut, “astaga! Kenapa anak nakal itu ada di dalam mobil?!”

***

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Morphos Wounds [Tidak Dilanjutkan]Where stories live. Discover now