🍰12. Gagal makan siang?🍰

83 19 6
                                    

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Seolah  ada yang membangunkan dari lelap tidurku. Hari ini aku berniat tak datang ke toko. Karena, semua sudah aku siapkan kemarin. Dan terbangun hari ini di sponsori oleh makan siang nanti bersama Yogi.

Aah, kenapa juga aku jadi kepikiran banget sama acara makan siang ini? Biasa aja Reya ...Yogi cuma berterima kasih. Kenapa juga aku harus keliatan spesial? Eh, kenapa aku pingin keliatan spesial?

Niatku lima menit yang lalu ingin biasa saja tapi, sekarang malah sibuk menata rambut. Aah, sial ... Lagian mau dandan seperti apapun, aku tetep enggak banget. Siapa juga bakal lirik? Nggak ada!
Aku nggak cantik apalagi menarik. Iya itu alasan utama kenapa aku masih jomblo sampai sekarang. Pilihanku adalah kemeja hitam dengan lengan pendek, dan celana jeans. Aku pilih yang paling sering digunakan. Agar tak terlalu terlihat jika aku antusias untuk makan siang ini.

Ponsel berdering saat aku baru saja akan melangkah keluar. Arka ....

"Hmm?" sapaku.

"Waalaikumsalam."

"Assalamualaikum." Aku jawab lalu terkekeh, Arka kesal karena kujawab panggilannya dengan berdeham saja.

"Rey, gue pesan brownies. Bisa enggak? Sekalian gue minta tolong anter ke  kantor nanti siangan?"

"Boleh tapi, nanti gue anter gojek aja ya, atau Nina yang ke sana."

"Lah tumben, biasanya lo anter sendiri?"

"Gue mau ada urusan."

"Hmm sama Candy? Atau Celine?"

"Bukan .... Udah pokoknya lo chat aja mau pesan apa nanti Nina ke sana."

"Oke deh."

Sengaja tak aku katakan pada Arka kalau hari ini akan pergi bersama Yogi. Paling sebel kalau Arka sudah meledek atau semacamnya. Selama ini hampir tak pernah aku keluar selain bersama gank PSK. Ya, bisa dibilang kurang pergaulan. Kadang memang sulit untuk membuka diri terhadap orang baru. Apalagi pernah jadi sasaran pembullyan teman sekolah. Walaupun saat ini aku berusaha tak peduli ... Tetap saja ada rasa takut saat berteman. Aku masih takut dengan pandangan buruk orang lain meski, aku tau aku tak salah apa-apa. Sadar betul yang lebih penting adalah kebahagiaan diri sendiri, tetap ada saja terkadang ... Pemikiran orang lain tentang diriku masih menjadi hal yang menakutkan.

Setelah merasa rapi, aku segera berjalan keluar. Menyalakan mobil untuk segera bergegas menuju toko. Jakarta, pukul tujuh pagi masih padat sekali. Benar apa kata orang, jika—hidup di Jakarta itu tua di jalan. Hidup di kota besar dengan Segala hal yang mungkin terlihat indah dan nyaman. Secara umum hidup di sini memang menyenangkan, akses apapun mudah, segala macam hal bisa ditemukan. Buruknya? Banyak sekali orang sekitar yang terlihat baik nyatanya? Mereka sama sekali tak seperti pikiranmu. Banyak kejahatan membuat harus baik-baik menjaga diri. 

Aku beruntung bisa bersama sahabatku mencoba peruntungan di sini. Meski kami memiliki jalan sendiri. Entah apa jadinya aku tanpa mereka semua. Terutama Arka, kalau tak ada Arka—mungkin aku sudah menyerah membuka toko brownies. Ia sering memesan  banyak brownies untuk rekan kantornya. Membantu pemasaran brownies buatanku dari awal. Celine dan Candy juga membantu di toko, diawal aku tak punya karyawan. Kalau tak ada mereka, aku pasti tak ada di sini saat ini. Meera meski jauh di luar negeri juga selalu menghubungi memberi dukungan. Aku hanya bisa berucap terima kasih. Sering kali aku ucapkan, tetap saja aku selalu merasa kurang.

Sampai di toko kueku. Mobil Tante Nindi sudah ada di sana? Aku melangkah masuk. Melihat Tante Nindi yang duduk menunggu. Ia tersenyum saat melihatku.  Aku berjalan mendekat, menjabat tangan, lalu duduk di kursi lain yang berhadapan dengannya.

"Pagi-pagi udah ke sini Tante?"

"Iya aku mau ngomongin sesuatu."

Waduh? Ngomongin sesuatu?

"Ada apa ya Tante?"

"Kebetulan ibu-ibu arisan di rumah mau bikin kaya bazar amal gitu. Nah, Tante niat mau pesan brownies nggak banyak dua puluh aja. Untuk acara itu."

"Oh, nanti hasil penjualannya dijadikan donasi gitu ya Tan?"

"Iya, tenang nanti Tante tetap akan bayar semua."

"Kalau untuk donasi enggak usah dibayar enggak apa-apa Tante. Aku buatkan dua puluh, untuk di donasikan."

Tante Nindi menggeleng. "Lho, Tante itu lagi cari tang bisa dijual kok. Makannya mau beli brownies kamu Rey."

"Yaudah, kalau gitu aku juga sumbang dua puluh brownies. Jadi Tante bisa jual empat puluh brownies. Gimana?"

"Boleh-boleh." Tante Nindi mengangguk senang, seraya memegangi tanganku. "Baik banget kamu Rey. Kapan-kapan main ke rumah temenin Tante. Bete banget di rumah, Yogi pergi terus. Namanya anak laki-laki. Hobi banget keluyuran."

Tante Nindi mengeluh, sementara aku melihat Yogi datang dengan mobil yang entah milik siapa. Ia keluar dari mobil, tapi kemudian masuk dan kembali melajukan mobilnya.

"Iya kapan-kapan ya Tante."

"Yaudah, Tante mau ngopi di sini dulu deh. Tante pesan americano ya Rey. Kamu mau rekomendasikan apa buat temennya?"

"Aku kemarin percobaan bikin cheese stick, belum aku keluarin sih. Niatnya besok. Tante mau?"

"Boleh-boleh, cocok nih kayanya sama kopi pagi begini."

Aku berjalan ke dapur lalu menghubungi Yogi. Tak lama sampai panggilanku diterima.

"Kenapa Rey?"

"Kenapa kamu pergi lagi?"

"Hmm, ada mami enggak enak aja."

"Oke."

"Kabarin aku kalau mami udah pergi. Lagian, ini masih terlalu pagi untuk makan siang."

"Iya kamu yang datang kepagian kok."

Yogi terkekeh. "Iya aku sekalian mau ngembaliin sesuatu ke rumah temen. Hmm, ya udah ya."

Aku mematikan panggilan. Lalu menyiapkan cheese stick untuk Tante Nindi.

***

Valentines (Valentine and Sweet Brownies) Where stories live. Discover now