Mahesa percaya, bahwa dalam dunia ini nggak ada satu hal pun yang bisa dinamai sebagai 'kebetulan'.
Sedang Naya, kemungkinan besar dia masih sibuk memikirkan soal 'kebetulan' juga 'takdir Tuhan' itu di dalam kepala kecil miliknya.
"Kepala Naya itu nggak pernah sedetikpun nggak berisik," begitu kata Mahesa.
"Kenapa ya manusia yang punya banyak 'beda' kaya kita bisa ketemu terus memberanikan diri buat pacaran pula?"
"Karena kalau kamu atau aku ketemu sama manusia yang sifat dan pemikirannya sama persis, hal itu akan bikin semuanya jadi rumit."
"Tapi kan sama..."
"Naya, kalau semua hal itu sama, artinya mereka nggak punya makna yang lebih. Makanya, 'beda' itu diciptain."
"Biar apa?"
"Biar manusia nggak egois, biar manusia tahu letak salah itu di mana, juga, biar manusia tahu gimana perasaan manusia lain meskipun ya... sebenarnya mereka nggak tahu persis."
Perempuan itu bahkan sekalipun tak pernah berani meminta hadirnya sosok Mahesa dalam hidupnya. Bagaimana dia bisa meminta atau sekedar berharap jika setiap harinya dia nyaris dihantui rasa takut. Tapi lihat bagaimana Mahesa yang nyaris sempurna ini tiba-tiba muncul di dalam kehidupan Naya yang sejujurnya jauh dari kata utuh.
Dengan seribu keyakinan, orang-orang yang membaca tulisan ini mungkin sedang memanjatkan doa dalam diamnya. Isi doanya barangkali serupa, semoga ada Mahesa lainnya di dunia yang luas ini.
"Kenapa kamu suka perayaan ulang tahun?"
"Karena ramai."
"Tapi sekarang kita cuma berdua, Mahesa."
"Tetap ramai karena aku nggak sendiri, Naya."
"Aku suka sepi kamu suka ramai, aku suka mendengar kamu suka berbicara."
"Kamu suka menulis aku suka membaca, kamu suka mencuci piring aku suka makan. Bener, kan?"
Naya tersenyum.
"Kita dicipatin dengan banyak 'beda' supaya bisa sama-sama?"
"Semoga."
"Amin, jangan?"
"Amin-kan saja kalau kamu mau."
"Aamiin..."
"Bantu amin."
"Kamu ngomong sama siapa?"
"Malaikat Raqib dan Atit."
"Kamu minta malaikat bantu amin?"
"Kata Bunda, aku butuh empat puluh amin supaya doa nya dijabah. Sekarang baru empat, masih butuh tiga puluh enam lagi. Nanti aku akan minta amin dari Bunda, Ayah, Juna, Bian, Ningsih, Mas Nandan, Iman, Kana, Jeno..."
"Terus siapa lagi?"
"Kayanya aku harus minta data warga sama Pak RT."
"Buat apa?"
"Buat bantu amin he... he... he..."
Naya tersenyum kembali. Didapatinya jemari milik Mahesa menyelinap di antara jemarinya. Mahesa membiarkan Naya menyesuaikan dirinya dalam beberapa saat. Padahal, ini bukan kali pertama keduanya saling menggenggam tangan satu sama lain, tapi Naya hanyalah Naya.
"Naya, aku nggak pernah tahu bagaimana kamu dan kepala kecil kamu memandang dunia yang katanya penuh hal-hal manis juga pahit. Aku nggak mau menebak-nebak karena nantinya kamu akan berpikir aku hanya sok tahu. Aku nggak pernah mempermasalahkan bagaimana sesekali 'perbedaan' itu menciptakan pertikaian kecil di antara kamu dan aku.
Aku cuma ingin kamu nggak telat makan apalagi sampai lupa makan. Aku tahu, aku jelas tahu kamu sibuk dengan kuliah kamu, dengan teman-teman kamu, dengan drama korea kesukaan kamu, juga dengan tulisan-tulisan kamu yang masih ingin dan akan terus aku baca. Kalau menurut kamu ini lucu, kamu boleh tertawa, aku nggak melarang kamu untuk nggak menertawai apa yang barusan aku ucapkan. Permintaanku yang kedengarannya sederhana ini mungkin cukup berat buat kamu. Tapi, semoga kamu bisa. Aku bantu doa, ya?"
Satu-satunya manusia nyaris sempurna yang Naya kenal sebagai Mahesa itu berhasil menyentuh hingga ke inti jantung milik Naya. Naya merelakan ketakutan itu. Dia melepas begitu saja rasa takut yang selama ini berhasil menghantuinya tiap kali binar mata milik laki-laki itu menyorot teduh kearahnya. Bukan, bukan karena Naya mendadak jadi berani, tapi karena dia tak ingin membiarkan pergi sosok yang sudah datang kali ini.
"Selamat ulang tahun. Aku sayang kamu, tapi kamu harus sayang diri kamu sendiri lebih besar dibanding rasa sayangku ini."
Maka jika Mahesa diibaratkan sebagai jingga di ujung senja, barangkali tak ada satu manusia pun yang lupa bagaimana indahnya ia dicipta. Semua makhluk di dunia akan menantinya meski keesokan hari ia tak datang dalam warna yang sama persisnya seperti hari ini lagi.
Walau begitu, dia tetap Mahesa.
Prolog
Start from the beginning