Chapter II : Rumah Adisa

22 6 4
                                    

Beberapa menit di perjalanan, akhirnya Adisa dan Papanya sampai di rumahnya. Namun, sepanjang perjalanan pulang, Papanya terus saja memperingati Adisa agar diam menunggu di halte sampai Papanya datang menjemput. Adisa yang sibuk memperhatikan jalanan yang dilewati berlagak mengangguk paham.

"Mamaaaaa ... Adisa pulang!" teriak Adisa sudah masuk tanpa mengetuk pintu. Papanya yang melihat hal itu hanya menggeleng pelan, lantas menggiring motornya masuk.

"Inget pulang?" Adisa menoleh, mendapati kakaknya yang berhadapan dengan laptop di sofa.

"Woiya jelas inget dong! Aku kan gak amnesia, apalagi pikun kayak kakak." Adisa sudah tertawa tanpa dosa di dekat kakaknya, membuat sang kakak gatal ingin menggetok kepalanya.

Adisa yang menyadari itu, segera bangkit dari sofa dan berlari menuju dapur. Di mana Mamanya sedang memasak  untuk makan malam nanti.

"Mamaaaaa hoho kakak kerasukan setan jomlooooo!" teriaknya saat sampai dapur. Mamanya yang mendengar itu terkejut melihat kedua anak gadisnya sudah saling tarik di ambang pintu dapur.

"Hei hei kalian ngapain? Sudah berhenti-berhenti!" Keduanya tak ada yang merespon, masih sibuk saling tarik satu sama lain.

"Arisa! Adisa!" Keduanya masih tak ada yang mendengarkan. Hingga ....

"ADUH MAMA!"

"AW ENAK!"

Jeweran gratis mendarat mulus di telinga keduanya. Mereka kembali mengaduh karena telinga yang masih memerah. Kemudian sadar masih ada Mamanya di hadapan mereka.

"Mau lagi?" Adisa dan Arisa menggeleng kompak.

"Nah, tadi ada apa?" tanya Mamanya lagi.

"Ada ... eh Ma, cium sesuatu gak?" Ini Arisa sudah mulai mengendus-endus. Adisa mengernyit, ikut mengendus.

"Gak ada tuh. Bau apa emangnya?" tanya Mamanya setelah ikut-ikutan mengendus.

"Bau gosong, Ma." Ini Adisa yang menyahut sembari kembali mengendus, menikmati aroma gosong itu.

"Ho'oh, Ma. Gosong!" timpal Arisa sambil mengangguk-angguk.

"Gosong? Perasaan Mama tadi udah matiin kompor deh," kata Mama sembari melangkah menuju kompor yang di atasnya terdapat ayam panggang. Betapa terbelalaknya ia melihat ayam yang sebentar lagi menjadi arang, mungkin.

Dengan segera Mamanya mematikan kompor dan mengipasi ayam yang gosong tersebut.

"Dek, kayaknya kita gak jadi makan masakan Mama deh." bisik Arisa diangguki Adisa.

"Gimana kalo kita pesan Pizza?" usul Arisa dan lagi-lagi Adisa mengangguk setuju.

"Aku yang pesan kamu yang ambil di kurirnya, oke?" Adisa mengangguk lagi karena refleks.

"Yesss!" Arisa sudah berlari girang ke kamarnya, meninggalkan Adisa yang baru saja ingin protes.

"Huh! Ya sudah aku mandi dulu, daripada nanti Mama nyuruh ikut ngipasin ayam, ckck ..." Adisa pun berbalik pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian sekolah yang masih ia kenakan.

***

Adit masih di luar warung makan bu Tuti, ia juga masih memegang dompet milik Adisa. Dan dengan segenap hati, ia memberanikan diri membuka dompet tersebut.

Adit mengecek isi dompet, terdapat beberapa kartu dan lembar uang di dalamnya. Ia beralih mengecek beberapa kartu itu, mencari kartu identitas Adisa.

"Ini dia!" seru Adit merasa lega menemukannya. Ia kemudian lanjut membaca identitas gadis itu. "Jalan Pejanggik? Depan tiga SMP dong ... ah saya tau."

 Sang Masa Lalu [END]Where stories live. Discover now