🍰 19. first kiss 🍰

164 23 4
                                    

Pukul delapan pagi ini, aku baru selesai mandi. Belakangan aku sedikit santai karena tak terlalu sibuk. Nina dan Rina cukup bisa menangani kebutuhan toko. Berjalan turun dari kamar, dan akan segera ke toko dari rumah bude Tias.

Di meja makan aku melihat Mas Jun yang sudah duduk di sana. Menunggu sarapan yang sedang di buat Mbok Sumi dan budeku. Semalam hujan deras, sepertinya Mas Jun menginap.

"Pagi."

"Pagi, Mas."

"Aku nginep Rey, semalem hujan."

Mas Jun menjelaskan. "Iya Mas, enggak mungkin juga pulang ke Bandung tengah malam. Hujan pula."

Kami larut dalam obrolan basa-basi singkat. Lalu menyantap sarapan bersama. Sepanjang sarapan Mas Bumi banyak mengobrol dengan Mas Jun. Aku baru tau kalau Mas Jun tetangga Mas Bumi saat di Bandung. Sayang aku sama sekali tak ingat tentang Mas Jun. Padahal dulu aku sering main ke sana.

"Dianter sama Reya aja ke stasiun nanti,"kata Mas Bumi.

"Boleh, biar aku antar."

"Jun enggak bisa nyetir. Dia ceroboh jadi enggak boleh nyetir mobil sama ibunya." Mas Bumi menjelaskan tapi malah terkesan meledek.

*

Selesai sarapan segera aku aja Mas Jun ke toko. Kami dalam perjalanan menuju toko.

"Mas Jun keren bisa bikin usaha kaya gitu."

"Baru mau kok Rey. Sebelumnya aku kerja kantor. Cuma kok rasanya aku nggak bisa kerja dengan ritme yang sama. Gitu-gitu aja, akhirnya aku sabar-sabarrin. Buat kumpulin uang. Aku buka food hall pertama di Bali."

"Jadi ini yang kedua?"

Kagum sama cowok mandiri kaya Mas Jun. Bisa membuat pemikiran seperti itu. Ngumpulin uang dan bersabar dalam tekanan itu enggak mudah. Dan Mas Jun bisa melewati itu.

"Iya," jawabnya singkat. "Kamu juga hebat, bisa bikin usaha sendiri."

"Awalnya mau kuliah Mas."

"Terus enggak jadi?"

"Aku mikir aja kayanya kalau aku kerja bisa bantu keuangan keluarga. Soalnya, pas aku ke Jakarta enggak lama Papa jatuh dari tangga, waktu benerin rumah. Dan tangan sebelah kiri sering mati rasa. Otomatis Papa nggak bisa kerja. Akhirnya, aku mutusin kerja. Tapi, karena ada sesuatu aku milih buka usaha."

"Ada apa?"

"Hehehe, bosnya suka ngatain fisik. Enggak tau apa aku yang memang enggak pantas kerja atau gimana."

"Kurang ajar dong kalau kaya gitu. Kerja tuh masalah kemampuan bukan fisik. Bukan kamu yang nggak pantas tapi, bos kamu yang nggak bisa memanusiakan dirinya. Yang namanya manusia pasti punya hati. Ngatain fisik seseorang itu aja udah cerminan kalau pikirannya sakit."

Baru kali ini rasanya aku dibela lagi sama seseorang selain gank PSK atau keluargaku. Enggak nyangka Mas Jun bisa semarah ini.

Kami sampai di toko, toko mku sederhana dengan kesan Vintage ala-ala dan apa adanya. Mas Jun duduk di salah satu kursi. Segera aku minta Nina membuat minuman. Aku juga menyiapkan beberapa brownies untuk dicicipi.

"Mas ini beberapa brownies, untuk dicicip."

"Berapa?"

"Nggak usah, kan ini sampel." Aku menjawab lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan Mas Jun.

Ia tersenyum, sumpah aku suka banget kalau Mas Jun senyum. Lesung pipinya, benar-benar menghapus semua kesan dinginnya waktu terdiam saat menatap jalan tadi.

"Mas Jun mau diantar jam berapa?"

"Keretanya masih lama kok, jam sebelas."

"Sebentar lagi ya Mas."

"Oke nggak masalah."

Aku kembali ke dalam. Akan aku cek apa saya bahan yang mungkin habis. Setelahnya akan mengantar Mas Jun ke stasiun.

***

Malam ini Yogi berada di kost-ku. Sibuk mengerjakan tugas. Ia bilang jika mengerjakan tugas di rumah membosankan. Jadi, hari ini aku tak ke toko sepulang mengantar Mas Jun tadi. Sengaja menemaninya. Ia mengerjakan tugas sementara aku menonton televisi. Entah acara apa yang aku tonton sejak tadi hanya menggonta-ganti channel TV.

Yogi meletakan tangan ke kepalaku. "Bete ya?"

"Nggak, aku cuma bingung mau nonton apa."

"Nonton BTS aja, aku juga suka dengerin lagu mereka."

Aku mengangguk mematikan televisi lalu menyalakan lagu dari ponsel milikku. Aku duduk bersandar di samping Yogi yang masih terus berkutat dengan laptopnya. Aku melepas penjepit rambut yang aku kenakan, lalu menjepit rambutnya yang terus ke depan.

"Lucu banget kamu."

Ia tersenyum, membuat kedua matanya tak terlihat. Kami bertatapan membuat jantungku berdegup tak keruan. Aku berpaling, tapi tangan Yogi mengarahkan kembali wajahku untuk menatapnya.

"Kenapa?" tanyanya.

"Hmm?"

"Kenapa malah buang muka?"

"Nggak apa-apa."

Entah bagaimana akhirnya. Bibir kami berdua bertaut. Seolah ada yang menggelitik tubuhku, jantungku juga berdetak semakin cepat. Pikiranku seolah dibawa pergi sesaat, ada yang mencekat tenggorokan. Lalu aku memilih memejamkan mata, saat kemudian Yogi melepaskan tautan kami. Aku membuka mata sementara ia tersenyum. Menyebalkan sekali. Ibu jarinya bergerak mengusap bibirku.

Aku diam, bahkan takut untuk bergerak. Pikiranku masih hilang. Yogi mengacak rambutku lagi. Ia sering sekali melakukan itu.

"Nafas Rey, hmmm. Jangan sampai aku yang kasih kamu napas buatan lho."

Aku mengangguk tanpa menjawab. Lalu kembali bersandar pada tembok. Duduk dalam diam, ciuman pertamaku?

"Tadi siang kamu ke mana?" tanya Yogi.

"Hmm?"

Ia menatapku, sungguh pikiranku kosong saat ini.

"Tadi siang kamu ke mana?" Ia menatap, lalu memegangi pucuk kepalaku agar melihat ke arahnya.

"Aku nganterin Mas Jun, temen Mas Bumi ke stasiun."

"Hmm, oke. Tadi siang aku ke toko sebentar sama temenku. Kamu enggak ada."

"Maaf."

"Jangan minta maaf."

"Hmm, iya kan nggak ada pas kamu ke sana."

"Nggak salah kok. Jangan minta maaf, kamu nggak salah. Oke?"

***

Valentines (Valentine and Sweet Brownies) Where stories live. Discover now