Bab 1 - Aldy

59 7 4
                                    

Kubuka mataku yang terasa panas dan berat. Hampir semalaman ini aku tidak bisa tidur. Aku hanya memejamkan mata sementara pikiranku tak berhenti berkhayal, mencari obat untuk hatiku yang hancur dan tersakiti ini. Sekarang pagi telah datang. Terdengar suara adzan shubuh dari masjid tak jauh dari rumahku ini.

Manusia memang memiliki refleks untuk bertahan hidup, membela diri, dan mengobati diri sendiri. Jika tubuh kita ini punya antibody, mungkinkah pikiran kita juga sama? Apakah khayalan-khayalanku ini, adalah refleks pengobatan untuk menyembuhkan sakit hati ini? Jika memang iya, seperti inikah juga rasanya saat-saat menjelang gila?

Syukurnya adzan shubuh masih terdengar, aku masih waras, dan masih memiliki segumpal harapan di atas angan. Tanpa pikir panjang, aku mencoba menjemput harapan itu. Khayalan-khayalanku yang mengobati dan menemaniku sepanjang malam, kulupakan. Aku beranjak mengambil kain sarung dan mengganti bajuku. Ada obat yang lebih baik yang bisa kuusahakan. Sepertinya, harapan itu memang tak hanya sebatas angan.

Aku merasa lebih baik ketika keluar rumah menuju masjid, menghirup udara pagi, bersama kesunyian yang menenangkan. Untuk sementara hatiku tak merasakan apapun kecuali tenang. Dan pikiranku berhenti memikirkan dia. Untuk sementara, aku mengingat Tuhanku.

Iqomah telah terdengar dan shalat berjama'ah pun dilaksanakan. Usai shalat, sebuah pertanyaan merayap masuk ke dalam pikiranku, membuatku bertanya-tanya. Memangnya apa manfaatnya aku mengenang dia? Apa manfaatnya berkhayal seolah-olah pertengkaran dulu itu tak pernah terjadi? Apa manfaatnya berkhayal jika dia masih disisiku kini?

Dalam do'a usai shalat itu, aku insaf. Aku bertaubat. Aku merasa konyol dan bersalah. Aku ingin memperbaiki semua itu dan menyelesaikan masalah ini secara rasional dan objektif. Aku tak ingin terlilit perasaan ini terus menerus. Perasaan galau yang telah menghancurkanku, sejak undangan pernikahan itu kuterima. Dan hari ini, semua itu harus selesai.

Tak lupa, ku panjatkan do'a agar semua masalah ini terselesaikan dengan jalan terbaik. Pilihan Allah, untukku. Bukan lagi pilihan-pilihanku yang konyol dan bodoh.

Aku pulang dari masjid dengan satu tekad. Bahwa hari ini, bahkan sebelum ijab qobul dimulai, aku akan tiba disana, mendengarkan, dan mendukung jalannya acara. Setelah tiba di rumah aku segera mandi dan bersiap.

Kupilih batik terbaik, kusiapkan minyak wangi di sebelah bajuku yang ku hampar di atas tempat tidur. Kuperhatikan satu persatu dengan seksama, hingga seolah-olah akulah yang akan menikah. Setidaknya ini membantu mengalihkan sejenak konsentrasiku pada yang lebih bermanfaat.

Pukul enam, aku telah siap. Aku keluar dari kamarku dan memasak sarapan. Bahkan pagi itu, ibuku pun belum keluar dari kamarnya. Ini hari minggu. Sudah jadi kebiasaan bagi keluargaku untuk memulai aktivitas lebih siang dari biasanya pada hari minggu.

Ku masak telur mata sapi, ku sendok beberapa centong nasi. Lalu akupun makan di atas meja makan yang masih sepi.

Usai makan dan minum, aku terdiam sejenak di hadapan piring dan gelas yang telah kosong. Pikiran dan hatiku pun ternyata juga kosong. Sekarang aku bingung hendak melakukan apa. Jika berangkat, masih terlalu pagi. Akhirnya aku duduk terdiam, menurunkan makanan yang masih turun tersendat di tenggorokan ini.

Ku buka smartphone yang sedari tadi tergolek di samping piring. Tampak pesan chat di beberapa aplikasi telah ramai. Ucapan selamat mengalir dari teman-temanku dalam group yang kami ikuti. Bahkan juga ada beberapa private chat yang menanyakan keadaanku sekarang ini.

"Aldy, lu dateng gak?"

"Lu sehat Dy?"

"Perasaan lu gimana bro?"

"Kalau mau bareng nanti kabarin aja ya?"

"Kalau gak kuat mendingan gak usah dateng cuy."

Dan di antara beberapa private chat sialan itu, ada satu chat yang membuat semuanya tak karuan.

Gerimis Yang UnguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang