25. Anan dan Dilema

17 0 0
                                    

Anan meremas kertas berisi rencana mengerjai para monyet ricuh. Menyobek kertas itu asal-asalan dan membuangnya sembarangan. Mata merah menunjukkan amarah. Kedua tangannya mencengkeram bantal kumal berisi kapuk. "Kau akan kuberi pelajaran gadis sombong," erangnya melempar bantal itu ke pintu.

"Berisik!" Andi yang baru pulang langsung menegur dari balik pintu.

"Bukan urusanmu baj*****!"

"Ini urusan gue! Lo adik gue satu-satunya! Lo harta gue!" tegas Andi membuka pintu.

Anan tertegun. Tumben Andi berkata semanis ini. Biasanya setan ini hanya bisa memaki. Tersambar apa dia? Di luar tidak hujan kan?

"Sudahlah, hidup ini sudah gila! Jangan tambah lagi! Cepat tidur, besok sekolah!" lanjut Adit menutup pintu agak keras

"Aku benci Andi!" pekik Anan keras-keras.

"Gue udah tau dari dulu, nggak perlu lo ulang lagi," sahut Andi dari balik pintu dengan nada santai.

Anan mengambil kembali bantal yang tadi ia lempar. Meninjunya secara brutal, melemparnya berkali-kali tanpa arah.

Berteriak.

Meraung.

Menyesal.

Meratap.

Menangis.

"Kenapa aku tidak mati hari itu?"

"Kenapa ibu memaksaku untuk tetap hidup?"

"Kenapa ibu menghukumku?"

"Apa ibu membenciku?"

"Apa aku bukan anak ibu?"

Sunyi. Tidak ada jawaban.

Anan mengepal tangannya meninju pintu kayu tua di hadapannya sekuat tenaga.

"Untuk Roby, yang tidak pernah mengakui kehadiranku!"

"Untuk Ibu, yang meninggalkanku saat aku masih butuh!"

"Untuk Monyet Ricuh, yang merusak hidup baruku!"

"Untuk Andi, yang selalu menghinaku!"

"Untuk gadis sombong, yang berhutang!"

Anan berhenti. Pintu kayu itu sudah roboh. Perih di tangannya menjalar. Cairan merah merembes dari sela jarinya.

"Aku akan menghabisi kalian semua!"

"Aku tidak akan membiarkan kalian hidup tenang, selama aku menderita!"

Tangis Anan mengudara. Menggema di tengah malam yang tak pernah tidur.

Nyaring, tetapi tak ada yang peduli.

***

Isha, menatap lurus ke deretan gedung pencakar langit dengan tembok kaca yang menyilaukan. Es jeruk dihadapannya sudah mencair tanpa tersentuh. Sedikit embunnya membasahi tumpukan contoh soal yang diletakkan bersisian.

Sebuah tangan hangat mendarat di pundak Isha. Mengusap lembut tanda dukungan. "Kalau pengen nangis, nangis aja. Jangan ditahan! Ini hari yang besar. Jangan bawa yang nggak perlu ke aula."

Isha menoleh. Menatap mata cokelat Adit yang teduh.

Adit mengambil tempat di sisi Isha.

"I'm speechless. I don't know how I feel. This is bad!" Isha memijat kepalanya.

Adit menggenggam tangan Isha yang dingin. "Aku emang nggak bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Analisisku nggak akan mampu menghitung seberapa keruh perasaanmu. Tapi, aku yakin kamu pasti bisa hadapin semua ini. Kamu jauh lebih kuat dari apa yang terlihat."

Adit mengusap punggung tangan Isha, "Aku akan selalu mendukung kamu."

Isha melukis senyum simpul. Adit benar, ini hari yang besar ia seharusnya tidak membawa perasaan yang tidak perlu ke sini. Baik Frengky yang ingin memilikinya, maupun Anan yang ingin balas dendam. Isha tidak boleh kalah dari mereka.

Atau dirinya sendiri.

"Kalian di sini ternyata!" Tristan muncul entah dari mana dan langsung menyeruput es jeruk Isha hingga tersisa setengah.

Isha tidak masalah, Tristan memang seperti ini.

"Gak! Lagi di sono!" tunjuk Adit asal. "Lu ngapa ke sini? Nggak bisa liat temen seneng dikit," lanjutnya di balik rahang.

"Gue mau kasi tau lima menit lagi soalnya dibagiin. Kalian kalau mau terlambat boleh lebih lama lagi." ucap Tristan sebelum menyeruput habis sisa es jeruk Isha. "Gue duluan ya, bye!"

Adit menatap punggung Tristan yang menjauh secepat kilat. Tangganya meraba meja, mencari jemari Isha yang tadinya berbaring di sana.

Kosong?

Ke mana gadis itu?

Jangan sampai ia pergi mencari Frengky.

"Ayo cepet, Dit!" suara ceria khas Isha dari ujung lorong menjawab pertanyaan Adit.

Adit tersenyum. Senang melihat gadis--nya ceria kembali.

***

Anan memasukkan semua yang menurut berguna untuk melakukan serangan hari ini. Botol kaca bekas minuman Roby, pisau pramuka Andi, beberapa belimbing mentah dari pohon depan rumah, sebotol cairan hitam pekat dari selokan belakang.

"Aku tidak akan membiarkan kalian lolos hari ini!" gumam Anan memikul tas lusuhnya.

Lupakan seragam sekolah! Penampilan Anan hari ini bahkan lebih buruk daripada gelandangan yang biasa diangkut dinas sosial. Celana olahraga sobek-sobek, baju kaos kumal, serta sandal jepit seadanya.

Anan mengayuh sepedanya menuju sebuah gedung pencakar langit. Sasaran pertamanya hari ini adalah Frisha Vallencia, gadis sombong yang berhutang kesuciannya pada Anan.

"Aku ingin masuk!" pintah Anan pada satpam yang mencegah di lobi.

"Ada perlu apa, anak muda?" tanya satpam parubaya itu baik-baik.

"Bukan urusanmu!" jawab Anan menerobos masuk setelah menyayat lengan si satpam dengan pisau pramuka yang ia bawa.

"Tahan dia!" teriak si satpam sambil memegang lukanya.

Teman-temannya langsung mencegah Anan menuju lift. Namun, sayang Anan terlalu cepat.

Anan menekan tombol lift asal-asal. Jelas ia tidak tau di lantai berapa Isha berada. Tapi lupakan itu! Sekarang yang harus dilakukan adalah lolos dari bapak-bapak pengacau itu.

Pintu lift terbuka. Sebuah lorong lurus tersaji di hadapan Anan. Tidak ada siapa pun. Sepertinya ini bagian kamar tamu. Anan lari secepat kilat sebelum ada yang datang.

Sial! Jalan buntu.

Hanya ada satu pintu kayu coklat tanpa keterangan di sisi kanan Anan. Tapi, bagaimana jika...

"Cari orang gila itu!"

"Tangkap dia hidup-hidup!"

"Jangan sampai ia membuat onar!"

Tidak ada waktu untuk berpikir.

Anan mendorong pintu itu sekuat tenaga. Pintu itu ternyata tidak terkunci. Anan tersungkur di depan kaki seorang gadis.

Isha?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 29, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Belimbing Musim Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang