• 28∆ : Result •

292 75 94
                                    

Keburukan yang selalu saja membuat Dhimas kesal tentang Hana adalah; Hana yang selalu mematikan ponselnya ketika sudah mendekati hari-hari ujian. Apalagi saat ini keadaannya Dhimas berada di kota yang berbeda dengan istrinya tersebut.

Sudah empat hari lamanya Dhimas tidak mendapatkan kabar apapun dari Hana. Jika bukan karena Bu Irma yang mengabarkan kalau Hana sedang menginap di rumah ibu mertuanya, Dhimas tidak akan pernah tahu bagaimana keadaan perempuan itu.

Saat ini, bisa dihitung sudah yang keduapuluh kalinya Dhimas memeriksa notifikasi ponsel. Nafas pria itu terhela perlahan saat mengetahui tanda ceklis satu berwarna abu-abu tersebut tidak berubah sama sekali sejak dua jam yang lalu. Tangannya kembali menyimpan ponsel lalu memanggil salah seorang pria yang sedang mengomando para pekerja.

“Iya, kenapa Pak?”

“Kira-kira kapan ini bisa diisi?”

Mandor bertubuh gempal dengan rambut klimis tersebut mengangguk. “Sebenernya seluruh bagian gedung tinggal finishing, Pak. Beberapa bagian masih harus di plester dulu, tapi yang lain tinggal dicat. Mungkin tiga hari lagi juga udah bisa dicicil,” jelasnya.

“Pastiin gak ada yang kurang sedikit pun ya. Saya gak mau ada kebocoran atau pondasi yang keliatan rapuh. Maksimalkan uang yang udah saya keluarkan.”

“Siap, Bapak tenang aja. Gak bakalan kecewa sama hasilnya nanti.”

Setelah bertanya beberapa hal lain, Dhimas kembali mempersilahkan mandor tersebut untuk kembali bekerja. Pria itu menghampiri Tristan yang duduk di warung kopi sambil mengerjakan sesuatu dilaptopnya. Dhimas lagi-lagi menghela nafas panjang ketika mendaratkan bokongnya di samping Tristan.

“Ada masalah dipusat?” tanya Dhimas.

“Oh, gak ada.” Tristan menolehkan wajahnya. “Itu muka kusut banget, dikacangin istri?”

Dhimas berdecak sebal. Hanya Tristan yang sering berbicara seenaknya kepada atasan. Untung saja Tristan adalah sahabat lama Dhimas. Jika bukan, sudah dipastikan pria yang lebih tua darinya itu sudah dipecat sejak lama.

“Gue mulai khawatir, hapenya gak aktif-aktif.” Pria itu mengaduk asal segelas kopi susu dihadapannya.

“Kalung pelacak lo gak aktif emang?”

Dhimas menggeleng. “Enggak. Dia nonaktifin waktu pertama kali nyoba. Terus gue lupa buat nyuruh dia nyalain lagi.”

Tristan menggeser kursor secara perlahan lalu terdengar bunyi klik sebanyak dua kali. “Coba telfon ART lo,” usul pria itu.

“Hpnya masih diservis dari tiga hari yang lalu, gara-gara kecebur kolam.”

“Buset, ada-ada aja ibu-ibu,” kekeh Tristan, “ya udah coba tanyain abang ipar lo, gimana sih?”

“Betul juga, gue gak kepikiran.” Dhimas berdecak sambil memukul meja dengan pelan.

Tristan hanya melirik Dhimas yang berjalan menjauhi area proyek. Dhimas memencet beberapa tombol diponselnya lalu menempelkannya ke dekat telinga. Pada nada tunggu keempat, Dhimas mendengar suara sapaan dari seberang sana.

Assalamu'alaikum?

“Wa'alaikumsallam, maaf Bang ganggu waktunya.” Pria itu bersandar pada mobilnya sambil memasukkan sebelah tangan kedalam saku.

Enggak, gue juga lagi gak sibuk banget. Ada apaan emang?”

Dhimas membasahi bibirnya. “Hana masih nginep di rumah mama, Bang? Dia baik-baik aja, 'kan?”

Tunggu-tunggu!” Di kota yang berbeda dengan Dhimas, Johnny mengernyitkan dahi lalu berpindah posisi menghadap jendela kantornya. “Hana gak nginep di rumah mama, Dhim. Lo ngaco ya?”

TRIANGLEWhere stories live. Discover now