🍰14.Si Ketus🍰

78 23 2
                                    

Semalaman aku tak pulang ke kost, menyiapkan brownies bersama Nina. Sejak malam kami sibuk membuat adonan lalu memanggang atau mengukusnya tapi, belum semuanya. Hari ini bukan hanya membuat untuk dijual, tapi juga pesanan. Sebenarnya kemarin mau libur saja tapi, semua bilang enggak masalah kalau tetap buka. Baiklah ....

Memang harusnya aku menambah karyawan. Nina dan Lala bisa aku tarik untuk bagian dapur. Lalu Rina  kasir. Dan harus ada satu atau dua lagi untuk membantu menjaga toko. Sayangnya, sampai saat ini aku belum bisa untuk itu. Seenggaknya sampai hutang-hutang setelah perampokan toko lunas sepenuhnya. Ya, walaupun aku meminjam uang dari Mas Bumi. Tetap saja, aku harus bertanggung jawab melunasi tepat waktu.

Rina dan Lala datang sebelum subuh. Membantu untuk menghias kue—semua harus dikebut. Meski acara siang nanti tapi, kami masih harus membuka toko.

"Besok libur deh ya kita," kataku sambil sibuk  mengecek adonan di kukusan.

Semua mengangguk setuju. Setelahnya kami bekerja lagi, agar semua selesai tepat pada waktunya.

Kami selesai tepat waktu, Lala dan Rina membuka toko pukul sembilan. Lalu aku bersiap mandi dan membersihkan diri lagi. Setelah bergulat dengan adonan bahkan saat matahari masih terlelap.

Setelah selesai aku berjalan keluar. Seluruh brownies pesanan dan yang akan aku sumbangkan telah di siapkan. Totalnya lima puluh kotak. Tante Nindi akhirnya membeli tiga puluh kotak dan aku menyumbang dua puluh kotak. Aku dibantu Lala membawa ke mobil sementara Rina menjaga meja kasir. Segera aku antar, lokasinya berada di salah satu gedung pemerintah.

Sampai di sana setelah sekitar lima belas menit mengendarai mobil. Aku menghubungi Tante Nindi begitu tiba.  Aku tak mungkin membawa semua sendiri.  Tante Nindi bilang akan ada yang turun dan membantu. Aku menunggu di luar mobil.

"Mbak Reya?"  Seorang pria paruh baya mengenakan seragam penjaga, bertanya sopan dari arah belakang.

"Iya Pak."

"Kuenya mana Mbak? Biar saya bantu ke atas. Kata ibu mbak diminta naik dulu ke atas. Ini semua keluarin aja mbak. Nanti saya bawa sama temen saya."

"Di nana ya Pak?"

"Aula besar lantai tiga mbak, pas di depan lift."

"Terima kasih ya pak."

Segera berjalan masuk. Aku ingat baik-baik lantai tiga. Setelah sampai di dalam tinggal berjalan lurus saja sudah ada lift. Aku masuk, lalu menekan nomor tiga. Lift berjalan naik, hanya beberapa detik aku sampai di lantai tiga. Tepat berhadapan dengan pintu lift pintu kayu besar terbuka. Ramai, ya jelas .., ini acara bazar.

Masuk ke dalam orang-orang di sini terlihat berbeda. Ya status sosial Tante Nindi memang berbeda. Terlihat jelas saat ini tapi, aku salut. Beliau rendah hati sekali.

"Ekhm."

Aku menoleh. "Yogi?"

"Mamiku ada di sana," katanya sambil menunjuk salah satu stand.

"Makasih." Aku baru saja mau berjalan tapi, Yogi menghentikan dengan memegangi tanganku.

"Kamu mabuk ya?"

"Eh, enak aja."

"Muka kamu kaya udang rebus gitu." Yogi memegang wajahku. Segera ku tepis.  "Galak," katanya.

"Jangan pegang-pegang, nanti kesetrum."

"Hmm, takut dimarahin pacarnya ya?
Demam tuh."

Aku berjalan hampir tak ingin peduli dengan ucapannya barusan. Lalu aku memegang wajahku yang memang demam. "Siapa pacarku?"

"Cowok yang sering main ke toko," jawabnya sambil berjalan di sisiku. Kami berjalan berdampingan menuju Tante Nindi yang telah melambaikan tangan melihat kami berdua.

"Arka itu sahabat aku."

"Hmm, pacar juga enggak apa-apa. Lagian aku nggak ada hak juga buat tanya," kata Yogi sambil lalu.

Ish aneh ...

Aku berjalan di belakangnya. Menuju stand Tante Nindi. Kepalaku mendadak terasa berat setelah tau aku demam. Padahal sebelumnya biasa saja.

"Makasih ya Reya."

"Sama-sama Tante." Kujabat tangan Tante Nindi.

Ia memegangi wajahku. "Sakit kamu? tangan, muka panas semua gitu."

"Enggak sakit kok Tante."

"Ngerjain pesanannya seharian ya? Aduh, maaf ya Rey...," icapnya merasa bersalah membuat aku merasa tak enak.

Membuat semua pesanan itu adalah tanggung jawabku. Dan harusnya Tante Nindi tak merasa bersalah. "Jangan minta maaf Tante."

"Emang udah tanggung jawabnya ngerjain pesanan. Ya, cuma yang ngerjain aja yang enggak bisa jaga diri." Yogi berucap tanpa menatap kami berdua. Dia duduk sambil sibuk menatap ponselnya.

Sebel sih, cuma apa yang di katakan barusan benar. Harusnya sebelum mengerjakan pesanan kemarin aku minum vitamin atau semacamnya. Agar kondisi tubuhku tetap baik sampai saat ini.

"Hush, kamu tuh."

"Ya bener coba tanya Reya-nya. Dia jaga diri enggak sebelum kerjain pesanan? Pasti enggak. Harusnya planning ke depan, toko makin rame. Persiapan karyawan dan lain-lain, juga diri sendiri." Yogi melirikku entah kenapa tapi, ia terlihat kesal.

Tante Nindi memukul bahu Yogi. "Cuekin aja Rey. Dia tuh emang mulutnya pedes."

"Iya Tante." Kujawab seadanya karena kepalaku yang makin terasa tak karuan. "Tant, kalau titip mobil di sini boleh nggak ya?"

"Kenapa?"

"Aku mau pulang naik mobil online. Maksudku aku titip besok aku ambil."

"Biar di antar sama sopir Tante aja. Nanti biar sopir Tante yang balik ke sini naik ojek." Kata Tante Nindi, lalu mengambil ponsel di tasnya.

Aku mengangguk.

"Eh itu dia." Panggilan di putus. Saat bapak yang tadi mengambil kue datang diantara kami.

"Udah aku anterin aja Mi." Yogi berdiri lalu memasukkan ponsel ke kantong celananya.

"Serius? Kamu rese lagi nanti."

"Rese ngapain sih, cuma nganterin aja." Yogi menarik tas yang aku kenakan.

"Aku pulang dulu ya Tant."

Tante mengangguk. "Tabok aja kalau dia cerewet Rey."

Aku Mengangguk sambil terus berjalan cepat mengikuti Yogi yang menarik tas yang aku gunakan. 

***

Valentines (Valentine and Sweet Brownies) Where stories live. Discover now