🍰15. Si Dingin yang Hangat🍰

96 22 3
                                    

Aku terbangun merasakan kepalaku yang masih sakit. Lalu duduk menatap televisi yang masih menyala. Siang tadi aku pulang diantar Yogi. Lalu setelah pulang, Yogi mampir lalu kami mengobrol. Sepertinya aku ketiduran. Pandanganku mengedar, di sisiku Yogi duduk terlelap dengan boneka tayo dalam dekapannya. Eh? Dia belum pulang?

Tepat saat itu pintu terbuka.

"Heh?!" teriak Mas Bumi. "Ngapain kalian berdua?!"

Yogi terbangun dia pasti kaget karena Mas Bumi yang tiba-tiba berteriak. Ia duduk mengacak rambut lalu mengusap matanya. Enggak tau ya tapi, kenapa dia keliatan keren banget?

"Kamu udah bangun?" Yogi bertanya aku jawab anggukan cepat.

"Ngapain berdua?!" Mas Bumi heboh sendiri.

"Ngapain sih Mas? Aku lho cuma tidur." Aku menjawab.

"Astagfirullah tidur?!"

"Tidur merem, tidur bukan tidur aneh-aneh."

Kakak sepupuku itu akhirnya duduk dihadapan kami berdua. Dengan tatapan yang masih satu Yogi mengulurkan tangannya.

"Yogi, Mas."

Mas Bumi menjabat tangan Yogi. "Bumi, kakak sepupunya Reya."

Mas Bumi terus menatap kami bergantian seolah kami berdua adalah pencuri yang baru saja tertangkap.

"Tadi Reya sakit, lagi ngobrol dia tidur. Aku mau pulang tapi hujan. Ya malah ketiduran juga di sini." Yogi menjelaskan sementara aku mengangguk.

"Mas Bumi pikirannya nih ngawur."

"Ya habisnya tumben kamu sama cowok. Selain sama Arka. Kemana-mana Arka, apa-apa sama Arka—"

Yogi melirikku saat Mas Bumi menyebutkan nama Arkan.  "Aku balik dulu ya Rey." Yogi berpamitan.

"Sini aja makan dulu Gi." Ajak Mas Bumi.

"Aku ada tugas Mas. Oiya, pintu masuknya Reya enggak bisa dikunci. Takut ada maling masuk, cewek soalnya, sendirian lagi." Yogi bangkit, lalu menjabat tangan Mas Bumi yang hanya mengangguk. "Balik ya."

Aku mengangguk sambil menatap Yogi berjalan keluar. Enggak enak sebenarnya, membiarkan ia pulang begitu saja. Rupanya si nyebelin itu baik juga. Memang ucapannya pedes tapi, dia peduli kok.

"Jangan gampang percaya sama cowok." Mas Bumi membuka pembicaraan setelah hening beberapa saat.

"Dia itu temenku Mas."

"Terlepas dari siapa dia. Kedepannya nggak ada yang tau ... Jangan gampang percaya sama cowok. Kecuali aku Mas-mu."

Kulirik Mas Bumi dengan tatapan kesal. "Aish."

"Ya karena ..m aku nggak mau adekku disakitin orang lain. Kamu enggak boleh nangis karena cowok lain."

"Mas Bumi sering bikin aku nangis."

"Ya kan beda, itu karena Mas gemes. Kan itu tanda Mas Bumi sayang." Mas Bumi memeluk seraya  mengacak rambutku.

"Hoooeekkk."

"Dikasih tau nggak percaya ya udah." Mas Bumi menjauh. Lalu duduk bersandar pada tembok. "Temenmu tadi bohong tuh."

"Bohong gimana?"

"Di luar kering kok. Jalan kering banget."

"Udah kering mungkin."

"Hahahahaha, enggak mungkin langsung kering gitu." Mas Bumi terdiam. Lalu terdengar sedikit menghela napas. "Meera udah nikah beneran ya?"

"Iya, Mas Bumi kan udah lihat sendiri."

Beberapa waktu lalu aku, Candy, Celine dan Arka ke apartemennya bersama Mas Bumi juga waktu itu.

"Aku tuh sebenernya suka sama Meera."

"HAH?! DEMI APA?!"

Bukannya menjawab, tangan Mas Bumi malah mendarat ke kepalaku.

"Sakit Mas."

"Ngantuk ah," jawabnya yang jelas sekali ingin menghindar dari pertanyaanku.

Sebenarnya aku selama ini heran. Kenapa Mas-ku itu begitu perhatian ke Meera. Ternyata kan, memang dia ada rasa. Entah sejak kapan. Pastinya sudah cukup lama. Sejak dulu Mas Bumi menyimpan rasa pada Meera. Sejak kami SMU, kakak sepupuku itu selalu aku jadikan alasan supaya kami bisa keluar bersama. Mas Bumi selalu mengantar kami berlima. Sedih juga rasanya tau kalau ia suka Meera sejak lama.

Mas Bumi tertidur,  sementara aku sibuk menonton televisi. Bingung mau nonton apa, pikiranku larut sendiri. Kenapa Yogi berbohong? Kenapa dia peduli dan menunggu di sini? Kenapa? Aku takut terlalu percaya diri. Yang paling penting aku takut jatuh hati.

Ponselku berdering panggilan dari Tante Nindi.

"Assalamualaikum Tante."

"Hmm, waalaikumsalam." Bukannya mendengar suara Tante Nindi aku malah mendengar suara Yogi.

"Yogi?"

"Hape aku ketinggalan enggak, di sana? Kayanya ada di pinggir tembok deh."

Aku menatap ke sudut tembok, tak terlihat karena Mas Bumi yang ada di sana. Segera bergeser mendekat, aku mencari ke sisi-sisi yang mungkin saja jadi tempat Yogi meletakan ponselnya. Ada di sudut atas tertutupi tangan Mas Bumi.

"Ada Gi."

"Yaudah, besok sebelum aku kuliah aku ambil. Pagi-pagi banget."

"Iya ... Ke sini aja."

"Oke makasih ya."

Ternyata Yogi teledor juga. Besok ketemu Yogi lagi, belakangan hariku penuh dengan Yogi.

***

Valentines (Valentine and Sweet Brownies) Där berättelser lever. Upptäck nu