🦋 10 🦋

35 24 0
                                    

Amanda berkali-kali menghela nafas, ia tidak mengira jarak sumur dari tepi danau lumayan jauh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Amanda berkali-kali menghela nafas, ia tidak mengira jarak sumur dari tepi danau lumayan jauh. Di sana terlihat jelas orang-orang mengantri. Ada yang menunggu giliran sambil mengobrol, melamun dan selebihnya sibuk dengan handphone masing-masing. Kekeringan tidak akan membuat handphone mereka ikut mengering, yang ada mereka kebanjiran berita terbaru kekeringan di wilayah-wilayah lain.

Amanda meletakkan jerikennya di antrian terakhir. “Huh ... antriannya panjang banget.” keluh Amanda.

“Iya, Kak. Semoga aja air dalam sumur itu gak bakalan ikut kering.” Gadis remaja berkulit coklat eksotis merespon keluhan Amanda.

“Kakak penulis Novel Kaca, 'kan? Saya Rika, kemarin juga saya ikutan seminar bedah buku. Saya juga dapet doorprize spesial yaitu, novel kakak.”

Amanda tersenyum, ‘oh, salah satu penggemarnya ternyata.’ Amanda terkekeh geli dalam hati, lihat bukan hanya Rena yang memiki fans.

Keren juga ya jadi penulis, bisa punya fans cuma gara-gara nulis doang.

Eh enggak-enggak. Jadi penulis itu bukan sebatas menulis saja, kalau cuma menulis doang anak kelas satu SD pun bisa menulis. Tulis huruf A B C, angka 1, 9, 203.’

“Baguslah, kalau kamu suka.” Amanda merespon sekenannya, ia tida bisa jingkrak-jingkrak seperti Rena hanya karena bertemu fans.

“Iya, Kakak hebat bikin alur novelnya. Novel Kaca itu kayak jadi pengingat buat pemerintah supaya lebih memperhatikan desa-desa kecil.”

Amanda terkekeh, “biasa aja. Sebenarnya juga itu bukan ide saya secara keseluruhan. Itu ide editor saya, kemudian saya kembangkan dengan mengambil isu kekhawatiran rakyat desa.”

“Tapi, sepertinya pemerintah lupa dengan desa ini. Kenapa pemerintah belum menyediakan air bersih untuk kita?” Gadis tersebut tersenyum kecut. Amanda yakin, dia gadis yang gampang terbawa arus.

“Pemerintah mungkin sedang repot, jadi kita hanya harus menunggu. Barangkali bantuan air bersih itu akan dikirim besok pagi atau lusa.” Hibur Amanda agar gadis tersebut tidak memikirkan hal-hal aneh mengenai pemerintah. Bukan Amanda tidak merasa aneh atau jengkel, tapi sepeti yang dia ucapkan ‘pemerintah mungkin sedang repot.’ jadi biarkan mereka mengurus satu persatu urusan mereka.

“Seperti ini, Rika. Bukan hanya desa kita yang mengalami kekeringan. Ada banyak sekali desa yang mengalami kekeringan serupa, kita tidak boleh menganggap pekerjaan pemerintah itu gampang. Kita harus yakin bahwa pemerintah pasti akan memberikan kita bantuan air bersih. Kita juga harus terus berdoa, semoga kekeringan ini segera berakhir.”

Rika mengangguk, “yang bisa kitaandakan sekarang hanya sumur harapan itu ya, Kak.” ucapnya menatap sumur yang dikelilingi orang-orang.

“Ya, hanya sumur harapan itu.”

Beberapa orang sudah mulai keluar dari barisan. Bosan menunggu antrian yang tak kunjung bergerak, mereka memilih mengorbankan sedikit uang untuk membeli air daripada mengorbankan waktu. Amanda meringis, bisa-bisa ia pulang setelah matahari hampir terbit lagi.

“Banyak orang yang milih pulang, Kak.” Rika tiba-tiba berkata.

Amanda mengangguk, eh eh bukan kah kalau mereka pulang antrian akan semakin pendek? Amanda menganggukkan kepalanya lagi. Lantas tersenyum, ternyata ketidaksabaran seseorang tidak selalau berakhir negatif bagi orang lain.

“Cepat maju Rika!”

Rika melangkahkan kakinya lantas terkekeh kecil menenteng jerigennya. Hening sesaat, Amanda menikmati suasana ini. Sungguh, hawa di dekat sumur ini tidak panas. Amanda betah berlama-lama di sini. Menikmati angin yang berembus dari sela-sela batang pohon, menatap antrian panjang orang-orang dan sumur yang masih dipenuhi lumut.

***

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Morphos Wounds [Tidak Dilanjutkan]Where stories live. Discover now